Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Insiden Pengepungan kepada Mahasiswa Papua di Yogyakarta Jadi Ironi Demokrasi
Jaminan akan kebebasan berkumpul, berserikat, berbicara, menyampaikan pendapat yang merupakan hak rakyat demokrasi
Editor: Malvyandie Haryadi
PENGIRIM: PMKRI Yogyakarta
TRIBUNNERS - Aksi pengepungan asrama papua Kamasan 1 di Jalan Kusuma Negara Yogyakarta melibatkan sejumlah tindakan pelanggaran HAM dan pencideraan keberagaman dengan penghujatan rasial yang dilakukan oleh ormas reaksioner Jogja maupun personel gabungan Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pengepungan asrama Kamasan 1 telah melebihi batas kewajaran dalam pengamalan nilai kemanusiaan dimana tindakan kekesaran dalam bentuk fisik maupun psikis dilontarkan oleh aparat keamanan dan ormas ini.
Pengepungan yang dilatarbelakangi oleh upaya penangkalan aksi damai Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) menyisahkan sejumlah fatalisme dalam upaya penegakan demokrasi di Indonesia.
Dalam menerjemahkan demokrasi, Negara seharusnya menjamin kehadirannya dalam pendampingan kebebasan berpendapat, dan melindungi hak- hak dasar kemanusiaan. Kesetaraan dalam dunia politik dapat ditafsirkan sebagai persamaan memperoleh hak dan perlakuan.
Konsep ini memuat interpretasi bahwa setiap warga negara mesti mendapatkan haknya, atau tidak ada seorangpun yang diberi hak.
Hal ini berarti kedaulatan untuk setiap warga negara atau kekuasaan muthlak. “Pemimpin memperoleh legitimasi dari kedaulatan rakyatnya, atau legitimasinya berasal dari dan untuk rakyatnya” (Abraham Licoln).
Tragedi 15 Juli 2016 di asrama Kamasan 1 merupakan tindak pencideraan demokrasi yang sekaligus pembunuhan terhadap hak- hak individu dan kemanusiaan.
Ironisnya, dalam kejadian ini, negara melalui aparat keamanannya menunjukkan keberpihakan terhadap kedua pihak ormas yang sedang menggunakan fasilitas hak kebebasan berbendapat. Ini merupakan ironi demokrasi.
Tindakan pengepungan serta intimidasi yang melibatkan kekerasan di dalam tragedi ini ingin membuktikan bahwa kebebasan berpendapat sudah dipahami sebagai terorisme.
Jaminan akan kebebasan berkumpul, berserikat, berbicara, menyampaikan pendapat yang merupakan hak rakyat demokrasi tidak mendapat tempat dalam penerapannya.
Hujatan berbau rasialis yang dilontarkan ormas- ormas reaksioner merupakan bentuk kehadiran tidak terpuji dan bentuk pencideraan terhadap keberagaman.
Mereka menegaskan perbedaan di dalam kampanye pro integrasi NKRI. Sungguh, sesuatu yang kontraproduktif.
Menanggapi permasalahan yang terjadi, Perhimpunan Mahasiswa katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Yogyakarta Santo Thomas Aquinas mengecam keras tindakan pelanggaran akan nilai kemanusiaan dan persaudaraan sejati di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketua Presidium PMKRI Cabang Yogyakarta, Romualdus Lalung mengatakan bahwa Papua merupakan sesama anak negri yang harus saling dijaga. Ormas- ormas harus mampu menempatkan dirinya dengan bijak sehingga tidak terkesan menindas.
“Ormas- ormas tidak usah hadir kalau hanya untuk memprovokasi masalah. Ormas hadir sebagai pendamai dan pemberi solusi untuk masalah papua. Kita harus bahu membahu membangun Negri ini, termasuk masyarakat Papua yang menjadi bagian dari Indonesia.” Tegas Romi.
Pemerintah, lanjut Romi, seharusnya meninggalkan cara represif dalam menyelesaikan masalah papua, karena hanya akan menambah jumlah korban dan tidak menyelesaikan masalah.
Dalam tragedi tersebut, salah satu anggota PMKRI Cabang yogyakarta, Heronimus, yang tengah mengikuti diskusi bersama rekan- rekan papua di dalam asrama Kamasan 1 ikut terjebak dalam aksi pengepungan tersebut.
Heronimus mengakui sempat terkena gas air mata yang ditembakkan aparat keamanan ke dalam asrama.
Presidium Gerakan Kemasyarakatan (PGK) PMKRI Cabang Yogyakarta, Risky Hadur, mengecam tindakan aparat dan ormas reaksioner tersebut.
“pengepungan, pemukulan, dan penyiksaan terhadap kawan- kawan papua tanpa perlawanan merupakan bentuk represifitas militer yang sangat tidak manusiawi. Sangat ironis ketika konsolidasi gagasan ditempuh dengan tangan besi. Kami menyatakan duka yang mendalam untuk matinya kemanusiaan dan persaudaraan di bumi Nusantara”, tutur Risky.
PGK PMKRI Yogyakarta ini juga menuturkan bahwa aparat keamanan yang menghalangi upaya pendistribusian logistik oleh pihak Palang Merah Indonesia (PMI) Yogyakarta serta penembakan gas air mata merupakan tindakan pelanggaran HAM yang tidak dapat ditolerir.
“Pihak berwajib harus mengusut tuntas kasus kemanusiaan ini, agar rakyat Indonesia dapat menakar penerapan HAM di Indonesia apakah hanya sekedar pemanis demokrasi atau tidak”