Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mensos: Nikah Dini Lahirkan Kemiskinan Struktural Baru
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam rumah tangga bisa terjadi karena pernikahan dini, dan pernikahan yang tidak tercatatkan.
Ditulis oleh : Humas Kementerian Sosial RI
TRIBUNNERS - Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa mengatakan anak-anak selalu menjadi korban perceraian orangtuanya. Untuk itu ia melihat perlunya tindakan untuk menuruni angka perceraian di Indonesia.
“Semua pihak harus melakukan penguatan agar terjadi penurunan angka gugat cerai, karena yang menjadi korban dipastikan anak-anak mereka,” ujarnya di Jakarta, Senin (14/12/2015).
Menurutnya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam rumah tangga bisa terjadi karena pernikahan dini, dan pernikahan yang tidak tercatatkan atau tidak teradministrasikan.
“Banyak pihak kritis dengan permasalahan hilir, seperti KDRT dan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Tetapi hulunya, yaitu pernikahan dini tidak mendapatkan perhatian serius,” katanya.
Pernikahan dini tidak hanya usia saat memulai pernikahan. Termasuk juga usia pernikahan di bawah lima tahun yang rentan terhadap berbagai masalah KDRT, kekerasan terhadap anak dan perempuan.
“Memutuskan pernikahan itu harus benar-benar matang, karena ada risiko dan konsekuensi yang harus ditanggung oleh kedua pasangan, khususnya setelah anak-anak lahir,” katanya.
Menurut data, 75 persen pernikahan yang tidak dicatatkan dan teradministrasikan memiliki risiko dan kerentanan terhadap pernikahan itu sendiri.
“Untuk mendapatkan pernikahan sejahtera, agar menghindari pernikahan dini dan tidak tercacatkan. Sebab, UU No 1 tahun 1974 menyebut umur perkawian perempuan 16 tahun mesti direvisi seiring regulasi yang ada,” katanya.
Salah satu regulasi tersebut, pada dunia pendidikan yaitu wajib belajar (wajar) 12 tahun. Hal itu, menunjukkan pernikahan bisa dilaksanakan setelah lulus tingkat SMA dan perempuan berumur di atas 18 tahun.
“Regulasi terbaru di bidang pendidikan, yaitu anak usia belajar bisa mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) mulai usia 6-21 tahun, ” ujarnya.
Bahkan, jika terjadi perceraian dan umur perempuan masih mengikuti UU perkawinan di atas, maka sebenarnya ada ruang untuk masalah perdata hingga usia 21 tahun.
“Memang merevisi UU Perkawinan di atas perlu waktu lama. Tapi dipastikan pernikahan tidak dicatatkan bisa melahirkan kemiskinan struktural baru dan tidak mendapatkan intervensi program KKS, KIP, KIS, serta PKH, ” katanya.
Salah satu solusi menurutnya bisa melalui Peraturan Menteri (Permen) Menteri Agama (Menag) agar setiap warga wajib mencatatkaan pernikahan, sekaligus ada upaya pendewasaan usia pernikhan dengan usia minimal 18 tahun.
“Saya kira dengan Permen Menag itu bisa disampaikan pesan agar warga negara wajib mencatatkan pernikahan dan minimal usia 18 tahun, sehingga tidak melahirkan kemiskinan terstruktur, ” tandasnya.