Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Intoleransi Multikultural

Entahlah, ada apa denganmu? Kini kita pun dibikin miris oleh penyebutan-penyebutan bernada agitatif lewat pendangkalan pemaknaan ragam

Editor: Toni Bramantoro
zoom-in Intoleransi Multikultural
FOTO: alex palit

Oleh: Alex Palit

Entahlah, ada apa denganmu? Kini kita pun dibikin miris oleh penyebutan-penyebutan bernada agitatif lewat pendangkalan pemaknaan ragam makna ‘kata-kata’ berbungkus tafsirnya.

Di mana kini terminologis ‘kata-kata’ bukan lagi bisa dimaknai dengan multitafsir, tapi juga sudah bermakna dimaknai tafsir yang abu-abu, tergantung sesuai selera kehendak pemberi dan penerima interprestatif demi alasan, tujuan, dan untuk kepentingan apa?

Sementara dari kisah yang ada yang secara histori kultural kita disebut, dikenal dan digambarkan sebagai bangsa yang ramah, pemaaf, tepo seliro, selalu hidup rukun penuh toleransi saling menghormati dan menghargai, kini sudah kehilangan kemesraan sosial dengan kemunculan penampakan wajah-wajah beringas mengujarkan nada-nada kata-kata kebencian kesana-sini.

Bagaimana kita dengan begitu gampangnya membungkus tafsir makna ‘kata-kata’ diperuntukkan sebagai pembenaran yang dimaui.

Bahkan atas nama tafsir ‘kata-kata’ yang ditanamkan menjadi dan dijadikan instrumentasi pembenaran untuk melakukan tindakan-tindakan agresif provokatif  ujaran kebencian terhadap mereka yang dianggapnya berbeda paham, beda keyakinan, beda pandangan, atau beda pendapat.

Termasuk pelancaran tindakan-tindakan agresi provokatif kebencian terhadap mereka yang dianggap beda selera pilihan dengannya. 

Berita Rekomendasi

Seperti yang kita saksikan hari ini jelang Pilkada DKI Jakarta 2017, bagaimana nilai-nilai demokratisasi yang dibangun di tengah kehidupan masyarakat yang heterogen, pluralis, dan multikultural bersemangatkan Bhinneka Tunggal Ika muncul kehendak-kehendak hegemonis atas nama idiom simbolisasi budaya bersifat sentimen primodial dengan penggunaan pemaknaan tafsir ‘kata-kata’ bernuansa sentimen primodial keagamaan sebagai instrumental.

Bagaimana kini kita yang menyebutkan sebagai bangsa yang ramah, pemaaf, menjunjung budaya rukun, tepo seliro penuh tolerasi sebagai bangsa multikultural bersemangatkan Bhinneka Tunggal Ika, kini diperangi teror pemaksaan kehendak hanya lantaran terpicu beda pendapat, tafsir, beda keyakinan, beda paham, atau beda pilihan.

Bagaimana semua itu hari ini kita saksikan, di mana lewat pendangkalan penyebutan pemaknaan ‘kata-kata’ sudah menjadi tafsir abu-abu atas nama pembenaran dan pemaksaan kehendak yang dimaui, untuk dan demi sebuah kepentingan ditumpangi kepentingan pragmatis lainnya, tak peduli kendati biasnya saling menggesek dan menggasak yang bisa menimbulkan intoleransi multikultural.

Adakah, bahwa kondisi yang kita alami hari ini adalah kesalahan kita bersama yang gagal paham, gagal dalam memahami sejarah panjang perjalanan bangsa bernama NKRI, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika?

Dengan ini semoga kita tidak gagal paham dalam memahami bahwa kita adalah bangsa berbudaya multikultural.

Dan, dengan ini semoga kita tidak gagal paham dalam memahami bahwa kita adalah Indonesia, dan lagu kita masih sama; Indonesia Raya. Bukan yang lain. Semoga!

* Alex Palit, citizen jurnalis “Jaringan Pewarta Independen”, Pemimpin Redaksi bambuunik.com

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas