Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menjelajah Masjid di Jepang
Pembangunan Masjid Indonesia Tokyo sejak lama direncanakan, namun baru dapat direalisasikan mulai tahun 2015.
Editor: Y Gustaman
Penelusuran KH Cholil Nafis di Tokyo dan sekitarnya
SELAMA beberapa hari saya berada di Tokyo tak pernah mendengar suara azan melalui pengeras suara di tempat umum. Maklum, Pemerintah Jepang tidak memiliki masjid resmi milik negara, di samping itu juga orang Jepang paling tidak suka dengan suara keras dan berisik.
Tak segan orang Jepang melaporkan tetangganya kepada polisi karena suara gaduh atau suara anak yang berisik. Bahkan jalanan tol yang berpotensi bising dengan suara kendaraan diberi benteng kedap suara. Masyarakat Jepang senang hidup dalam suasana sepi dan hening.
Azan di masjid warga muslim asing dan beberapa musala hanya didengar oleh orang yang di dalam masjid dan tak terdengar di luarnya. Hal ini demi menjaga suasan nyaman bertetangga. Maklum, masyarakat Jepang mayoritas nonmuslim sehingga merasa asing dengan suara azan. Islam di Jepang biasanya dianut oleh orang Turki, Arab, Melayu, dan Indonesia yang melakukan studi atau bekerja di Jepang.
Hubungan Islam dengan Jepang masih terbilang belia jika dibandingkan dengan negara-negara yang lain di seluruh dunia. Hubungan antara agama Islam dengan Jepang hanya diketahui dari hubungan tersembunyi antara penduduk-penduduk Jepang dengan orang-orang muslim dari negara lain sebelum tahun 1868.
Agama Islam diketahui untuk pertama kali oleh penduduk Jepang pada tahun 1877 sebagai pemikiran agama, dan pada sekitar tahun itu, kehidupan Nabi Muhammad diterjemahkan dalam bahasa Jepang.
Dua orang Jepang muslim pertama yang diketahui ialah Mitsutaro Takaoka yang memeluk Islam pada tahun 1909 dan mengganti nama Omar Yamaoka setelah menunaikan haji, dan Bumpachiro Ariga yang pada tahun yang sama pergi ke India untuk berdagang yang kemudian memeluk Islam.
Sampai sekarang populasi umat muslim tidak banyak di Jepang. Manurut data statistik, sekitar 80% dari jumlah penduduk Jepang penganut Shinto. Sedangkan penduduk muslim di jepang hanya 0,095% terdiri dari para pelajar dan berbagai jenis pekerjaan di kota-kota besar.
Masjid Muslim Kobe adalah masjid pertama di Jepang yang pembangunannya didanai oleh sumbangan dari Komite Islam Kobe sejak tahun 1928 dan diresmikan pada tahun 1935. Masjid ini terletak di distrik Kitano, Kobe.
Arsitekturnya dibangun dalam gaya Turki tradisional oleh arsitek Ceko Jan Josef Švagr (1885-1969), seorang arsitek yang juga membangun sejumlah bangunan peribadatan Barat di seluruh Jepang.
Masjid ini pernah ditutup oleh Angkatan Laut Kekaisaran Jepang pada tahun 1943, tetapi sekarang sudah aktif dipakai kembali sebagai masjid. Karena memiliki ruang bawah tanah dan struktur bangunan yang kuat, masjid ini selamat dari bencana gempa bumi besar Hanshin pada tahun 1995.
Ada juga masjid terbesar di pusat kota, yaitu Tokyo Camii. Masjid ini dibangun dengan gaya Ottoman bernuansa modern yang mengesankan. Arsitekturnya mirip dengan Masjid Biru yang tersohor di Istambul karena material Masjid Camii memang didatangkan langsung dari Turki.
Sekitar seratus pengrajin Turki bekerja selama satu tahun untuk membangun lantai dua masjid sedangkan pusat budaya terletak di lantai bawah. Bangunan ini adalah sebuah karya seni yang mempunyai pesona menakjubkan sebagai tempat suci.
Umat muslim Indonesia yang tinggal di Tokyo baru memulai membangun masjid sebagai sarana ibada umat muslim Indonesia yang jumlahnya sekitar tiga puluh ribu orang di Jepang dan sekitar sepuluh ribu tinggal di Tokyo.
Selama ini kegiatan sosial keagamaan warga Indonesia di Tokyo dilakukan di Balai Indonesia yang tak banyak menampung jema’ah. Bahkan saat shalat Iedul Fitri atau Iedul Adha pun dilakukan dengan dua gelombang. Iedul Fitri tahun 1437 H ini saya menjadi Imam dan Khatib di gelombang pertama.
Pembangunan Masjid Indonesia Tokyo sejak lama direncanakan, namun baru dapat direalisasikan mulai tahun lalu dan mulai peletakan batu pertama pertanda mulai dibangunnya masjid pada bulan Ramadan 1437 Hijriah.
Desain bangunan dan proses izin mendirikan bangunan memakan waktu satu tahun. Desain bangunan harus tidak mengganggu tetangga, baik dari aspek desain atau jarak antar bangunan.
Bangunan harus ada jarak agar tidak sulit untuk mengatasi jika terjadi kecelakaan atau kebakaran. Saat dilakukan pembangunan pun akan dikontrol tiga kali oleh pihak berwenang untuk memastikan keseusaian pembangunan dengan desainnya.
Masjid Indonesia Tokyo akan dibangun di atas tanah seluas dua ratus meter milik Pemerintah Indonesia dan berlantai tiga. Masjid ini akan akan menampung sekitar delapan ratus jemaah. Dan, jika dipakai dengan halamannya akan bisa menampung seribu lebih jemaah salat.
Bangunan masjid ini akan menyambung dengan Balai Indonesia yang berada di samping Sekolah Republik Indonesia Tokyo SRIT.
Pembangunan Masjid Indonesia Tokyo akan menelan biaya sebesar seratus enam puluh juta Yen setara dengan delapan belas miliar. Pembangunan ini tetap dimulai meskipun dana yang terkumpul lima belas miliar.
Insya Allah melalui tangan dermawan Warga Negara Indonesia masjid akan terus dibangun dan ditargetkan akan selesai pada tahun 2016 ini.
Sebagai anak bangsa Indonesia, saya ikut bangga dengan gairah keislaman saudara-saudara yang hidup di Jepang, khususnya di Tokyo. Mereka kompak dan guyub dalam wadah Keluarga Masyarakat Islam Indonesia (KMII) Jepang.
Mereka adalah motor seluruh kegiatan sosial keagamaan dan gotong royong di Jepang dan didukung oleh seluruh jajaran Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tokyo. Kita berdoa mudah-mudahan pembangunan Masjid Indonesia Tokyo berjalan lancar dan baik. Amin.