Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Masyarakat Yogyakarta Nilai Aksi Premanisme dalam Dua Tahun Terakhir Meningkat
Aksi kekerasan di jalan atau klitih yang marak belakangan terang membuat masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta khawatir.
Editor: Malvyandie Haryadi
PENGIRIM: PSKK UGM
TRIBUNNERS - Aksi kekerasan di jalan atau klitih yang marak belakangan terang membuat masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta khawatir.
Ada rasa was-was untuk keluar rumah, terutama saat tengah malam atau dini hari. Keprihatinan juga muncul terlebih saat diketahui para pelaku pada umumnya adalah pelajar.
Terakhir pada akhir September lalu misalnya, terjadi aksi penusukan terhadap Adnan Hafid Pamungkas (20) di Ringroad Barat, Gamping, Sleman.
Korban meninggal dunia setelah ditusuk dengan menggunakan senjata tajam oleh pelaku, WN (17). Penyebabnya sepele, hanya karena korban menegur pelaku yang saat itu memainkan gas motor sehingga menimbulkan suara keras dari knalpot.
Kepala Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr.soc.pol. Agus Heruanto Hadna mengatakan, aksi-aksi kekerasan tersebut tidak bisa dianggap sepele karena bisa berpotensi memunculkan konflik sosial yang lebih destruktif.
Yogyakarta memang belum memiliki sejarah konflik yang mengkhawatirkan, namun hal itu tidak berarti terbebas dari potensi konflik.
Perlu disadari betul bahwa masyarakat Yogyakarta sudah cukup resah terhadap aksi-aksi kekerasan yang terjadi.
Studi Perubahan Sosial dan Potensi Konflik yang dilakukan PSKK UGM pada 2013 dan 2016 menunjukkan, sebagian besar masyarakat menilai aksi-aksi kekerasan oleh kelompok atau premanisme di Yogyakarta mengalami peningkatan yang signifikan selama periode waktu tersebut.
Dari total jumlah responden 7.752 orang, sebanyak 50,48 persen memiliki persepsi bahwa aksi-aksi premanisme meningkat semenjak tahun 2013 hingga 2016.
Peningkatan tersebut terutama dirasakan oleh masyarakat di Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta.
Sementara responden yang mengatakan aksi kekerasan dan premanisme tetap sebanyak 18,7 persen dan yang mengatakan turun sebanyak 18,65 persen. Sisanya, yakni 12,16 persen mengatakan tidak tahu.
Sementara itu, saat ditanya tentang bagaimana perkembangan premanisme di wilayah tempat tinggalnya, sebanyak 49,42 persen masyarakat Bantul memberikan persepsi naiknya tindakan premanisme di wilayahnya.
Persentase ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah kabupaten/kota lainnya, seperti Sleman (32,36 persen), Gunungkidul (26,81 persen), Kota Yogyakarta (23,78 persen), dan Kulon Progo (18,26 persen).
Tingginya indeks potensi konflik dari premanisme diduga juga berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi.
Baik Kota Yogyakarta, Sleman, maupun Bantul merupakan wilayah dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Data Badan Pusat Statistik DIY menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Kota Yogyakarta pada 2012 tertinggi di DIY, yakni 5,76 persen yang disusul kemudian oleh Sleman (5,45 persen) dan Bantul (5,34 persen).
Hadna mengatakan, kemungkinan memang ada indikasi seperti itu. Saat pertumbuhan ekonomi naik, potensi konflik juga dirasakan naik oleh masyarakat.
Di satu sisi diduga ada motif-motif ekonomi yang melatarbelakangi munculnya tindak premanisme karena perebutan sumber daya ekonomi yang terbatas.
Bagi PSKK UGM, Pemerintah DIY memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengantisipasi dan mengelola potensi konflik.
Pemerintah dituntut untuk mampu mengembangkan kebijakan publik yang berkeadilan, berperspektif multikultur, dan peka terhadap berbagai potensi konflik.
Maka, penelitian ini dikembangkan untuk menghasilkan output yang dapat dijadikan basis pengembangan kebijakan Pemerintah DIY.