Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kotak Pandora SBY?
Berlebihankah kiranya bila apa yang menimpa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kini ibarat kotak Pandora-nya terbuka?
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Masih ingatkah kita akan kisah dalam mitologi Yunani, seorang perempuan ayu bernama Pandora, pada hari pernikahannya dengan Epimetheus, mendapat hadiah dari para dewa berupa sebuah kotak yang indah, namun Pandora dilarang membukanya?
Ketika dibuka karena rasa penasaran, ternyata keluarlah segala macam keburukan mulai dari masa tua, rasa sakit, kegilaan, wabah penyakit, keserakahan, pencurian, dusta, kecemburuan, kelaparan, hingga berbagai malapetaka lainnya.
Berlebihankah kiranya bila apa yang menimpa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kini ibarat kotak Pandora-nya terbuka?
Presiden juga manusia. Begitu pun SBY. Dan sebagai manusia, tentu SBY tak luput dari kekurangan. Saat menjabat Presiden ke-6 RI dua periode, 2004-2009 dan 2009-2014, semua tampak serba kemilau.
Namun setelah lengser, dan sayangnya ia tidak “lengser keprabon madeg pandhita” (menjadi guru bangsa), tetapi menjadi politikus, satu demi satu “kekurangan” SBY mulai terkuak.
Lawan-lawan politik SBY kian menemukan momentumnya ketika anaknya, Agus Harimurti, maju dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 15 Februari 2017 bersama Sylviana Murni sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur berhadapan dengan pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Syaiful Hidayat, dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, dan ini juga diakui oleh SBY.
Di sisi lain, itu mungkin menjadi batu ujian bagi Agus, di mana ibarat pohon, makin tinggi makin kencang angin yang meniup. Bila lulus ujian, ia terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta dan syukur-syukur bisa terpilih menjadi Presiden ke-8 RI pada 2019 sebagaimana jejak Presiden Joko Widodo.
Semua “kekurangan” itu disebut SBY sebagai fitnah, misalnya ia dikaitkan dengan aksi teror bom panci ke Istana, mendanai aksi damai 411 dan 212, makar, memiliki rekening berisi triliunan rupiah, dan menjadi dalang rekayasa kriminalisasi Antasari Azhar sebagaimana dituduhkan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu, Selasa (14/2/2017) siang, dan kemudian dibantah SBY pada malam harinya.
Antasari menjadi terpidana 18 tahun penjara kasus pembunuhan Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zukarnaen sebelum akhirnya mendapatkan grasi dari Presiden Jokowi berupa pengurangan masa hukuman selama enam tahun, sehingga pada 10 November 2016 ia menghirup udara bebas.
Namun, tak semua “kekurangan” SBY laik disebut fitnah. Contohnya proyek Hambalang yang sarat korupsi, 47 proyek PLN yang mangkrak, dan sebagainya. Apa yang dituduhkan lawan-lawan politik yang kemudian disebut SBY sebagai fitnah itu tidak serta-merta kita amini atau kita tolak.
Kita wait and see, menunggu proses hukum yang sedang berlangsung. Kita juga menunggu langkah Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri yang akan menindaklanjuti laporan Antasari tentang dugaan rekayasa kasusnya.
Di sisi lain, kita menyambut baik langkah SBY yang melaporkan balik Antasari ke Bareskrim dengan tuduhan pencemaran nama baik. Bareskrim pun harus memproses laporan SBY ini, sebagaimana Bareskrim juga menindaklanjuti laporan Antasari, sehingga ada keadilan.
Pernyataan Antasari usai melapor ke Bareskrim juga akan membuka kotak Pandora berikutnya. Antasari, misalnya, menyebut bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo (HT) menemuinya dengan membawa misi dari Cikeas agar Aulia Pohan, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) yang juga besan SBY, tidak ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka korupsi aliran dana BI ke Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), yayasan yang dibentuk BI, sebesar Rp 100 miliar. Hal tersebut dibantah HT melalui pengacaranya. Akan lebih elegan bila HT juga menempuh langkah hukum seperti SBY.
Antasari juga mengungkap latar belakang mengapa dirinya dikriminalisasi. Selain soal Aulia, KPK saat itu juga sedang mengusut proyek IT (information technlogie) di Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menurut Antasari dipegang putra bungsu SBY, Edhie Baskoro alias Ibas.
Selain menyeret nama Ibas, klaim Antasari ini kemungkinan juga akan menyeret mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang saat itu menjadi komisioner KPU. Ibas pun menyebut tuduhan Antasari ini sebagai fitnah. Akan lebih elegan bila Ibas mengambil langkah hukum.
Bagaimana dengan langkah yang akan ditempuh Anas bila namanya benar-benar terseret? Kita tidak tahu. Yang jelas, kini Anas yang sedang meringkuk di LP Sukamiskin sebagai terpidana korupsi proyek Hambalang kerap menyerang SBY.
Akankah kotak Pandora SBY yang dibuka lawan-lawan politiknya benar-benar menjegal langkah Agus seperti sinyalemen SBY? Kita tunggu saja Rabu (15/2/2017) siang saat pemungutan suara Pilkada DKI 2017 diketahui hasilnya melalui quick count sejumlah lembaga survei. Atau bisa jadi Agus-Sylvi justru akan menang, karena pemilih bertambah simpati setelah mendengar tangkisan SBY yang seperti biasanya memosisikan diri sebagai korban.
Benarkah sinyalemen SBY bahwa serangan lawan-lawannya ditujukan menjegal Agus di satu sisi, dan di sisi lain sebagai upaya penguasa agar calon lain terpilih? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, ada pertanyaan mengapa calon tertentu harus dimenangkan. Apakah untuk melindungi kotak Pandora penguasa yang pernah berkuasa di DKI?
Mengapa pula SBY menyorongkan Agus, bahkan harus merelakan anaknya itu tercerabut dari kariernya di TNI yang masih lapang? Benarkah Agus diproyeksikan menjadi Presiden RI, mengikuti jejak Jokowi? Benarkah bila Agus jadi gubernur lalu akan membuka kotak Pandora pendahulunya? Benarkah pula bila Agus terpilih menjadi Presiden RI kelak akan membuka kotak Pandora Jokowi di satu sisi, dan di sisi lain menutup kotak Pandora SBY?
Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, negara ini tidak bisa dibangun di atas semangat balas dendam. Semua harus berlandaskan hukum. Seperti tuah keris Mpu Gandring, dendam akan melahirkan dendam berikutnya. Saling membuka kotak Pandora tanpa disertai bukti hukum jelas bukan cara elegan dan ksatria untuk mengalahkan lawan.
Kecuali bila aib yang dibuka itu ada bukti hukumya, justru sebuah keniscayaan yang patut diapresiasi. Sementara yang membuka kotak Pandora tanpa disertai bukti hukum harus siap menanggung konsekuensi hukumnya.
Lebih dari itu, seperti kotak Pandora, bila semua keburukan sudah keluar, maka masih ada satu yang tersisa, yakni harapan. Harapan kita, setelah kisruh di antara elite ini mereda, dan hukum ditegakkan seadil-adilnya, Indonesia akan menemukan kejayaannya menjadi bangsa yang bersih, adil dan makmur seperti amanat konstitusi. Itulah!
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, tinggal di Jakarta.