Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mengapa Harga Beras Tinggi Ini Alasannya
Pada saat Indonesia sedang menghadapi El-Nino 2015, diberitakan besar-besaran bahwa data pangan BPS tidak valid dan negara dalam kondisi terancam pang
Ditulis oleh : Dr Suwandi, Kapusdatin, Kementan
TRIBUNNERS - Masalah pangan tidak henti-hentinya menjadi sorotan media. Harga beras, jagung, bawang merah, daging sapi, daging ayam merupakan materi paling seksi untuk diberitakan.
Pada saat Indonesia sedang menghadapi El-Nino 2015, diberitakan besar-besaran bahwa data pangan BPS tidak valid dan negara dalam kondisi terancam pangan.
Akhirnya Indonesia memutuskan impor beras 1,5 juta ton untuk cadangan beras.
Namun kini apa yang terjadi. Fakta lapangan menunjukkan Januari-Februari 2016 stok beras melimpah di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), per 24 Februari 2016 sebesar 52.834 ton atau130% dibandingkan periode yang sama 2015, padahal saat ini dalam kondisi paceklik akibat El-Nino.
Harga beras semula Rp 9.000-13.000/kg tiba-tiba turun menjadi Rp 7.200-9.000/kg.
Demikian juga stok beras Bulog saat ini masih cukup aman yaitu, 1,5 juta ton terdiri dari 1,0 juta ton beras eks impor dan 0,5 juta ton beras lokal.
Membanjirnya pasokan beras juga terjadi di sebagian besar pasar lainnya.
Anjoknya harga beras di pasar ini telah memukul petani di saat memasuki panen raya padi Maret-April 2016.
Kini harga gabah di petani Temanggung Rp 3.000-4.000/kg dan di Deli Serdang Rp 3.800/kg.
Kondisi disparitas harga dan anomali pasar juga terjadi pada komoditas lainnya yaitu, harga jagung di petani Jember Rp 2.700/kg, dan di Grobogan Rp 2.500/kg. Sementara harga di konsumen/peternak di Blitar Rp 6.000-7.000/kg.
Harga bawang merah di petani Malang Rp 8.000-10.000/kg, dan di Bojonegoro Rp 5.000/kg, tetapi harga di Jakarta Rp 36.000/kg.
Harga daging ayam di peternak Rp 10.000-12.000/kg, dan di Jakarta Rp 33.000/kg, serta harga daging sapi di NTT 30.000-32.000/kg berat hidup, sementara harga daging sapi di Jakarta Rp 114.000/kg.
Fenomena stok melimpah di pasar pada saat paceklik, dan adanya anomali harga ini telah menggugurkan berbagai pendapat yang beredar selama tahun 2015 bahwa data pangan BPS tidak valid dan negara dalam kondisi terancam pangan.
Data ARAM-II BPS 2015, menyatakan produksi padi 74,99 juta ton GKGatau 5,85% dan stock beras cukup ternyata kini telah terkonfirmasi dengan fakta lapangan dan nyata memang benar adanya.
Semestinya para pakar bertanggungjawab terhadap berbagai statemen selama ini yang ternyata tidak terbukti dan tidak sesuai fakta yang ada.
Kini isu pemberitaan paling seksi sudah bergeser dengan mengatakan harga beras Indonesia termahal di dunia akibat biaya produksi belum efisien termasuk pemanfaatan subsidi pupuk dan benih.
Sebaliknya berita kondisi petani kini sedang menangis minta pertolongan karena harga gabah jatuh saat memasuki panen raya, tidak mendapat perhatian sama sekali.
Fakta lapangan bahwa harga beras di negara lain tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Hasil penelusuran ke pasar tradisional Cho Tanh Dinh, di Kota Ho Chi Minh, Vietnam pada tanggal 13 Desember 2015 menunjukkan harga beras berkisar 18.000-24.000 Vietdong tergantung jenis dan kualitasnya.
