Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Hal Minus dari Debat Putaran Kedua di Pilgub DKI Jakarta
Di balik meningkatnya penyelenggaraan debat putara kedua antarpasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, tetap menyisakan persoalan.
Editor: Y Gustaman
Oleh: Said Salahudin, Pemerhati Kepemiluan
TRIBUNNERS - Penyelenggaraan debat putaran kedua antarpasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2017 yang berlangsung Jumat (27/1//2017) tampak mengalami peningkatan pada beberapa hal, tetapi masih ada beberapa hal lain yang sepertinya perlu diperbaiki.
Penambahan durasi debat, moderator yang sedikit lebih luwes, serta kemeriahan acara yang ditunjukkan para pendukung paslon menjadi sedikit contoh dari adanya peningkatan acara debat dilihat dari sisi teknis penyelenggaraan.
Sayangnya, dari sisi pengaturan debat KPU DKI Jakarta dirasa masih kurang mampu merumuskan aturan main debat yang lebih memadai. Hal ini terlihat dari tata tertib (tatib) debat yang hanya memuat empat poin aturan yang tidak cukup tegas untuk memagari atau mengantisipasi hal-hal yang tidak diharapkan muncul dari para paslon.
Sebagai contoh, pada segmen keempat, paslon nomor 3 Anies Baswedan–Sandiaga Uno Salahuddin (Anies-Sandi) diberikan kesempatan untuk bertanya kepada paslon nomor 1 Agus Harimurti Yudhoyono–Sylviana Murni (Agus-Sylvi).
Alih-alih menanyakan visi, misi, dan program paslon 1, Sandi justru meminta pendapat Sylvi mengenai reformasi birokrasi dan kepemimpinan yang dijalankan paslon nomor 2 Basuki Tjahaja Purnama–Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot).
Dari fragmen yang tidak terduga itu Sandi bisa saja disebut licik, tetapi bisa juga disebut cerdik. Pertanyaannya, apakah taktik bertanya ala Sandi itu menyalahi aturan debat? Di sinilah masalahnya.
Dalam tatib debat tidak ditegaskan adanya larangan soal itu. Pada poin empat tatib, misalnya, hanya disebutkan “Pertanyaan antarkandidat mempertanyakan program, visi, dan misi kandidat lainnya”. Karena ada tiga kandidat, maka tafsir atas aturan itu menjadi debatable.
Contoh lainnya juga terjadi pada segmen keempat, ketika Sylvi sempat menggerakan jempol tangannya ke arah bawah (thumbs down) dalam merespons pernyataan Ahok.
Dari momen yang terekam oleh kamera itu bisa saja dimaknai bahwa Sylvi telah bersikap kurang sopan, tetapi bisa juga itu dianggap sebagai hal biasa saja, sebab thumbs down bisa juga dimaknai sebagai suatu respons ketidaksetujuan.
Pertanyaannya, apakah sikap Sylvi yang demikian itu melanggar aturan debat? Ini yang tidak clear. Dalam tatib debat tidak diatur secara jelas mengenai batasan sikap atau perilaku yang dilarang untuk dipertontonkan oleh para paslon selama acara debat.
Pada poin ketiga tatib, misalnya, hanya disebutkan “Kandidat tidak diperkenankan memberi pertanyaan yang menyerang personal kandidat lain”.
Problem aturan yang terkait dengan sikap paslon bukan hanya datang dari Sylvi (paslon nomor 1), tetapi juga ditunjukan oleh paslon nomor 2. Tingkah nyeleneh Ahok di segmen kelima debat adalah kasusnya.
Saat itu secara tiba-tiba saja Ahok maju ke tengah panggung debat dengan bertingkah bak orang yang sedang menari.
Ekspresi tak lazim itu dipertunjukkan saat ia seolah sedang ingin ‘menengahi’ perdebatan yang sebetulnya tidak perlu terjadi antara Anies dan Sylvi. Padahal, pada saat itu Ahok belum mendapatkan giliran tampil.
Walaupun tingkah Ahok itu bisa saja ditangkap sebagai aksi ‘lucu-lucuan’ belaka, tetapi jika ditinjau dari sisi etika dan unsur kepantasan, maka tingkahnya itu bisa juga disebut sebagai bentuk pelecehan terhadap forum debat.
Sebab, debat sejatinya merupakan mimbar politik yang bersifat formal atau resmi dalam rangkaian kegiatan memilih pemimpin eksekutif di tingkat daerah.
Pertanyaannya, apakah dengan tingkahnya itu Ahok dapat disebut telah melanggar aturan debat? Jawabnya tidak pasti. Sebab, dalam tatib debat tidak ditentukan adanya larangan bagi paslon untuk bersikap seperti yang demikian.
Tetapi jika sikap Ahok yang ‘memotong’ sesi perdebatan Anies dan Sylvi dikaitkan dengan ketentuan poin pertama tatib debat, maka dapat saja hal itu dianggap sebagai sebuah pelanggaran.
Poin pertama tatib debat menyebutkan “...tidak diperkenankan bagi paslon untuk memotong jawaban paslon lainnya saat tengah memaparkan jawaban”.
Aturan debat yang dirumuskan dalam tatib memang terkesan persoalan sepele, tetapi dari sebuah aturan yang ‘remeh’ itu terkadang dapat diukur derajat kepatuhan para calon pemimpin terhadap suatu norma aturan yang sudah mereka sepakati sebelumnya.
Di sisi lain tatib debat yang kurang memadai dikhawatirkan dapat menjadi pintu masuk bagi paslon untuk mengakali aturan main yang pada gilirannya bisa memicu perdebatan yang tidak perlu di tengah masyarakat.
Oleh sebab itu, ada baiknya jika pada pelaksanaan debat putaran terakhir nanti KPU DKI Jakarta mau memperbaiki beberapa kekurangan yang terdapat dalam tatib debat, berkaca pada pelaksanaan debat putaran pertama dan kedua. Salam, 1, 2, 3.