Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Perang Reputasi
Benturan kapitalisme, tepatnya negative zero sum game (perilaku saling menihilkan) hingga kini masih terus berlanjut.
Editor: Rachmat Hidayat
Oleh Dr Ichsanuddin Noorsy BSc., SH., MSi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Sejak krisis ekonomi global yang dimulai pada Juli 2008 dan ditandai dengan defisit neraca perdagangan Amerika Serikat (AS) terhadap RRC mencapai 323 miliar dolar AS.
Benturan kapitalisme, tepatnya negative zero sum game (perilaku saling menihilkan) hingga kini masih terus berlanjut.
Dalam berbagai forum seminar dan diskusi sejak Agustus 2008, saya menyampaikan analisis bahwa krisis kredit perumahan AS (Subprime Mortgage) adalah dampak dari kekalahan perang dagang AS melawan RRC.
Akibatnya AS menerbitkan dana talangan 700 miliar dolar AS, Fed meluncurkan kebijakan suku bunga mendekati nol persen dan kebijakan uang murah, dan kebijakan fiskalpun ekspansif.
Hasilnya adalah Obama dipandang sukses memulihkan perekonomian AS walau pertumbuhan ekonomi tetap kecil dan lamban.
Tapi sukses Obama justru dipandang sebagai kegagalan ketika Hillary Clinton kalah melawan Donald
Trump, sebagian besar pemilu Senat di negara bagian dimenangkan Partai Republik dan Rusia dinilai AS
telah melakukan interferensi atas sistem informasi teknologi pemilu AS.
Trump menang karena isu memberi lapangan kerja kepada warga AS, menutup sistem ekonomi AS sebagaimana tudingan media Barat dan konglomerat Mexico Carlos Sim, dan melakukan perang dagang dan perang nilai tukar dengan RRC.
Dalam bentuk yang lain, Trump mengikuti jejak Inggris yang keluar dari Uni Eropa. Memang gagas
nasionalisme Obama dengan kebijakan “beli Amerika” yang dilanjutkan Nicolas Sarkozy PM Prancis, dipandang sukses menjaga kepentingan nasional masing-masing.
Inggris Raya mengikuti jejak kebijakan tersebut dan Trump “mencuri”nya di tengah Hillary justru menggelorakan Trans-Atlantic Trade and Investment Partnership (TTIP) dan Trans Pacific Partnership (TPP).
Demokrat dipandang warga AS justru mengancam peluang ketenagakerjaan bagi warga AS sendiri dengan menggelorakan TTIP dan TPP.
Maka reputasi dan kredibilitas Obama secara pribadi dipandang memadai namun tidak mumpuni saat dimuarakan ke dalam nilai jual partai yang mengusung Hillary Clinton.
Strategi politik identitas Hlillary- pun tidak mampu menolong reputasi dan kredibilitasnya.
Karena pemilih AS --melalui sistem pemilihan tidak langsung-- tetap mempercayai strategi Trump yang menjanjikan Amerika kembali besar (Make America Great Again) dengan mengutamakan kebijakan ekonomi berbasis kepentingan nasional.
Itulah yang dilakukan Inggris, Perancis, Jerman, Jepang dan RRC. Dalam perspektif kelembagaan, Bank Dunia,
IMF, Bank for International Settlement (BIS, perhimpunan bank sentral sedunia), dan WTO nyaris tidak
mampu berbuat banyak.
Lembaga-lembaga yang menjual reputasi dan kredibilitas ke negara-negara emerging market (negara pinggiran, negara marjinal) ini, seperti kerbau dicucuk hidung.
Tak ada suara membantah, tidak juga menyetujui. Tentu saja, lembaga-lembaga multilateral itu berjuang
menengakkan prinsip-prinsip ekonomi terbuka di segenap sektor ekonomi.
Sementara kebijakan negaranegara industri justru menunjukkan kebijakan menutup diri untuk melindungi kepentingan nasional.
Saat yang sama, keterbukaan ekonomi yang sudah disepakati melalui kesepakatan-kesepakatan bilateral
dan multilateral sulit ditarik kembali.
Dalam lingkup pertarungan ekonomi AS versus RRC, saya menyebut hal ini sebagai kapitalisme korporasi melawan kapitalisme BUMN (negara). Itu wujud perang reputasi-kredibilitas pribadi dan kelompok melawan reputasi-kredibilitas negara.
Di bawah kepemimpinan Xi Jinping, RRC tidak berdiam diri.
Sejak mendeklarasikan diri melawan kebijakan neoliberal melalui pendirian New Development Bank (sebagai lawan Bank Dunia, IBRD), menolak pemakaian dolar AS dalam transaksi perdagangan internasional, mendirikan Asean Infrastructure Investment Bank (lawan Bank Pembangunan Asia, ADB).
RRC memperluas pengaruhnya melalui kerjasama sama perdagangan dan investasi, termasuk membangun jalur-jalur infrastruktur perdagangan untuk meningkatkan volume perdagangan.
Sekaligus menurunkan biaya dan mencegah penggunaan dolar AS serta mengirim ketenaga kerjaannya ke negara tujuan investasi .