Harga beras di Vietnam ini bila dikonversi ke rupiah setaraRp 10.711-14.282/ kg. Untuk diketahui nilai tukar 22.500 vietdong/USD dan Rp 13.389/USD.
Di Vietnam juga terdapat beras mahal harga 50.000-147,000 Vietdong dan terdapat beras murah Rp 15.000 Vietdong.
Harga beras medium di Vietnam tersebut tidak jauh berbeda dengan harga beras di Indonesia saat ini berkisar Rp 7.200-13.500/kg tergantung jenis dan kualitas berasnya.
Fakta harga lapangan ini juga mematahkan berita bahwa beras impor dari Vietnam jauh lebih murah yaitu Rp 6.000-7.000/kg.
Apakah terjadi praktek dumping, silahkan dikaji lebih mendalam.
Pakar hanya menganalisis secara dangkal dan menyimpulkan bahwa harga beras Indonesia tinggi akibat proses produksi biaya mahal.
Untuk diketahui harga beras Indonesia tidak mencerminkan harga di petani sesungguhnya.
Mengacu survei Struktur Ongkos Usahatani (SOUT BPS 2014) bahwa biaya produksi padi sawah Rp 17,17 juta/ha dan padi ladang Rp 10,2 juta/ha.
Harga beras Indonesia tidak mencerminkan efisiensi usaha tani dan biaya produksi, melainkan karena dari faktor distribusi, tata niaga, struktur pasar dan perilaku pasar.
Harga beras konsumen di Indonesia yang dikatakan “tinggi” bukan karena aspek produksi, tetapi akibat dari, kondisi sistem distribusi belum efisien, sistem logistik belum tertata, panjangnya rantai pasok tata niaga 7-10 step, asimetri informasi pasar, kondisi struktur, dan perilaku pasar belum bersaing sempurna dan lainnya.
Akibat dari kondisi tata niaga beras ini adalah, fakta terjadi disparitas harga antara di petani dan konsumen terlalu tinggi, terjadi anomali harga berfluktuasi dan cenderung naik, petani sebagai price taker dan pedagang sebagai price maker, profit marjin yang dinikmati petani terlalu kecil dan profit marjin pedagang terlalu besar, harga berfluktuasi dan cenderung naik, konsumen membeli dengan harga mahal.
Selanjutnya pakar berpendapat biaya produksi padi Indonesia belum efisien.
Untuk diketahui sesuai data BPS ARAM-II 2015 menyebutkan produktivitas padi Indonesia 5,28 ton/ha.
Hal ini menunjukkan petani Indonesia sudah mampu melakukan intensifikasi, menerapkan teknologi, benih unggul, pemupukan berimbang, mekanisasi, sehingga produktivitasnya jauh lebih tinggi dibandingkan Thailand 3,13 ton/ha, India 3,66 ton/ha dan Malaysia 3,81 ton/ha.
Sebagai perbandingan income petani, data olahan dari IRRI 2014 menyebutkan keuntungan petani padi Indonesia Rp 14,6 juta/ha, China Rp 14,1 juta/ha, Philipina Rp 13,7 juta/ha, India Rp 8,2 juta/ha dan Vietnam Rp 7,9 juta/ha.
Kami menyarankan agar para pakar berhati-hati memberikan statemen, sebaiknya mencermati data sekunder, mencari data primer serta menelaah lebih mendalam.
Masyarakat menjadi resah akibat berita yang bombastistetapi tidak didukung fakta lapangan.
Kini bukan waktunya lagi mengomentari data, tetapi alangkah baiknya apabila kita secara bersama-sama fokus berpikir dan bekerja keras guna mewujudkan kedaulatan pangan sesuai amanat Nawacita.
Selalu optimis dan yakin bahwa tidak ada masalah sulit yang tidak dapat diselesaikan guna membela rakyat jelata dan petani kecil.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.