Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Oh Indonesiaku, Pembuat Kudeta Dibiarkan, Tukang Sate Ditahan
Ada satu yang menarik muncul dari pembicaraan tersebut, tanpa sabar menggelitik saya membuat tulisan ini.
Editor: Rendy Sadikin
Oleh Richard Susilo
AKHIR minggu kemarin kumpul bersama teman-teman Jepang di sebuah café di Tokyo. Pembicaraan berkisar kabinet baru Jokowi saat ini. Ada satu yang menarik muncul dari pembicaraan tersebut, tanpa sadar menggelitik saya membuat tulisan ini.
Pergantian ke pemerintahan baru ternyata banyak disorot para pengusaha Jepang. Mengapa? Karena mereka ingin investasinya di Indonesia aman. Tidak ingin seperti kejadian di China, September tahun lalu (2013) dengan unjuk rasa bahkan huru-hara anti Jepang besar-besaran di China. Membuat pengusaha Jepang sejak saat itu mengurangi investasinya di China pindah ke Indonesia dan negara Asean lain seperti Vietnam, Myanmar dan sebagainya.
Untuk itulah, berbagai berita mereka perhatikan baik-baik sampai kejadian tukang sate yang ditahan polisi karena dianggap menghina Presiden Jokowi.
“Dulu 10 tahun jamannya Susilo Bambang Yudhoyono saya kok belum pernah dengar penghina Presiden langsung ditangkap ya?” papar teman saya itu.
“Kalau pun ada ya paling di proses polisi tidak ditahan, di pengadilankan, lalu kalau bersalah ya di penjara. Itu wajar bukan?” tanyanya kepada saya.
Terus terang saya tak bisa menjawab karena tahu pasti dia mengarah ke kasus si tukang sate.
“Tapi kini kenapa cuma tukang sate saja, langsung ditahan polisi ya? Walaupun menghina itu kan hak asasi dia. Kalau salah, di pengadilankan, salah, ya barulah ditahan. Bukan sekarang dong!” tekannya lagi tak mengerti dan berubah demokrasi kebebasan di Indonesia saat ini dibandingkan jaman SBY lalu.
Tidak berhenti sampai di situ saja, teman saya itu juga memperhatikan kasus pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Tandingan dari kelompok Jokowi yaitu Kelompok Indonesia Hebat (KIH).
“Wah, kayaknya di dunia saya baru dengar pertama kali DPR baru bisa seenaknya dibuat sendiri oleh orang di dalam DPR. Itu kan namanya kudeta bukan?” tanyanya.
Kaget juga saya mendengar pertanyaan dan sekaligus pernyataannya mengenai Kudeta di Indonesia.
Secara logika mungkin bisa diasumsikan benar juga. Anggota DPR, politisi Indonesia membuat DPR di dalam DPR, itu sama juga pejabat negara misalnya beberapa menteri bergabung, para eksekutif, membentuk Presiden baru, apa bukan Kudeta namanya?
“Nah kalau sudah kudeta begitu kok didiamkan saja ya oleh para polisi para penanggungjawab hukum di Indonesia, saya tak mengerti deh Indonesia. Sementara orang mau bebas berbicara, menghina sekali pun, langsung ditangkap masuk penjara,” ungkap teman saya lagi.
Terus terang saya diam saja dan tak bisa bicara lagi karena logika yang disampaikan benar semua, masuk akal dan tak bisa saya bantah saat ini. Atau memang saya tak mengerti politik kali ya?
Khusus mengenai kasus tukang sate ingat pengalaman saya saat di SMA sebuah sekolah lanjutan tingkat atas sangat bergengsi, katolik, di Menteng Jakarta Pusat.
Saat itu saya Pemimpin Redaksi di sana. Pemikiran bebas saat itu memperkenankan seorang pembuat karikatur menyumbangkan naskahnya untuk majalah dinding SMA saya.
Apa gambarnya? Murid-murid menyembah di depan guru olah raga berpakaian kaos merah sambil bertolak pinggang melihat melototi murid-murid yang menyembahnya. Lalu saya pasang di majalah dinding.
Langsung saya dengar guru olah raga itu (saat ini sudah meninggal) marah luar biasa dan bicara kepada semua guru yang ada. Akibatnya saat pembagian rapor angka saya merah semua, lima semua, tentu tidak naik kelas.
Ayah saya dipanggil dan Kepala Sekolah terus terang mengakui di hadapan saya dan ayah saya, guru tersebut marah dan yang lain ikut simpati, membuat saya tak mungkin naik kelas.
Akhirnya saya dinaikkan ke kelas dua SMA tetapi harus pindah sekolah SMA. Pindahlah saya ke sekolah lain akibat kasus tersebut.
Teman-teman lain kaget tak tahu kejadian tersebut sampai belakangan ini. Bahkan pembuat karikatur baru-baru ini datang ke Tokyo minta maaf, “Gara-gara gue elo dikeluarkan maaf ya, bro!” katanya.
Itu masih cakupan sekolah, hanya sebuah sindiran kecil karikatur membuat nasib saya berubah. Tidak membayangkan, yang katanya penghinaan dilakukan tukang sate, lalu kini ditahan dan diributkan semua orang, karena dia dibela “oposisi” Kelompok Merah Putih (KMP) yang mebguasai parlemen atau DPR.
Terus terang, tak mengertilah apa yang akan terjadi di masa depan atas politik dan pemerintahan Indonesia nantinya. Yang jelas pihak Jepang sangat memperhatikan sampai detil semua gerakan politik di Indonesia.
Jangan sampai nilai setitik rusak susu sebelanga. Tolonglah agar semua pihak menahan diri. Buanglah rasa iri dan dendam jauh-jauh.
Jadikanlah persatuan dan kesatuan bukan hanya slogan dan di mulut saja. Pertarungan telah selesai, pemilu telah selesai, ada baiknya semua focus memajukan bangsa dan tanah air Indonesia ini. Buanglah kebencian dan rasa iri hati.
Lama-lama mungkin juga dinyanyikan, dijadikan lagu barangkali, “Jangan lagi ada benci di hati” Begitulah judul lagunya. Ada yang mau membuatnya?
*) Penulis adalah Koordinator Forum Ekonomi Jepang Indoensia (JIEF) domisili 23 tahun di Tokyo, Jepang