Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Lebaran Hari Raya Islam dan Ulah Teroris
Semua agama mengajarkan kedamaian. Sebab damai merupakan kebutuhan dasariah.
Editor: Y Gustaman
Oleh: MH Said Abdullah, Wakil Ketua Banggar DPR Fraksi PDI Perjuangan
Semua agama mengajarkan kedamaian. Sebab damai merupakan kebutuhan dasariah. Maka siapapun orangnya, apapun agama, suku dan rasnya, damai merupakan hal yang niscaya di sana. Tetapi mengapa ketidakdamaian terjadi, di sinilah persoalannya.
Puasa sejatinya tidak hanya menahan diri dari lapar dan haus, tetapi puasa juga mencegah diri dalam berprilaku destruktif kepada diri dan siapapun. Oleh karena itu, pengebom di manapun sesungguhnya merupakan representasi dari ketidaksanggupan diri dalam konteks mencegah dan menahan dari tindakan yang merugikan bahkan mencelakakan orang lain, apapun alasannya. Tetapi, manusia memiliki pikiran yang berbeda dengan bingkai spektrum yang tentu saja tidak sama di masing-masing garis tepinya.
Oleh sebab itu, teroris adalah serumpun skizofrenia yang mengalami gangguan berat pada otak yang menafsir realitas dengan abnormal, tidak seperti orang pada umumnya, halusinatif dan paranoid. Ia juga sebentuk penyakit yang harus disembuhkan antara lain dengan cara melawannya bila tidak bersedia diobati, karena species ini menular dan sulit disembuhkan.
Bila terorisme ini sebentuk kejahatan, sesungguhnya ia tidak bisa dibasmi tuntas sampai ke akar-akarnya. Sebab, kejahatan lahir sebagaimana halnya kebaikan. Keduanya ada sepanjang umur manusia. Namun, manusia lain yang tidak sedang dalam kondisi paranoid yang asik berhalusinasi, berkewajiban untuk mendidik teroris, setidak-tidaknya bersatu untuk membuatnya mengerti dengan cara melawan. Sebab tentang terorisme ini, nenek bilang, “Itu berbahaya!”
Boleh jadi, meski berselang satu hari, tanggal 4 Juli 2016 di Arab dan 5 Juli 2016 di Surakarta, dua kejadian ini dilakukan oleh kelompok yang sealiran atau sama sekali tidak sehaluan. Tetapi bentuknya, pasti sama, terorisme. Lalu, apa cita-cita kelompok terorisme ini, diantara kita hanya menduga-duga yang bisa saja rasional atau sama sekali irasional, yang dua-duanya belum tentu benar sebagai alasan mengapa harus mengebom. Ketidakbenaran ini bukan hanya pada konteks prilaku yang merusak, tetapi teroris berusaha sekuat tenaga untuk menandingi Tuhan. Sebab, Tuhan mencintai kedamaian. Bila ada makhluk yang membenci kedamaian, sesungguhnya ia sedang melawan Tuhan.
Terorisme merupakan tindakan kriminal, musuh yang menyerang kedaulatan negara dan keamanan masyarakat. Seluruh komponen bangsa harus terpanggil dalam upaya pencegahan terorisme. Ia merupakan musuh semua agama karena tidak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan dan kebrutalan. Terorisme, tidak ada kaitannya dengan agama tertentu. Begitu pula, terorisme musuh semua negara yang ingin mendambakan perdamaian dan ketertiban global.
Selain itu, teror ini sesungguhnya bukanlah kejahatan yang berdiri sendiri. Ia bersifat interaksionisme dan dapat dikelompokkan ke dalam kejahatan balas dendam (hate crimes). Namun demikian, bentuk aksi balas dendam kayaknyaSebab republik ini tidak antidialog dimana perbedaan cara pandang tidak serta merta harus diselesaikan dengan model Barbarian. Sebab, semua agama selalu memulai perundingan atau bertemu dengan perdamaian. Di sinilah perlu kesepahaman untuk mengatakan tidak pada terorisme.
Tentang keterasingan ini, Karl Marx muda telah mengekspresikan dalam tulisan-tulisannya, terutama dalam Manuskrip (1844) yang merujuk ke pemisahan hal-hal yang secara alamiah milik bersama, atau membangun antagonisme di antara hal-hal yang sudah berada dalam keselarasan. Ini mengacu ke alienasi sosial seseorang dari aspek-aspek hakikat kemanusiaannya (species-essence). Teroris lupa (belajar) bahwa alienasi atas dirinya (dari keselarasan itu) merupakan embrio-sistematik dari kapitalisme yang pada akhirnya menjadikan dirinya sebagai pekerja yang tak pernah menjadi otonom.
Sebagai sebuah isme, terorisme muncul menjadi gagasan dan tindakan yang menghendaki disharmoni terhadap manusia untuk hidup dalam damai lantaran ada semacam perpecahan atau keterputusan yang membuat dirinya merasa seperti orang asing di dunianya sendiri. Di saat umat hendak berharmoni dengan keadaan dalam damai lebaran, teroris melakukan “budaya tanding” dengan cara menebar angin. Ini terjadi karena teroris tidak berkelindan dengan alam melainkan terpuruk pada antiklimaks kenyataan.
Barangkali, suatu ketika akan hadir masa dimana para alien akan teratasi dan kemanusiaannya kembali hidup dalam harmoni dengan dirinya sendiri dan dengan alam. Tetapi, dalam konteks menyamakan persepsi untuk mendidik (melawan) terorisme, semua perlu bersatu untuk melawan terorisme dan kebersatuan itu, pada akhirnya menjadi kuat. Hari ini, berdoa saja tidak cukup terutama pada posisi Tuhan yang tidak terlalu teknis dalam ramadan maupun lebaran sekalipun.(*)