Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kho Ping Hoo, Golput dan Golongan Putih
Sementara Golongan Putih adalah kelompok aliran yang senantiasa menegakkan keadilan dan kebenaran dengan penampilan sopan, perilaku lemah lembut
Oleh: Datuak Alat Tjumano. Penulis adalah peneliti di Kajian Nusantara Bersatu, Jakarta.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam dunia persilatan atau Kang-Auw, Golongan Putih dikenal sebagai sebutan bagi sebuah golongan untuk membedakan diri dari sekelompok aliran silat yang senantiasa membuat keonaran atau kejahatan yang disebut Golongan Hitam. Karakteristik Golongan Hitam ditunjukkan dengan perilaku lalim dan kasar serta menggunakan alat-alat persenjataan macam-macam bentuknya kadang-kadang dilengkapi dengan senjata rahasia yang licik seperti bubuk dan uapberacun. Sementara Golongan Putih adalah kelompok aliran yang senantiasa menegakkan keadilan dan kebenaran dengan penampilan sopan, perilaku lemah lembut serta menjunjung tinggi etika moral meskipun saat berperang.
Tokoh komik silat Indonesia, Asmaraman Kho Ping Hoo mensinyalir Golongan Putih terdiri dari kelompok-kelompok aliran Shaolin (Siauw Lim), Wu-tang (Bu-tong), Ngo-mei (Gobi) dan sebagainya, sedangkan Golongan Hitam diwakili oleh Sekte Ming (Beng-kauw) yang juga sering disebut Sekte Iblis . Dan biasanya, akan muncul tokoh-tokoh heroik dari kalangan Golongan Putih dan menyelesaikan cerita dengan kemenangan di tangan Golongan Putih ini sebagai penegak keadilan dan kebenaran.
Di Indonesia istilah Golongan Putih merupakan sebutan bagi orang-orang yang memiliki sikap politik untuk tidak memberikan hak suaranya dengan cara sengaja tidak mendatangi tempat pemungutan suara saat berlangsung Pemilihan Umum,atau dengan sengaja memberikan suaranya dengan cara yang tidak sah ketika harus mencoblosdengan berbagai alasan antara lain ada yang disebabkan ketidakpuasan politik sehingga merasa perlu melakukan protes dengan cara demikian, ada yang memiliki kendala geografis dan teknis sehingga enggan untuk berangkat ke tempat pemungutan suara, namun ada pula yang memang apatis dengan persoalan politik.
Dari beberapa alasan tersebut, gerakan yang mengalami kendala teknis tentu bisa dimaklumi, yang menganggap perlunya protes politik sebagai sebuah gerakan moral untuk melakukan kritik terhadap kehidupan politik saat ini bermaksud bisa merubah kehidupan politik menjadi lebih baik, namun lain halnya dengan kelompok yang apatis terhadap kehidupan politik, dari sisi loyalitas terhadap eksistensi kebangsaan kelompok apatisme politik ini sesungguhnya adalah kelompok yang sangat berbahaya.
Dan celakanya lagi, kelompok apatisme politik lebih cepat tumbuh dan berkembang, bahkan secara bawah sadar justeru mendapat angin dari terminologi Golongan Putih itu sendiri, yang terkesan sebagai kelompok yang senantiasa menjunjung nilai-nilai luhur untuk menegakkan keadilan dan kebenaran sebagaimana Golongan Putih dalam dunia Kang Ouw yang sesungguhnya memiliki makna yang berlawanan.
Beberapa tokoh dan pengamat dinamika sosial politik di Indonesia mengungkapkan bahwa data terakhir pada 2009, jumlah Golongan Putih (Golput) pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 mencapai 29,6 persen dan diperkirakan pada Pemilu 2014 akan mengalami peningkatan mencapai 40 persen. Hal ini dikarenakan budaya politik masyarakat menjadi apatis dan memandang pemilu bukanlah perayaan penting bahkan cenderung tidak bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka.
Di negara-negara barat Golongan Putih dalam Pemilu dikenal dengan sebutan No Voting Decision, dan masing-masing negara memiliki cara-cara yang berbeda dalam menyikapinya. Di Australia dalam situs resmi Komisi Pemilu Australia (AEC) orang yang melakukan No Voting Decision dikenakan denda sebesar AU$20 atau Rp196 ribu, bahkan AEC akan meminta penjelasan kepada warga yang bersikap politik seperti itu, dan apabila mereka tidak memberikan jawaban dalam waktu 21 hari, AEC dapat memproses masalah ini hingga ke pengadilan dan dijatuhkan denda lebih besar lagi, yaitu AU$170 atau Rp1,7 juta. Sedangkan di Amerika Serikat, menurut Curtis Gans, Direktur Pusat non-partisan untuk Studi Pemilih Amerika saat ini sekitar 90 juta warga AS yang memilih tidak memberikan suaranya bahkan tren jangka panjang akan cenderung meningkat, dan tidak sanksi apapun terhadap mereka.
