Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Brutus
Kini, orang-orang yang pernah dekat namun kemudian dipecat Jokowi, coba dikapitalisasi menjadi kekuatan oposisi bersama Prabowo.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Entah apa yang berkecamuk dalam benak Markus Yunius Brutus (85–42 SM) sehingga tega membunuh Kaisar Romawi, Julius Caesar (100-44 SM), 15 Maret 44 SM.
Padahal, Caesar pernah mengampuni kesalahannya, lalu mengangkatnya menjadi gubernur dan kemudian senator serta menjadikannya orang kepercayaan.
Terinspirasikah ia dengan ungkapan Plautus dalam karyanya, “Asinaria” (195 SM), “homo homini lupus”, manusia adalah serigala bagi sesamanya, yang kemudian dikutipThomas Hobbes dalam karyanya, “De Cive” (1651)?
Di dunia politik Indonesia, meski tak sampai membunuh, nuansa “homo homini lupus” dan “pengkhianatan” juga pernah terjadi, misalnya Bung Karno merasa dikhianati Soeharto melalui “Super Semar” (Surat Perintah 11 Maret 1966).
Seperti mendapat “karma”, Pak Harto pun merasa “dikhianati” orang-orang terdekatnya seperti Harmoko, Ginandjar Kartasasmita, dan Akbar Tandjung menjelang kejatuhannya, 21 Mei 1998.
Pak Harto barangkali juga merasa “dikhianati” BJ Habibie, sehingga menolak ketika wakil presidennya itu mau “sowan” pada 20 Mei 1998, bahkan Habibie ditolak pula ketika hendak menjengkuk Pak Harto yang sedang sakit di RS Pertamina, Jakarta, Januari 2008.
Di era reformasi, Ginandjar dan Akbar yang sempat “tinggal gelanggang colong playu” kembali mendapat panggung, bahkan sempat menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka tidak ikut karam bersama “kapal” Pak Harto karena berhasil mendapat “sekoci”, sebagaimana Habibie.
Megawati Soekarnoputri barangkali juga merasa “dikhianati” oleh sesama “Eksponen Ciganjur”, yakni KH Abdurrahman Wahid dan Amien Rais, di mana sebagai ketua umum partai pemenang Pemilu 1999, PDI Perjuangan, semestinya menjadi Presiden, namun justru Amien selaku Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menggalang Poros Tengah dan menggolkan Gus Dur menjadi Presiden, 20 Oktober 1999, dan Gus Dur pun mau.
Maka ketika Gus Dur dilengserkan MPR melalui Sidang Istimewa, 23 Juli 2001, giliran Mega, yang saat itu Wapres, “mengkhianati’ Gus Dur dengan mau dilantik menjadi Presiden.
Mega pun merasa “dikhianati” oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang ketika menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan tidak menjawab saat ditanya mau maju sebagai calon presiden atau tidak pada Pemilihan Presiden 2004.
Namun secara diam-diam SBY justru menghimpun kekuatan, mendirikan Partai Demokrat, lalu maju sebagai capres dan terpilih. Hingga kini Mega-SBY belum akur juga.
Demikianlah, seperti Ken Arok terkena kutukan Mpu Gandring, “pengkhianatan” demi “pengkhianatan” terjadi di antara sesama elite politik di Indonesia. Benar kata Plautus, “homo homini lupus”.
Bagaimana dengan Presiden Joko Widodo, apakah ada “Brutus” di sekitar Istana? Mungkin bukan “Brutus”, melainkan sekadar pemain politik dua kaki, satu kaki di pihak sini, kaki lain di pihak sana.
Wapres Jusuf Kalla, misalnya. Ketika Jokowi secara tersirat mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai petahana calon gubernur dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017, dan JK pun welcomed, namun diam-diam mantan Ketua Umum Partai Golkar itu justru menyodorkan nama Anies Baswedan kepada Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra yang beroposisi dan juga rival Jokowi pada Pilpres 2014, dan akhirnya Anies terpilih.
JK berdalih, penyodoran nama Anies dilakukan demi kebaikan bangsa dan negara, dan terbukti pasca-terpilihnya Anies kondisi Ibu Kota aman dan damai.“Kita bicara dengan pimpinan partai agar semuanya hasilnya baik, negara aman, maju, dan damai. Coba sekarang, damai ‘kan?" kata JK (Kompas.com, 4 Mei 2017). Begitu dinyatakan memenangi Pilkada DKI putaran kedua, 19 April 2017, Anies langsung “sowan” ke JK.
Ketika JK bertemu ulama kontroversial asal India, Zakir Naik, 4 Maret 2017 di rumah dinasnya, mungkin juga demi kebaikan bangsa dan negara. Begitu pun ketika JK “membela” Bachtiar Nasir.
JK meragukan ada aliran dana yang diduga dari Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) itu untuk membantu kelompok radikal di Suriah atau dikaitkan dengan ISIS, seperti kecurigaan Polri.
Saat JK menyatakan negara ini bisa hancur bila Jokowi menjadi presiden, seperti Julius Caesar, Jokowi yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta pun “mengampuni” JK, bahkan meminangnya menjadi cawapres dan kemudian terpilih.
Kini, orang-orang yang pernah dekat namun kemudian dipecat Jokowi, coba dikapitalisasi menjadi kekuatan oposisi bersama Prabowo, yang pernah dikhianati Mega terkait perjanjian Batu Tulis.
Selain Anies yang pernah diberhentikan dari jabatan Manteri Pendidikan dan Kebudayaan, ada Sudirman Said yang pernah diberhentikan Jokowi dari jabatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Sudirman yang juga orang dekat JK diangkat menjadi Ketua Tim Transisi Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Apakah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang ada kesan bermain dua kaki, bahkan merasa akan dipecat Jokowi (Tribunnews.com, 7 Februari 2017), juga akan dikapitalisasi menjelang Pilpres 2019? Gatot akan pensiun pada Maret 2018.
Kita tak tahu pasti. Yang jelas, di dalam politik tak ada kawan atau lawan abadi, yang abadi adalah kepentingan. Bagaimana bisa Prabowo mau menerima pencalonan Anies, padahal mantan Rektor Universitas Paramadina itu pernah menjadi juru bicara Jokowi-JK dalam masa kampanye Pilpres 2014? Itulah politik.
Bagaimana bisa Jokowi mau menerima JK sebagai cawapres padahal pernah dikatakan negatif oleh saudagar itu? Tak tertutup pula kemungkinan JK berpatron dengan capres lain pada 2019. Itulah politik!
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, tinggal di Jakarta.