Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Sejarah Kopi Gayo: Sengkewe dan Belanda
Masyarakat Gayo menyebut kopi dengan istilah "sengkewe" atau "kewe." Tanaman kopi sudah tumbuh di Gayo, sebagai tanaman liar, jauh sebelum Belanda ma
Editor: Yulis Sulistyawan
Penyair Didong Gayo, Ibrahim Kadir masih ingat ketika orang tuanya merebus daun “kawa” untuk diminum.
“Saya ingat, karena orangtua saya melakukannya seperti itu,” kata Ibrahim Kadir.
Ia menyebutkan “kawa” tumbuh liar, batangnya tinggi dengan ranting yang menjalar kemana-mana. Buahnya seukuran kelereng, berwarna merah menyala.
“Boleh jadi masa itu orang Gayo tidak menyadari bahwa itu adalah tanaman penting dan membiarkannya sebagai tanaman liar, kecuali daunnya yang diseduh jadi teh,” kata Ibrahim Kadir.
Istilah “kawa” atau “sengkawa” ini juga dikutip oleh C. Snouck Hurgronje, penulis Belanda dalam bukunya “Het Gajoland en Zijne Bewoners” yang terbit pertama kali di Batavia pada 1903, diterbitkan ulang dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Gayo Masyarakat dan Kebudayaannya Awal Abad ke-20” oleh Hatta Hasan Aman Asnah, PN Balai Pustaka, 1996. Snouck menyinggung soal kopi di khalaman 254.
C. Sonuck Hurgronje dalam buku tersebut mengungkapkan rasa herannya karena di tanah Gayo dijumpai batang kopi.
“Darimana asalnya, seorangpun tidak ada yang tahu. Sepanjang ingatan, tidak seorangpun mengaku pernah menanam kopi, dan menganggap bahwa tanaman ini tanaman liar,” tulis C. Snouck Hurgronje.
Masih menurut C. Snouck, masa itu orang mengambil batang atau cabang tanaman kopi untuk pagar (peger) kebun. Buah kopi yang masak dibiarkan saja dimakan burung, kemudian burung itulah yang menyebarkan kopi.
“Orang Gayo sendiri tidak tahu bahwa kopi itu bisa diolah menjadi minuman segar. Yang mereka tahu hanya memanggang daunnya yang kemudian dijadikan teh,” kata C. Snouck Hurgronje.
Ini artinya, bahwa kopi telah tumbuh di dataran tinggi Gayo sebelum Belanda menjejakkan kaki kawasan itu pada 1904.
Dengan demikian terbantahkan anggapan selama ini, seolah-olah kopi dibawa oleh Belanda ke Gayo.
Cerita di berbagai publikasi tentang kopi, memang selalu disebutkan bahwa kopi pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1696 melalui Batavia (sekarang Jakarta), dibawa oleh Komandan Pasukan Belanda Adrian Van Ommen dari Malabar – India.
Ditanam dan dikembangkan di tempat yang sekarang dikenal dengan Pondok Kopi -Jakarta Timur, dengan menggunakan tanah partikelir Kedaung.
Sayangnya tanaman ini kemudian mati semua oleh banjir, maka tahun 1699 didatangkan lagi bibit-bibit baru, yang kemudian berkembang di sekitar Jakarta dan Jawa Barat antara lain di Priangan, dan akhirnya menyebar ke berbagai bagian di kepulauan Indonesia seperti Sumatera, Bali, Sulawesi dan Timor. (Diunduh 26 Januari 2014 dari http://www.aeki-aice.org/page/sejarah/id).