Pada awalnya Istilah Golongan Putih atau Golput di Indonesia adalah sebuah Gerakan Moral Politik yang dilakukan saat terselenggaranya Pemilihan Umum yang selalu didengung-dengungkan sebagai sebuah Pesta demokrasi. Pada 3 Juni 1971, di Gedung Balai Budaya Jakarta, sejumlah kalangan aktivis muda saat itu, seperti Arief Budiman, Imam Waluyo, Julius Usman, Husin Umar, Marsilam Simanjuntak, dan Asmara Nababan mendeklarasikan sebuah gerakan protes karena merasa aspirasi politik mereka tidak terwakili oleh wadah politik formal yang ada waktu itu. Mereka menyerukan pada orang-orang yang tidak mau memilih parpol untuk menusuk bagian yang putih (yang kosong) di antara sepuluh tanda gambar yang ada inilah yang mendasari sehingga muncul istilah Golput.
Inilah klausul yang dijadikan dalil pembenaran logika Golput dalam Pemilu di Indonesia. Dalam UU No. 39/1999 tentang HAM pasal 43. UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil Politik, yaitu di pasal 25. Dalam UU tentang Pemilu yaitu UU No.10/2008, disebutkan di pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: “WNI yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai HAK memilih.” Dalam klaususl tersebut kata yang tercantum adalah “hak” bukan “kewajiban”.Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diamandemen tahun 1999-2002, tercantum Dalam pasal 28 E disebutkan: “Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Hak memilih di sini termaktub dalam kata bebas. Artinya bebas digunakan atau tidak.
Terkait dengan dalil diatas, maka sedikit tentang kilas sejarah munculnya istilah Golput dimulai pada tahun 70 an jaman Arief Budiman dkk, mereka menggunakan hak memilihnya untuk “tidak memilih” dengan alasan sebagai sebuah bentuk sikap protes terhadap sistem politik pada saat itu masih masuk akal, karena mereka disodori kelompok-kelompok politik yang menurut mereka tidak mampu menyalurkan aspirasi mereka. Namun saat ini , setelah berakhirnya era Orde Baru iklim politik sudah jauh berbeda, bahkan demokratisasi yang telah berlangsung bisa disebut malampaui target alias “kebablasan” dimana partisipasi politik rakyat bisa dimulai dari tahap pembentukan kelompok-kelompok politik, sehingga seluruh komunitas dalam masyarakat dalam proses politik memiliki hak untuk ikut serta membangun partai-partai politik yang sesuai, bukan karena disodori partai politik bentukan pemerintah.
Berbeda dengan Golput saat ini, pada tahun 70 an mahasiswa aktivis tersebut menggunakan dasar-dasar etika moral politik untuk memperbaiki sistem politik yang menurut mereka kurang benar. Sementara Golongan Putih saat ini sesungguhnya tumbuh dan berkembang dari kalangan masyarakat yang memiliki apatisme politik, yang berarti golongan bagi mereka yang memiliki sikap ketidak pedulian politik. Sedangkan sikap ketidak pedulian politik ini sangat berbahaya karena akan berujung pada ketidak perdulian terhadap keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai tanah air mereka sendiri. Secara ekstrim,dalam prosesnya ketidak pedulian ini adalah cikal bakal perlawanan terhadap eksistensi negara.
Secara filosofis, menurut Aristoteles negara merupakan sebuah organisme yang hidup yang terdiri dari kota-kota (polis) yang tersusun atas desa-desa dimana didalamnya berinteraksi keluarga-keluarga yang terdiri dari mahluk-mahluk politik (zoon politicon) yang berarti saling membutuhkan satu dengan yang lain. Karena kesadaran sosial politik inilah sudah seharusnya setiap warga negara memiliki tanggung jawap pula secara politik, yang berarti ketidak perdulian politik memiliki arti menjerumuskan negara tempat dia bernaung.
Nah, kalau sudah begitu tentu berbeda sama sekali dengan Golongan Putih dalam dunia persilatan yang terdiri dari aliran-aliaran penegak keadilan dan kebenaran, Golongan Putih dunia persilatan politik di Indonesia seharusnya terdiri dari orang-orang yang memiliki konsepsi pembangunan Republik Indonesia kedepan menjadi lebih baik, memiliki etika moral yang baik, berperilaku tegas berani dan jujur dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Namun kenyataannya, Golongan Putih dalam Pemilu Indonesia saat ini sesungguhnya merupakan segolongan orang yang ikut serta mendukung keterpurukan negara Republik Indonesia.
Jadi sekali lagi, tidak ada alasan bagi kita untuk menggunakan hak memilih kita untuk “tidak memilih” dalam Pemilihan Umum mendatang. Marilah kita berusaha bertanggung jawab terhadap kehidupan sosial Politik kita sendiri. Ikut serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran melalui jalur politik. Bukan sebagai Golongan Putih yang tidak perduli dengan Indonesia, yang lebih layak disebut Golongan Hitam yang berbaju Putih.
Semoga semakin Jaya Republik Indonesia.