'Sari Roti, Roti, Sari Roti'
Kenapa harus ada meme dan foto-foto yang menunjukkan roti-roti merek ini diinjak-injak dan dibuang ke tong sampah?
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUN MEDAN/T Agus Khaidir
MAKIN ke sini, upaya pendesakan penerapan hukum terhadap kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kandidat Gubernur Jakarta, makin melebar ke arah pemikiran dan sikap yang sungguh aduhai ngawurnya.
Kengawuran, kesebarangan, kengelanturan, yang melahirkan kelucuan --yang sayangnya, sama sekali tidak lucu. Malah memprihatinkan.
Betapa tidak memprihatinkan. Pendesakan yang dilakukan makin kencang dan ngotot, ternyata, membuat logika jadi berantakan. Bahkan terjungkirbalikkan.
Akibatnya, Indonesia barangkali akan dicatat sebagai negara pertama di dunia, yang tingkat religiositas warganya, tingkat kesalehan, dapat diukur hanya dengan membeli atau tidak membeli satu produk roti.
Semua bermula dari kicauan Abdullah Gymnastiar, penceramah yang disapa Aa Gym dan beberapa waktu lalu pernah sangat kesohor.
Di Twitter, Aa Gym menulis: "Siapa pun yang senang berbuat kebaikan dengan tulus, niscaya Alloh berikan aneka kejutan penambah iman."
Sebagai pelengkap kicauan ini, Aa Gym memampangkan satu foto yang menunjukkan sejumlah pedagang keliling Sari Roti. Di gerobak pedagang ini terdapat tulisan 'Gratis untuk Mujahid'.
Tentu saja, sebagai seleb twit yang memiliki 2 juta lebih pengikut (dan hanya jadi follower untuk 16 akun), kicauan Aa Gym langsung mendapatkan respon luar biasa.
Sebagian besar menyampaikan kekaguman. Sebagian lain memuji Sari Roti, lalu mengucap syukur atas dukungan yang diberikan perusahaan roti ini untuk aksi 2 Desember 2016 (212).
Namun angin berbalik seketika setelah manajemen Sari Roti , pemegang merek roti tersebut, mengeluarkan pernyataan resmi mereka.
Pernyataan yang pada dasarnya biasa-biasa saja, namun kemudian jadi luar biasa lantaran diterjemahkan dengan cara pandang yang memang tak biasa.
Terdapat lima poin dalam pernyataan itu. Intinya: roti-roti yang dibagikan secara gratis pada aksi 212 bukan merupakan kebijakan perusahaan.
Melainkan roti yang diborong oleh konsumen dan atas permintaan yang bersangkutan dibawa ke kawasan silang Monas dan boleh diberikan pada siapapun peserta aksi yang menginginkannya.
Manajemen Sari Roti bilang, perusahaan mereka adalah murni bisnis dan tidak terlibat dalam kegiatan di luar bisnis dalam bentuk apapun.
Dan mereka menambahkan, Sari Roti, yakni perusahaan yang memproduksinya: PT. Nippon Indosari Corpindo Tbk, senantiasa berkomitmen menjaga nasionalisme, keutuhan NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Saya, sampai detik ini, sama sekali belum mengerti, kenapa atas penjelasan ini muncul gerakan untuk memboikot Sari Roti. Kenapa harus ada meme dan foto-foto yang menunjukkan roti-roti merek ini diinjak-injak dan dibuang ke tong sampah.
Saya tidak dapat menemukan benang merah, bagaimana penjelasan itu bisa mengerucut pada kesimpulan bahwa Sari Roti adalah pendukung Ahok dan bagian dari konspirasi para konglomerat hitam, asing, aseng, dan sudah barang tentu, kafir.
Penjelasan yang diberikan oleh PT. Nippon Indosari Corpindo Tbk tidak berbeda dengan penjelasan perusahaan-perusahaan lain yang membantah klaim dari pihak tertentu terkait hal-hal yang tidak berkesesuaian dengan garis ideologi bisnis mereka.
Dengan kata lain, apa yang dilakukan Sari Roti sama sekali tidak baru, dan tidak aneh, tidak luar biasa. Penjelasan, atau klarifikasi, atau apapun namanya, perihal produk dan penyebarannya, merupakan perkara yang lumrah belaka.
Coca Cola, misalnya. Tahun 2009, Coca Cola memberi penjelasan ke publik Amerika, bahwa mereka tidak terkaitpaut dengan kampanye Barack Obama.
Kala itu, tersiar foto yang menunjukkan Obama dan sejumlah anggota tim kampanyenya tengah menenggak Coca Cola.
Foto yang segera memunculkan sangkaan, bahwa selain Pepsi, kampanye Obama menuju Gedung Putih juga didukung Coca Cola.
Atas sangkaan ini Coca Cola, juga sebelumnya Pepsi, memberi penjelasan bahwa foto tersebut hanya "menunjukkan kepada minat pribadi". Coca Cola tidak pernah menempatkan diri untuk terlibat dalam politik.
Apakah 212 merupakan panggung politik? Terlepas dari benar atau tidaknya, sekali lagi, pandangan dan penilaian mesti dikembalikan pada garis ideologi bisnis tadi.
Terlepas apakah 212 adalah bagian dari agenda politik atau memang sebenar-benarnya ajang bela agama yang jujur dan ikhlas, penjelasan manajemen PT. Nippon Indosari Corpindo Tbk, mesti didudukkan di bawah koridornya sebagai pebisnis, bukan yang lain.
Namun di lain sisi, menurut saya, penjelasan yang dikedepankan pihak Sari Roti juga gegabah. Entah kelewat lugu atau kurang perhitungan, saya tidak tahu.
Sebab seharusnya, mereka lebih sensitif terhadap situasi. Lebih bisa berhitung-hitung.
Mereka seyogianya paham, betapa sekarang Indonesia telah terbelah menjadi tiga kelompok besar: 'Sini', 'Sini", dan "Munafikin". Yang sepaham, sepandangan, adalah 'Sini', sebaliknya yang tidak adalah "Sana".
Sedangkan para "Munafikin", tidak sebagaimana makna sebenar dari kata ini, yakni kelompok yang tidak menunjukkan arah keberpihakan jelas. Terkesan bisa 'Sini' bisa juga 'Sana'.
Sebutan lain untuk kelompok ini sebenarnya baik, yaitu 'netral'. Tidak berpihak ke 'Sini' dan ke 'Sana'.
Akan tetapi, baik bagi kelompok 'Sini' maupun 'Sana', kelompok 'Munafikin' terlanjur dicap sebagai kelompok yang selalu patut untuk dicurigai lantaran setiap saat bisa berubah wujud jadi pengkhianat.
Sari Roti semestinya paham kecenderungan-kecenderungan ini dan dapat menahan diri untuk tidak berbuat macam-macam sekalipun yang macam-macam itu pada dasarnya tidak keliru.
Semestinya mereka paham, betapa karena persoalan yang sama, ketidaksepahaman sikap dan pandangan, stasiun televisi, koran, dan seorang penyanyi legendaris telah diboikot. Sayang sekali mereka tidak paham.