Dalam prediksi kalangan ekonom AS, RRC akan melampui posisi ekonomi AS pada tahun 2030. Di Asean, Malaysia siap menerima 20 milyar dolar AS untuk pembangunan infrastruktur kereta api dan moda transportai lain.
Demikian juga dengan Filipina, yang oleh Rodrigo Duterte dipandang sebagai penolong. “Only China
could help,” tegas Presiden Filipina Duterte yang giat memerangi narkoba dengan cara yang
kontroversial di mata Barat.
Di Indonesia, dengan memberi utang luar negeri sebesar 21,982 miliar dolar AS, RRC mengambil posisi negara investor ke tiga setelah Singapura dan Jepang.
Dalam perspektif sistem ekonomi politik Barat yang oleh Stiglitz dipandang telah gagal, maka pertarungan sesama kaum kapitalis (dalam basis individual atau komunal) telah melahirkan situasi perekonomian yang tidak pasti.
Immanuel Wallerstein menulis tentang sistem dunia yang sedang mencari bentuk baru. Belasan buku ekonomi politik yang terbit 2015-2016 merujuk situasi itu sebagai iklim ketidakpastian.
Stagnasi ekonomi, lahirnya tangan-tangan perekonomian di pasar (sebagai lawan invisible hand-nya Adam Smith), simpang siurnya peradaban kebebasan pasar, dan kebuntuan model keterbukaan ekonomi.
Ujung pangkal dari semua itu adalah, luruhnya modal sosial karena sistem sosial bermuatan utuh modal finansial.
Itulah yang disebut sebagai kegagalan materialisme menemukan harkat martabat manusia.
Sayangnya Indonesia mengikuti jejak kegagalan itu sebagaimana kajian saya sejak Indonesia memberlakukan UU No. 24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar serta UU 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Bahkan janji Trisakti sebagai jawaban atas rentannya sistem ekonomi total terbuka itu justru memperlebar dan memperdalam jangkauan keterbukaan.
10 jenis kebijakan kebebasan ekonomi termasuk kebebasan visa bagi 169 negara seakan memberi pesan, gagas Trisakti telah sirna dimakan masa.
Itu terjadi sejak kebijakan 12 November 2014 yang menaikkan harga Bensin RON 88 dari Rp6.500 menjadi Rp8.500.
Demikian juga dengan tarif listrik yang disandarkan atas fluktuasi nilai tukar rupiah, harga ICP dan inflasi.
Simpulan sederhana, telah berlaku harga pasar atas enerji. Maka pada sektor enerji, pangan dan keuangan, sesungguhnya bangsa Indonesia selalu terancam krisis disebabkan lemahnya penguasaan sumberdaya dan produksi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Ini menunjukkan rendahnya kewibawaan pemerintah dalam menghadapi dikte pasar. Kondisi yang
demikian mengindikasikan, reputasi dan kredibilitas Pemerintah sesungguhnya lemah.
Pertolongan pun datang saat 14 Desember 2016 Mahkamah Konstitusi menolak gugat pembatalan UU
No. 11 /2016 tentang Tax Amnesty.
Tapi pertolongan tidak membawa arti banyak. Penerapan model negara kekuasaan, sikap represif terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang kritis, perilaku KPK terhadap kasus RS Sumber Waras dan Reklamasi, sikap politik penguasa dan lembaga peradilan terhadap penistaan Al Maidah 51.
Sekaligus potensi konflik Islam-Kristen, menunjukkan Pemerintah tidak adil dan bijaksana dalam merespon dan mengatasi kegagalan sistem ekonomi politik dan dampaknya.
Lagi-lagi, kondisi ini seakan memberi pesan, reputasi dan kredibilitas telah luruh. Sementara reputasi dan kredibilitas tokoh-tokoh masyarakat yang berbasis keagamaan terus meningkat.
Dalam dimensi menyeluruh dan utuh, perang reputasi dan kredibilitas di tubuh pemerintahan sedang terjadi.
Saat yang sama masyakarat justru membuktikan bahwa tokoh-tokohnya memiliki reputasi dan
kredibilitas itu.
Unjuk rasa 4 November dan 2 Desember 2016 adalah perang urat syaraf sekaligus merupakan kenyataan rapuhnya reputasi dan kredibilitas Pemerintah.
Fenomena ini tidak menguntungkan Pemerintah dan partai politik pendukungnya, terutama karena
vulgarnya sikap keberpihakan membela Ahok, yang nota bene membela kepentingan para konglomerat.
Jika kebijakan ini terus dilanjutkan, saya kuatir apa yang saya sampaikan pada masa Pilpres 2014 terjadi.
Yakni bangsa ini akan terbelah (divided nation), masyarakatnya akan terpecah (split society), dan
keluarga dan individu akan terpisah.
Dampak lanjutannya adalah kita makin menjauh dari semangat dan nilai-nilai yang hendak dicapai para pejuang kemerdekaan.
Situasi ini menunjukkan, kita membelakangi ekonomi konsitusi dan akhirnya kembali kehilangan harga diri di negeri sendiri.