Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Beras Oplosan Plastik: Rakyat Miskin, Pemerintah Lalai dan Tata Niaga Global yang Egois

Kaum ibu pun semakin khawatir apakah beras yang dibeli dan dimasaknya untuk keluarga adalah beras yang aman atau justru membahayakan anggota keluarga

Editor: Dewi Agustina
zoom-in Beras Oplosan Plastik: Rakyat Miskin, Pemerintah Lalai dan Tata Niaga Global yang Egois
instagram
Beras plastik yang dibeli oleh warga Bekasi di sebuah pasar tradisional pada 18 Mei 2015 lalu. 

Iffah Ainur Rochmah
Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia

KASUS temuan beras palsu oplosan plastik di beberapa daerah di Jawa Barat cukup meresahkan publik.

Kaum ibu pun semakin khawatir apakah beras yang dibeli dan dimasaknya untuk keluarga adalah beras yang aman atau justru membahayakan anggota keluarganya.

Semua tahu beras adalah makanan pokok dan bahaya mengonsumsi beras plastik ini telah banyak difahami khalayak.

Setidaknya 3 hal yang patut mendapat sorotan kita:

Pertama, beredarnya bahan pangan palsu semacam ini muncul karena masyarakat tergiur harga yang rendah dari produk yang dibutuhkan sehari-hari.

Kemiskinan dan daya beli rendah masyarakat--akibat semakin kentalnya watak neoliberal pada pemerintah saat ini--adalah penyebab utama mengapa masyarakat lebih mencari produk yang murah tanpa terlalu memperhatikan kualitas. Faktor inilah yang dimanfaatkan oleh pebisnis nakal untuk menjual bahan pangan berbahaya seperti beras oplosan ini.

Berita Rekomendasi

Seperti kita ketahui beras plastik ini dijual dengan harga lebih murah dari produk  dengan penampilan sejenisnya.

Seandainya daya beli masyarakat cukup memadai maka mereka akan lebih selektif memilih dan tak mudah tergiur barang yang murah bahkan akan mewaspadai bila ada barang yang dijual terlalu murah.

Kedua, pemerintah diharapkan oleh publik untuk bisa memberi perlindungan dari berulangnya kasus serupa.

Kelalaian pemerintah untuk rutin dan konsisten melakukan pengawasan pasar terhadap khususnya produk-produk pangan memberi celah terjadinya penyimpangan semacam ini.

Sangat disayangkan pemerintah baru melakukan uji lab setelah muncul aduan dan temuan beras palsu.

Kenapa tidak dilakukan secara periodik misal 3 bulanan, tidak hanya ketika ada kasus atau pada momen-momen yang rawan seperti menjelang ramadhan dan semisalnya.  

Kendala dana untuk operasional pengawasan tersebut tidak boleh menjadi alasan.

Bila pemerintah sungguh-sungguh ingin memberikan jaminan keamanan pangan (food safety) bagi publik maka jangan menunggu jatuhnya korban, harus segera dibuat kebijakan berikut alokasi anggaran untuk pengawasan yang menjamin keamanan pangan publik. 

Pemerintah juga tak layak berdalih bahwa produk ini masuk ke Indonesia secara ilegal. Karena sepantasnya pemerintah juga bisa menanggulangi kejadian-kejadian semacam ini.

Bila itu tidak segera dilakukan pemerintah, maka hal itu menegaskan pemerintah saat ini adalah rezim neolib yang berlepas dari fungsi negara sebagai penanggung jawab dan pengayom.

Ketiga, tata niaga global yang kapitalistik telah terbukti menghasilkan kerusakan karena berbasis liberalisme ekonomi.

Yakni mendorong setiap pelaku usaha, individu maupun korporat untuk mencapai keuntungan tertinggi dengan cara apapun, tanpa peduli membahayakan publik.

Juga memberi kebebasan produksi apa pun dan mendistribusikan kemana pun tanpa hambatan pajak dan tarif.

Kasus beras oplosan plastik di Indonesia ini bukanlah pertama kali. Tahun 2012 lalu kasus serupa juga sudah muncul.

Di Cina, korban jiwa akibat bahan pangan berbahaya juga sudah seringkali menjadi berita global, akibat banyak dan beragamnya bahan-bahan pangan palsu. Bahan berbahaya semacam ini akan terus diproduksi oleh produsen-produsen nakal yang egois karena mereka didorong prinsip ekonomi kapitalis ‘biaya sekecil mungkin, keuntungan sebesar mungkin’.

Bahaya ulah merusak mereka juga akan terus mengintai masyarakat kita karena globalisasi yang menghapus batas-batas negara dan menyebabkan pemerintah tak mau menunjukkan tanggung jawab penuh memberi perlindungan pada rakyat.    

Berbeda dengan sistem Islam yang dulu diterapkan dalam era kekhilafahan. Di masa khilafah Umawiyah, sejarah mencatat berjalannya fungsi pengawasan pasar dalam memberikan jaminan keamanan pangan publik.

Ada petugas-petugas khusus negara khilafah yang berseragam khas yang rutin melakukan tugasnya untuk menstandarisasi mulai dari bahan baku, pengolahan hingga pengemasan produk roti yang merupakan makanan utama penduduk di Kota Baghdad masa itu.

Demikianlah, saatnya kita menyadari kegagalan sistem kapitalis dan neoliberal dalam menjamin kebutuhan rakyat. Saatnya berjuang mengembalikan kemuliaan manusia dan penjagaan hak-haknya dengan menegakkan kembali khilafah Islamiyah.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas