Saya Terkesan Misa Natal di Katedral dan Vatikan, Tapi Iman Sebagai Muslim Tak Terkikis
Saya terkesan dengan penyelenggaraan misa Natal di Gereja Katedral Jakarta maupun Vatikan. Tapi, iman saya sebagai muslim tak terkikis.
Editor: Agung Budi Santoso
Oleh: Iswandi Syahputra, Mantan Wartawan, Dosen Pascasarjana Kajian Komunikasi dan Masyarakat Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
TRIBUNNEWS.COM - Saat menjadi jurnalis, dua tahun berturut-turut 2002 dan 2003 saya berkesempatan meliput misa Natal di gereja Katedral, Jakarta.
Sebagai jurnalis, saya punya akses memasuki dan mengikuti (tepatnya meliput) ibadah misa Natal umat Katolik di dalam gereja.
Kesan saya saat itu, suasana ibadah misa Natal di gereja Katedral begitu rapi, tertib, khidmat dan penuh sakralitas.
Beberapa hal bahkan bikin saya heran, misalnya keberadaan air suci di taman gereja yang disakralkan jama’at.
Tidak hanya berkesempatan mencermati jamaat dalam menjalankan ibadah mereka, saya juga berkesempatan mewawancarai Pastor untuk mengetahui lebih dalam pesan Natal yang hendak disampaikannya.
Kesan Agung dan Sakral di Gereja Vatikan
10 tahun kemudian, pada tahun 2011 saya berkesempatan mengunjungi pusat gereja Katolik di Vatikan, Roma.
Memasuki bagian dalam gereja Basilika St. Petrus, Vatikan kembali menghadirkan kesan sakral dan agung begitu kuat.
Pada tahun berbeda, saya juga berkesempatan memasuki gereja Notre Dame di Paris dan gereja Paul Revere House, di Boston dan sejumlah gereja di kota lainnya seperti gereja La Sagrada Familia di Barcelona dan gereja katedral Milano, di Milan.
Suasana agung dan sakral begitu kuat pada semua gereja yang saya kunjungi tersebut.
Pengunjung melihat "Kandang Natal" yang telah selesai dibangun untuk menyemarakkan perayaan Natal di Gereja Katedral, Jakarta, Senin (21/12/2015). Misa Natal digelar pada malam tanggal 24 Desember di Gereja Katedral Jakarta. (Warta Kota/Henry Lopulalan)
Tidak berkurang sedikitpun keimanan saya memasuki gereja-gereja besar dan bersejarah tersebut.
Dengan kunjungan itu saya malah menemukan hal baru, betapa umat Katolik begitu jelas memisahkan antara hal sakral dan profan, walau keduanya berlangsung dalam satu arena.
Turis bisa masuk ke dalam menikmati keindahan gereja tanpa mengganggu jamaat lain yang sedang beribadah dengan khusyu’nya.
Sekejap saya membayangkan, jika saja mesjid dikembalikan pada jejak awal masa Rasulullah SAW sebagai pusat ibadah, sentra ekonomi atau sentrum budaya, bukan hanya tempat singgah musafir atau tempat tidur, mandi dan buang air.
Muslim Masuk Gereja, Why Not?
Jadi, bagi yang belum pernah masuk ke dalam gereja, janganlah mudah menuduh ada penyimpangan akidah.
Para mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta yang dikabarkan ikut masuk gereja, mengikuti misa Natal, hanya konstruksi media saja.
Mereka adalah mahasiswa S-2 Konsentrasi Studi Agama dan Resolusi Konflik, Program Studi Agama dan Filsafat pada Fakultas Ushuluddin.
Para mahasiswa itu mengunjungi gereja untuk tugas Mata Kuliah Al-Qur’an dan Perbandingan Kitab Suci agama-agama.
Mereka ke gereja bukan untuk membandingkan keimanan mereka.
Sebab (ini penting) keimanan atau keyakinan bukan untuk dibandingkan.
Sesungguhnya mereka ke gereja itu sedang membangun ‘jembatan’ agar potensi kekerasan umat beragama yang bersumber dari teks suci keagamaan dapat didialogkan, bukan dibenturkan.
Cita-cita Islam yang mengajarkan perdamaian dan ajaran Kristen/Katolik tentang kasih harusnya lebih dieratkan dengan saling kunjung mengunjungi seperti itu.
Sesekali silahkan sahabat saya umat Kristiani ikuti khutbah Idul Fitri atau Idul Adha di lapangan atau di mesjid sambil merasakan gemuruh dan gema takbir yang kadang terdengar malu-malu untuk keluar dari bibir jama’ah… Hehehe…
Fanatik pada keimanan dan keyakinan itu harus, tapi memahami (bukan mengikuti) keyakinan orang lain juga penting. ( Sumber: Islampopuler.com )
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.