Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
DOWNLOAD
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Runtuhnya Legitimasi Moral Pansus KPK

Dalam amar putusan terhadap Irman dan Sugiharto, nama sejumlah anggota DPR disebut menerima uang dari proyek e-KTP.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Runtuhnya Legitimasi Moral Pansus KPK
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Massa yang tergabung dalam Jaringan Daerah Tolak Angket KPK melakukan aksi simpatik di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (19/7/2017). Mereka mengajak masyarakat agar menolak memilih partai politik dan anggota DPR pendukung hak angket terhadap KPK pada pemilu serentak 2019. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - Vonis bersalah untuk Irman dan Sugiharto, terdakwa korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik atau e-KTP, bak petir di siang bolong yang menyambar dan meruntuhkan bangunan legitimasi moral Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansus KPK).

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (20/7/2017), menjatuhkan hukuman 7 tahun penjara kepada Irman, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, dan 5 tahun penjara kepada Sugiharto, mantan Direktur Pengelola Informasi dan Administrasi Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri.

Keduanya terbukti bersalah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, karena memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi sehingga menyebabkan krugian negara Rp 2,3 triliun.

Dalam kasus yang sama, KPK telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Setya Novanto, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang juga Ketua Umum Partai Golkar, dan Markus Nari, anggota DPR dari Golkar, sebagai tersangka.

Vonis bersalah atas Irman dan Sugiharto membuktikan tuduhan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah bahwa kasus e-KTP sekadar omong kosong dan khayalan belaka tidak terbukti kebenarannya.

Sebelumnya, Fahri Hamzah menilai kasus e-KTP yang tengah ditangani KPK tidak ada hasilnya. Sebab, kasus tersebut hanyalah permainan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin, penyidik KPK Novel Baswedan dan Ketua KPK Agus Rahardjo (Tribunnews.com, Selasa 4/7/2017).

Kini, Pansus KPK boleh berlindung di balik legitimasi yuridis, yakni Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak angket”; UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3), khususnya Pasal 79 ayat (3) yang berbunyi, “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dan Salinan Surat Berita Negara No. 53 tertanggal 4 Juli 2017 dari pemerintah melalui Perum Percetakan Negara RI yang isinya memuat Pansus KPK.

Pansus juga boleh berlindung di balik legitimasi politik, yakni mayoritas fraksi, 8 dari 10 fraksi di DPR, mendukung Hak Angket KPK, yakni PDIP, Golkar, PKS, PAN, PPP, Partai Nasdem, Partai Hanura dan Partai Gerindra, minus PKB dan Partai Demokrat.

Namun dengan telah divonis bersalahnya Irman dan Sugiharto, serta ditetapkannya Setya Novanto dan Markus Nari sebagai tersangka, legitimasi moral Pansus KPK telah runtuh. Sejauh ini pengadilan belum pernah membebaskan terdakwa korupsi yang diajukan KPK.

Sesungguhnya legitimasi yuridis Pansus KPK goyah ketika Prof. Mahfud MD, Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APTHN-HAN) yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), memberikan keterangan di Pansus KPK, Selasa (18/7/2017). Menurutnya, KPK tidak bisa diawasi DPR dengan menggunakan hak angket.

Pasalnya, pertama, menurut konstitusi dan tata hukum Indonesia, pemerintah selalu mengacu pada arti sempit, yakni lembaga eksekutif. Salah bila KPK dikatakan koasi eksekutif. Kalau mau dikoasikan, KPK koasi yudisial.

Kedua, sejumlah putusan MK menyatakan KPK bukan pemerintah. Putusan MK No. 12, 16 dan 19 Tahun 2006 menyebutkan teori trias politika sudah usang dan tak ada lagi. Sedangkan trias politika tak ada di Indonesia. KPK bukan bagian pemerintah, tapi bertugas dan berwenang terkait kekuasaan kehakiman. Pun putusan MK No. 5 Tahun 2011 yang menyebutkan, KPK lembaga independen yang diberi tugas dan wewenang khusus melaksanakan fungsi yang terkait fungsi kehakiman.

Pasal 38 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga menyebutkan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terkait dengan kekuasaan kehakiman. Pendek kata, KPK ada di luar legislatif eksekutif, tapi ada kedekatan khusus dengan kekuasaan kehakiman (yudikatif).

Namun, pendapat Prof. Mahfud itu bak angin lalu saja. Pansus KPK tetap berjalan, tak terpengaruh sama sekali. Wakil Ketua Pansus KPK Taufiqulhadi mengaku lebih memilih pendapat Prof. Yusril Ihza Mahendra bahwa KPK dapat menjadi objek hak angket.

“Kami dari DPR harus memilih, tidak bisa berada tidak jelas di tengah-tengah, karena ini lembaga politik," katanya (Kompas.com, Rabu 19 Juli 2014).

Dari kacamata etika, sesungguhnya legitimasi moral lebih tinggi derajatnya daripada legitimasi yuridis dan politik. Ketika legitimasi moralnya sudah runtuh, buat apa Pansus KPK mempertahankan legitimasi yuridis dan politisnya? Apalagi bila nanti ada lagi anggota DPR yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi e-KTP.

Berita Rekomendasi

Dalam amar putusan terhadap Irman dan Sugiharto, nama sejumlah anggota DPR disebut menerima uang dari proyek e-KTP.

Di pihak lain, Presiden Joko Widodo telah menyatakan akan menolak bila rekomendasi Pansus KPK berujung pada pelemahkan bahkan pembubaran KPK. Lalu, apa yang kalian cari, Pansus KPK?

Karyudi Sutajah Putra:  Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Klik Di Sini!
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas