Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Permata Anti Pengangguran
Komprehensifitas pengertian menjadi jelas bagi kita.
Editor: Hasanudin Aco

Oleh: Dody Susanto
Direktur Klinik Pancasila
TRIBUNNEWS.COM - Negeri yang kaya raya ini sejak kedatangan bangsa-bangsa Eropa mulai terintegrasi dengan roda roda kemajuan perekonomian dan pembangunan dunia. Banyak hasil kekayaan alam dan bumi dari Nusantara diangkut ke negeri-negeri yang jauh, yang mereka tak pemah tahu cara dan proses produksinya untuk demi peri kehidupan peradaban masyarakat mereka sendiri. Lebih-lebih ketika Belanda datang dengan maskapai dagangnya, VOC, semakin banyak kekayaan alam dan hasil bumi yang disumbangkan negeri ini untuk dunia. Namun, apa yang diimbal negeri ini dari dunia? Indonesia lama terpuruk dalam kolonialisasi. Jauh sebelum tahun 1800-an, terutama di Jawa,
bangsa negeri ini terjerambab martabat dan mental kemandiriannya sebagai manusia menjadi kuli di ladang dan kebun sendiri. Hingga pada sepanjang tahun 1800-an muncul perlawanan dari bangsa ini.
A. Menghapus Stigma Bangsa Kuli.
Sebelum tahun 1800-an VOC Belanda tidak mempunyai iktikad untuk memberdayakan masyarakat bumiputra. Alih-alih untuk memajukan dan menyejahterakan penduduk bumiputra, untuk menaikkan taraf hidup mereka baru datang kemudian pada masa "politik etis". Itupun tidak terjadi secara massif dan berpihak.
Ada tahap-tahap yang menunjukkan proses bagaimana Belanda, VOC, mengambil keuntungan berlebih dari tanah-tanah luas Indonesia. Sebutlah Masa Kompeni, masa dimana Belanda sedang giat giatnya menanam pengaruh kepada penguasa-penguasa lokal baik secara halus maupun paksa. Lalu masa Kultur Stelsel, masa tanam paksa. Dimana para penguasa sampai tingkat desa diperintah- paksa untuk memaksa penduduknya menanam tanaman tertentu pesanan VOC. Lalu masa ini diganti masa Liberale Stelsel dan Politik Etis.
Pada masa-masa giat-giatnya perdagangan dunia dipimpin Eropa, Belanda malah menerapkan monopoli dagang yang tidak hanya merusak pertumbuhan iklim perekonomian dalam negeri tetapi juga merusak sistem agrikultur terutama di Jawa, akibat penerapan Kultur Stelsel dan Agrarische Wet (1830-1870). Banyak petani yang tidak dapat merasakan hasil panen mereka. Misalnya untuk komoditas kopi, belanda tidak segan segan memaksa penanaman jenis komoditas ini kepada para bupati; juga tidak segan untuk memusnahkan tanaman itu dan bila terdapat kelebihan produksi. Belanda melarang para petani memperdagangkannya di luar monopolinya.
Akibat kolonialisasi yang panjang ini, serta kolaborasi politik dagang VOC dengan penguasa penguasa feodal lama yang begitu sempurna, jatuhlah mental dan talenta ekonomi masyarakat pada umumnya. Mental-mental tangguh itu berganti menjadi mental kuli, inlander, inferior di muka bangsa kulit putih. Lalu muncullah peijuangan-peijuangan politik yang kurang berbasis pada penguatan ekonomi dan perdagangan. Walaupun demikian, peijuangan ekonomi-politik pemah juga diprakarsai oleh SDI (Sarekat Dagang Islam) yang kemudian bergeser dan besar menjadi SI (Sarekat Islam) yang lebih bernuansa politik dari pada ekonomi di bawah kepemimpinan HOS Tjokroaminoto.
Upaya untuk mamajukan taraf hidup masyarakat bumiputra lewat ekonomi mikro (rill) saat itu sangat sulit bagi bumiputra. Sebab posisi itu oleh Belanda diserahkan dan .dipegang kepada bangsa asing Asia; seperti TiongHoa, India, dan Arab; sehingga hampir praktis ketja
ekonomi Belanda ialah dengan mudah memungut pajak dari mereka. Bahkan Belanda, terutama sebelum tahun 1800, tidak mengadakan perubahan yang besar bagi koloninya. Ia hampir hanya menyalurkan arus barang-barang komoditas ke Eropa dalam bentuk laba dan pajak saja. Suatu hal yang menguntungkan. Jauh kemudian hari Belanda bukan lagi berdagang, malah menguasai dan campur tangan dalam kehidupan politik hingga seluruh Jawa beberapa kawasan timur sebagian besar tunduk dan jatuh dalam pengaruh politik-ekonominya.
Mental minder dan inlander segera menyeruak manakala kegagalan pertumbuhan bagi bumiputra dalam segala bidang tetjadi akibat kolonialisme Belanda. Para petani memang mereka pemilik tanahnya, tetapi terhadap hasil produksi mereka tidak punya kuasa untuk menikmati. Jangankan menikmati, menentukan harga saja tidak bisa. Sehingga mereka terbentuk secara struktural menjadi "kuli di tanah sendiri."
Mental ini, ditambah dengan deraan penjajahan terus menerus, mengakibatkan penderitaan yang tiada tara, bukan hanya kelaparan dan emiskinan yang menyiksa. Tetapi hilangnya harkat dan martabat sebagai manusia mandiri (merdeka) turut melunturka jatidiri hanga. Keinginan hidup sejahtera pun diterpa deraan kolonialisme.
Akhirnya tingkat suhsisten masyarakat merosot hingga menyerah pada titik nadir kepapaan. Ujungny sehagian dari mereka "herdamai" dengan kekuatan kekuatan imperialis hingga lahirlah mental inlander Menjadi kuli di negerinya sendiri, hangsa kuli dan kul hagi hangsa-hangsa lain.
Sebenarnya, hila kita melihat proses dan selan interval waktu dimana kita didera kolonialisme sungguh sangat mengejutkan hila dilihat. Kita, hangsa ini pernah didatangani hangsa Spanyol, Potugis, lnggris Belanda dan ditamhah heherapa tahun saja oleh penindasan
Jepang. Kolonialisasi yang terjadi atas diri bangsa ini ternyata berjalan ratusan tahun. Kita juga pernah disasar gelombang pemikiran peruhahan. Namun apa yang terjadi? Kita tetap menjadi diri sendiri nyaris tidak ada yang berubah secara fisik.
Walaupun mental dan telenta alam kita sehagian suda tenggelam ke dalam lumpur hawah sadar kebangsaan kita. Sehingga jati diri kita sedikit belum hanya terkuak.
Namun lihat, secara ras dan suku apalagi bahasa tidak ada yang tergantikan oleh bahasa-bahasa Eropa Bayangkan dan bandingkan dengan penjajahan Spanyol atas Mexico, Indian oleh multi ras Eropa, sebagian besar komposisi kultur budaya ras dan bahasa berubah menjadi Hispan, sebagian menjadi Anglo-saxon ata Normand. Lihat Australia, tiba-tiba kita sudah mengenalnya menjadi negeri orang-orang Anglo, nyaris seperti komposisi sosial masyarakat Eropa. Negeri ini Tetap menjadi dirinya sendiri.
Artinya ada "alat" untuk menghapus stigma bangsa kuli atau setidaknya stigma negatif terkait dengan produktivitas yang melekat pada diri bangsa ini. Alat itu ialah memori kolektif, yang kelak mampu mengembalikan hakikat by nature bangsa ini. Mampu mengembalikan DNA
yang drop menjadi "bangsa kuli" itu ' bangkit menjadi DNA bangsa mandiri yang berorientasi pada kemuliaan hidup. Selama ini kita masih sering dihalang-halangi untuk mengetahui siapa jatidiri bangsa ini? Masih ada pihak-pihak yang berusaha menghapus
memori kolektif (sejarah masa lalu) ini sekiranya kita tetap kerdil menjadi bangsa kuli. Sudah saatnya kita menghapus stigma bangsa kuli ini dengan tindakan dan perilaku.
Memori kolketif ini tak lain adalah intelijensia bangsa yang tersimpan dalam budaya bestari dan terpatri dalam guratan perjalanan sejarah bangsa, bahkan dalam tindakan-tindakan arkhais masyarakat tradisi. Di sana kita bisa menemukan figur masalalu yang menceritakan
hakikat insan paripurna itu seperti apa dan bangsa ini apa dalam kaitannya. Dalam kekayaan nilai tradisi yang tetwariskan cukup jelas untuk menerka keagungan jati diri bangsa ini.
B. Mengubah Paradigma
Sebuah masyarakat yang terlanjur lama dihidupi oleh . standar hidup yang rendah serba tak bernilai pertumbuhan dan pengembangan wawasan keadabannya turut rendah dan minim. Hal ini bahkan menimbulkan keterbatasan-keterbatasan (inferiority complex) yang lahir dari
mental-psikisnya sehingga lingkungan dan potensi alam yang semula luas menjadi sempit dan terbatas bagi pemenuhan dirinya (self sufficient). Perkembangan perikehidupannya tak termotivasi oleh peluang dan kemajuan; malah menjadi mudah mengeluh (excuse) setiap
menghadapi percepatan perubahan.
Sekarang dalam era ekonomi pasar yang sudah tak terhindarkan lagi bangsa ini harus berani mencoba untuk merubah cara pandang baru atas apa itu Defmisi produktivitas. Sebelumnya alangkah baiknya kita tarik ke aras sosio kultural dulu. Sebab dari sini kita bisa menelusuri gegar
budaya (shock cultures) yang kita derita akibat kolonialisme bangsa-bangsa Eropa masa lalu. Produktifitas kalau kita sepakat makna dan pengembangan arti arkhaisnya dalam tindakan ialah keberdayahasilan, keberdayagunaan dan keberdayaan dalam memberikan manfaat bagi sesama dan utamanya bagi cliri sendiri. Nah disini kita bisa menurunkan pengertian yang lebih terkait lagi dengan dunia apa yang dikatakan ekonomi produksi itu. Yakni kemampuan seorang pribadi menghasilkan karya. Karya itu sesuatu artefak yang datang dari daya oleh pikir (akal budijbuclipekerti) yang berdialektika dengan alam/lingkungannya; berbuah hasil berupa barang atau Pengetahuan (yang akan bermorfesa menjadi jasa; seperti menjacli editor, penulis bayangan, dll) . Dimana barang itu dihargai atau diperlukan (menjadi kebutuhan) atau setidaknya disenangi oleh orang lain baik secara individual maupun komunal.
Maka komprehensifitas pengertian menjadi jelas bagi kita. dalam arti kita sendiri banyak mempunyai peluang untuk ptoduktif (bemilai ekonomis), manakala memperhatikan kekayaan alam hayati dan mineral yang dikandung bumi pertiwi atau setidaknya jika
kita memperhatikan lingkungan sekitar kita. Apa iya tidak ada sesuatupun yang dapat diolahalih menjadi komoditas ekonomi? Tuhan tidak pernah berhenti memberi kelimpahan anugrah kepada manusia. Hanya karena pemikiran atau wawasan yang sempit menghalangi manusia menernukan hal-hal yang berguna dan bermanfaat bagi orang lain (dan tentu itu bemilai ekonomis).
Dengan kemampuan natural yang kita miliki, rnisalnya kekuatan tangan untuk mengangkat, kemampuan kaki beijalan cepat, ketegaran badan untuk mendukung benda, atau kecerdikan pikir memahami dan menyelesaikan persoalan, semua itu adalah anugrah dasar dan kemampuan hayati (baca: bertahan hidup) kita. Jika bangsa ini sudah memahami akan hal ini, saatnyalah tetjadi Shifting impotential paradigm (mengubah paradigma ketakberdayaan).
Namun, sebelum secara gradual melakukan perubahan paradigma ketidakberdayaan, kita seyogyanya total memahami dan mendiagnosa kesalahan "masa lalu", gegar budaya yang memrosotkan mental kemandirian. Dengan demikian, terkadang, kita menjadi sadar akan kondisi puruk selama ini yang sebelumnya tidak disadari. Setelah itu kita harus berani dengan kesatria (gentlement) menerima wawasan baru yang bersesuai dengan gerak keinginan kita untuk maju, mandiri dan produktif. Juga kita harus berani mengganti ancient system of mode of produkction yang gagal menyejahterakan dengan sistem yang berpihak; dengan jujur mengakui bahwa kesalahan dalam
membangun produktivitas juga karena faktor diri kita sendiri-baik dalam level keputusan, pemilihan sikap, dan langkah implementasinya.

