Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kecenderungan Ngomong 'Campuraduk' dengan Bahasa Asing Biar Kelihatan Pintar? Simak Ini
Orang-orang lebih cenderung menggunakan pilihan kata ‘mendownload’ daripada mengunduh, ‘mengupload’ daripada mengunggah.....
Editor: Robertus Rimawan
Penulis: Timotius Tri Yogatama, Tribunners
TRIBUNNERS - Masyarakat Indonesia pada umumnya tergolong dalam masyarakat dwibahasa yang menggunakan lebih dari satu bahasa untuk berkomunikasi.
Secara umum bahasa pertama yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia adalah bahasa daerah masing-masing, bahasa kedua barulah bahasa Indonesia, kemudian dapat pula disusul penguasaan bahasa ketiga, keempat, dan seterusnya yang merupakan bahasa asing.
Proses penguasaan bahasa tersebut dapat dilakukan dengan cara pemerolehan bahasa secara ambang sadar (tanpa proses belajar) dan juga melalui proses pembelajaran bahasa.
Fenomena kedwibahasaan tersebut berdampak positif dalam pemerolehan kosakata bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia dapat menyerap kosakata-kosakata bahasa lain, dengan tujuan memperkaya perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia.
Dalam buku EYD (Ejaan yang Disempurnakan) terdapat pedoman cara peng-Indonesiaan terhadap kosakata-kosakata yang diserap dari berbagai bahasa, salah satunya terhadap bahasa asing.
Peng-Indonesiaan berbagai kosakata tersebut dilakukan supaya antara bahasa satu dengan bahasa yang lain tidak menjadi tumpang tindih dalam pemakaiannya ketika berkomunikasi.
Dalam praktik pemakaian bahasa dalam ragam lisan mau pun lisan, ternyata masih banyak dijumpai tumpang tindih berbentuk kolaborasi kata antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing.
Contoh konkret yang sering dijumpai adalah pembentukan kata kerja bahasa Indonesia yang berkolaborasi dengan bahasa asing.
Orang-orang lebih cenderung menggunakan pilihan kata ‘mendownload’ daripada mengunduh, ‘mengupload’ daripada mengunggah, ‘mengefixkan’ daripada memastikan, dsb.
Lantas apakah bentuk tersebut salah? Jawabnya tentu saja tidak, karena bahasa bersifat konvensional atau hasil kesepakatan antarpenutur dalam suatu masyarakat tutur.
Pada hakikatnya jika penutur sudah mengetahui maksud mitra tutur, sebuah komunikasi dapat dikatakan berjalan dengan baik.
Tetapi di sisi lain suatu bahasa tentunya memiliki sebuah kaidah-kaidah yang harus dipatuhi supaya terjadi standarisasi dalam suatu bahasa.
Namun dalam penggunaanya, kaidah pasti akan dilawan oleh keteraturan atau keberterimaan pemakaian bahasa dalam masyarakat.
Penggunaan kata kerja yang berbentuk kolaborasi seperti di atas jika dilihat dari kaidah kebahasaindonesiaan (linguistik) pastinya akan salah.
Akan tetapi jika dilihat dari keteraturan dan keberterimaan dalam pemakaiannya, kata kerja tersebut dapat dipahami oleh mitra tutur (pragmatik).
Ketika memilih suatu kosakata, tentunya setiap orang akan berbeda-beda.
Pemilihan kata tersebut akan dipengaruhi paling tidak oleh tingkat pendidikan dan lingkungan.
Misalnya orang yang ingin dianggap pendidikannya tinggi, akan cenderung lebih memilih kosakata asing dalam tuturannya supaya terlihat akademis (dalam pembelajaran bahasa dikenal dengan istilah alih kode dan campur kode).
Peristiwa tutur seperti itulah yang dapat dikatakan kemaruk bahasa asing, karena terjadinya kontak antarbahasa.
Kontak bahasa yang terjadi merupakan peristiwa yang negatif, karena menyimpang dari kaidah-kaidah kebahasaan yang ada.
MacKey dalam Pranowo (2014:103) menjelaskan bahwa kontak bahasa adalah pengaruh bahasa satu kepada bahasa lain baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Akibat dari kontak bahasa tersebut adalah terjadinya inferensi. Lebih lanjut, menurut Weinrich dalam Pranowo (2014:104) mengatakan bahwa inferensi adalah penyimpangan kaidah salah satu bahasa pada seorang dwibahasawan akibat pemakaian bahasa lebih dari satu.
Penyimpangan-penyimpangan penggunaan bahasa tersebut sudah sangat sering terjadi dalam masyarakat contohnya kolaborasi kata kerja dan pemilihan kosakata.
Namun, karena masyarakat teratur dalam menggunakan bahasa yang tidak sesuai kaidah, mereka secara tidak langsung menyepakati penyimpangan kaidah tersebut secara bersama dan diterima.
Kontak bahasa yang bersifat negatif inilah yang memperkokoh pandangan bahwa bahasa Indonesia hanya bisa menyerap kosakata bahasa-bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia (reseptif) tetapi tidak mampu menyumbang kosakata baru dalam perbendaharaan kosakata bahasa asing (produktif).
Akan tetapi, harus dipahami bersama pula bahwa bahasa Indonesia juga menyumbang kosakata dalam perbendaharaan bahasa asing walaupun jumahnya hanya sedikit.
Misalnya ‘orangutan’, ‘komodo’, ‘durian’, ‘nasi goreng’, beberapa contoh tersebut tidak akan ditemukan padanan bahasa asingnya dalam kamus mana pun.
Jadi, tidak selamanya bahasa Indonesia menerima, tetapi juga memberikan sumbangan.
Fenomena kolaborasi bahasa Indonesia dengan bahasa asing dan pemilihan kosakata asing dalam tuturan memang dapat dikatakan sebagai gejala yang wajar.
Namun, ternyata menimbulkan beberapa hal negatif seperti penyimpangan kaidah penggunaan bahasa Indonesia dan pandangan negatif yang menganggap bahasa Indonesia tidak produktif.
Lalu bagaimana sikap penutur yang baik terhadap penggunaan kosakata bahasa asing?
Pada hakikatnya menggunakan kosakata bahasa asing bukanlah perbuatan yang buruk, asal tidak kemaruk dan sesuai dengan konteksnya.
Menjadi lebih baik jika menggunakan kosakata bahasa Indonesia secara baik dan benar sesuai dengan kaidah yang berlaku.
Lalu kapan kosakata bahasa asing dapat digunakan? Kosakata bahasa asing dapat digunakan ketika kosakata tertentu yang hendak digunakan, tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia.
Akan tetapi jangan pula bersikap anti terhadap bahasa asing, sebab bahasa asing adalah jendela untuk melongok dunia.(*)