Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Paket Kebijakan Ekonomi Pemerintah Dituding Kapitalis
Belum lama ini pemerintah meluncurkan paket kebijakan ekonomi XI. Alih-alih memperbaiki perekonomian saat ini, Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa
Ditulis oleh : PP KAMMI
TRIBUNNERS - Belum lama ini pemerintah meluncurkan paket kebijakan ekonomi XI. Alih-alih memperbaiki perekonomian saat ini, Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) memandang, justru ada bentuk kapitalisme terselubung dalam paket kebijakan tersebut.
Berkedok peningkatan kualitas daya saing dan perlindungan Usaha Mikro Kecil Menengah dan Koperasi (UMKM), pemerintah sebenarnya membungkus kapitalisme dengan wajah baru.
"Dengan dalih mengembangkan potensi geopolitik dan geo-ekonomi nasional yang antara lain dilakukan dengan mendorong UMKMK dan perusahaan nasional meningkatkan kreativitas, sinergitas, inovasi, dan kemampuan menyerap teknologi baru dalam era keterbukaan, pemerintah sudah memilih kata yang indah namun isinya anomali,” kata Ketua Bidang Kebijakan Publik PP KAMMI, Aza El Munadiyan.
Aza menyebut salah satu contoh liberalisasi ekonomi itu adalah penanaman modal asing (PMA) dalam industri bahan baku obat. Padahal, menurutnya, komposisi PMA dalam industri obat sudah mencapai 85%.
“Apakah kebijakan ini bukan kebijakan kapitalis,” serunya.
Saat ini, lanjut Aza, dunia farmasi Indonesia telah mampu memproduksi 90% obat di dalam negeri. Namun, ironisnya 96% bahan bakunya masih impor, yaitu bahan baku obat aktif maupun eksipien.
Akibatnya, fluktuasi harga obat tinggi, ketergantungan terhadap negara lain sebagai produsen juga tinggi, sementara ketersediaan obat di Indonesia minim.
Aza menuturkan, Data Business Monitoring International terbaru terkait pangsa pasar obat di Indonesia sangat menggiurkan, dimana market value untuk bahan baku obat mencapai 30%.
Menghadapi realitas ragam dan jumlah yang besar dari penyakit rakyat Indonesia serta ketersediaan obat, pemerintah mencanangkan kemandirian obat.
Namun, permasalahan dalam upaya mencapai kemandirian obat sebenarnya adalah biaya investasi dengan biaya terbesar dialokasikan pada riset.
Sementara itu, riset pengembangan bahan baku obat memerlukan jalur yang panjang, mulai dari uji praklinik (aktivitas farmakologi, toksikologi in vivo dan in vitro), kemudian setelah terbukti berkhasiat dan aman masih melalui tahan uji klinik pada subjek manusia dalam 5 fase studi klinik.
“Tidak seperti kebanyakan industri lain, biaya riset di bidang obat lebih mahal berlipat-lipat dan memakan waktu lama. Padahal, penyakit terus bermutasi dan berevolusi, sehingga riset harus terus berlangsung selama penyakit ada,” jelas Aza.
Dirinya menyontohkan, dulu saat BJ Habibie menjadi menteri juga pernah mendorong kemandiran obat, namun baru terealisasi pada tahun 1998.
Kebijakan itu pun tidak maksimal lantaran baru krisis moneter hadir saar upaya kemandirian obat baru mulai melangkah. Usaha itu pun terhenti dan kurang berhasil karena jumlah anggaran minim.
“Indonesia kaya akan sumber daya hayati tanaman, mikroorganisme, dan biota laut. Keragaman bahan kimia Indonesia sangat potensial untuk pengembangan bahan baku obat,” ujar Aza.
Aza mencatat, tren riset dengan bahan baku obat dari bahan alam sempat menggeliat pada 2006 dan 2007. Saat itu banyak penelitian tentang senyawa aktif bahan yang berasal dari alam.
Namun, tahun-tahun selanjutnya kembali menurun, bahkan tahun 2011 malah kembali pada penggunaan bahan kimia. Disinyalir permasalahan dalam riset terhadap bahan alam saat itu masih berkutat di wilayah laporan-laporan riset, dan sedikit sekali yang berlanjut sampai proses industri.
“Lalu dimanakah peran negara? Kemenperin sebagai regulator perindustrian di Indonesia seharusnya turut mendorong tercapainya kemandirian obat. Setidaknya, Indonesia minimal bisa memproduksi dekstrosa, garam farmasi (bahan yang banyak digunakan sebagai cairan pengganti tubuh/ infus), amoksisilin (antibiotik), parasetamol (analgesik-anti piretik), dan vitamin C,” katanya.
Ketika negara saat ini masih dalam tahap rencana dan wacana, tambah Aza, beberapa perusahaan farmasi tengah melebarkan bisnis merambah produksi bahan baku obat.
Sebagai contoh Kimia Farma untuk garam farmasi, Kalbe Farma untuk bahan baku bioteknologi, Grup Dexa untuk bahan baku obat dari alam dan obat kanker, jenis vaksin terbaru oleh Bio Farma, serta Soho untuk bahan baku berbasis bahan alami.
Namun, semua itu belum cukup berdampak signifikan karena kuantitasnya masih kecil.
PT Riasima Abadi Farma, misalnya, saat ini baru mengembangkan parasetamol dan bahan bakunya yang baru mencapai 10% pasar di Indonesia.
Kasus lain adalah PT Sandoz yang mencoba mengembangkan ampicillin dan amoksisilin (antibiotik), namun tidak berkembang karena kendala ekonomi.
“Sebagai solusi atas semakin krusialnya dunia obat terhadap kedaulatan negara, diperlukan kontribusi dan kerja sama antara pemerintah, industri, kalangan akademisi, serta lembaga penelitian obat dan penyakit di Indonesia. Pemerintah berperan dalam kebijakan dan pendanaan, industri obat pada pengembangan dan pendanaan, sementara para akademisi menyumbang riset-riset terbaik,” kata Aza.