Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
'Victim Playing' ala Gatot Nurmantyo
Mungkin pula ia tergoda rayuan partai politik. Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya, telah melirik Gatot.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Entah apa yang berkecamuk dalam benak Jenderal Gatot Nurmantyo, sehingga Panglima TNI kelahiran Tegal, 13 Maret 1960, ini “nggege mangsa” masuk ke teritori politik, tak sabar menunggu hingga pensiun pada 13 Maret 2018.
Mungkin saja ia terninabobokan oleh hasil survei sejumlah lembaga yang menempatkannya sebagai kandidat calon presiden/wakil presiden potensial pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai KOPI), misalnya, menempatkan Gatot sebagai salah satu sosok militer yang kuat saat ini. Hasil survei Segitiga Institute menunjukkan Gatot sebagai tokoh yang paling banyak dipilih untuk menjadi presiden dengan latar belakang militer. Di antara beberapa nama,
Gatot berada di tempat teratas dengan elektabilitas 35,9%, menyusul Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto 27,4%, Jenderal (Purn) Moeldoko 19,3%, dan Laksamana TNI (Purn) Agus Suhartono 2,2% (Tribunnews.com, 30/1/2016).
Mungkin pula ia tergoda rayuan partai politik. Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya, telah melirik Gatot Nurmantyo sebagai kandidat capres.
Adalah pidato Gatot pada acara silaturahim Panglima TNI dengan purnawirawan TNI di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta, Jumat (22/9/2017), yang memicu tuduhan ia memasuki teritori politik.
Pada acara yang dihadiri mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum DPP Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri) Agum Gumelar, dan tiga mantan Panglima TNI, yakni Widodo AS, Endriartono Sutarto, dan Agus Suhartono, itu Gatot meminta restu kepada para seniornya untuk mengambil langkah-langkah apabila ada yang membayakan negara. Bila kami yang junior bertindak di luar kepatutan, katanya, itu karena kami sebagai bhayangkari.
Tidak itu saja. Menurutnya, ada institusi yang memaksa dengan mencatut nama Presiden untuk menyelundupkan 5.000 pucuk senjata api, tapi ia tolak. Menurutnya, tidak boleh ada institusi yang memiliki senjata api kecuali TNI dan Polri. Bila itu terjadi, akan kami serbu, katanya.
Tak pelak, isu penyelundupan 5.000 pucuk senjata api ini langsung menjadi bola liar. Ada yang berspekulasi, 5.000 pucuk itu, setara dengan 9 batalyon, untuk mempersenjatai “Angkatan V”.
Angkatan V merujuk pada usulan para elite PKI kepada Bung Karno untuk mepersenjatai kelompok tani dan buruh. Usul yang mengemuka tahun 1960-an ini terkait rencana pembentukan sukarelawan dalam menghadapi konfrontasi dengan Malaysia. Di jajaran TNI waktu itu ada empat matra atau angkatan, yakni Darat, Laut, Udara, dan Kepolisian.
Ada yang menilai, pernyataan Gatot tentang pembelian 5.000 pucuk senjata oleh institusi nonmiliter dan rencana penyerbuan ke institusi tersebut merupakan bentuk pelanggaran serius Pasal 3 dan Pasal 17 Undang-Undang (UU) No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menegaskan bahwa kebijakan pengerahan dan penggunaan kekuatan angkatan perang adalah otoritas sipil.
Terlepas dari dugaan pelanggaran undang-undang, yang jelas Gatot tengah memainkan victim playing atau memosisikan diri sebagai korban, sebagaimana dulu dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjelang Pilpres 2004.
Saat itu, Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati Soekarnoputri, menyebut SBY sebagai “jenderal kekanak-kanakan” karena sering “curhat” ke media. SBY pun mundur dari Kabinet Gotong Royong, dan ujung-ujungnya popularitas dan elektabilitasnya melambung, dan akhirnya terpilih menjadi presiden mengalahkan incumbent Megawati.
Cermati saja pernyataan-pernyataan Gatot yang dapat dikonotasikan ia ingin dipecat. Dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR, Senin (6/2/2017), misalnya, Gatot mengeluhkan kewenangannya dipangkas terkait alat utama sistem persenjataan (alutsista), melalui Peraturan Menteri Pertahanan No. 28 Tahun 2015.
“Saya buka ini untuk mempersiapkan adik-adik saya, karena saya mungkin besok diganti.” (Tribunnews.com, 7/2/2017).
Gatot juga terlibat perang pernyataan dengan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu terkait pemutaran film G30S/PKI yang ia instruksikan. Menhan, katanya, tidak punya kewenangan terhadap dirinya. Kendali dirinya hanya dari Presiden.
Mengapa Gatot tidak menunggu pensiun untuk bermanuver politik melalui pernyataan-pernyataan kontroversialnya?
“Satu-satunya hak milik nasional/republik yang masih utuh, tidak berubah-ubah, meskipun harus mengalami segala macam soal dan perubahan, hanyalah angkatan perang Republik Indonesia (Tentara Nasional Indonesia).”
Kini, apa yang diungkapkan Panglima Besar Jenderal Sudirman itu seakan terkoyak, ketika Gatot mencoba membenturkan TNI dengan institusi lainnya.
“Pelihara TNI, pelihara angkatan perang kita. Jangan sampai TNI dikuasai oleh partai politik mana pun juga. Ingatlah bahwa prajurit kita bukan prajurit sewaan, bukan prajurit yang mudah dibelokkan haluannya. Kita masuk dalam tentara, karena keinsyafan jiwa dan sedia berkorban bagi bangsa dan negara."
Apa kata Sudirman tersebut kini juga seakan tercederai, karena Gatot diduga menyeret TNI masuk ke wilayah politik.
Ataukah Gatot memang sudah “dikuasai” parpol? Hanya dia dan Tuhan yang tahu. Yang jelas, kalau tak sabar menunggu pensiun, ada baiknya dia segera meninggalkan jabatan dan menanggalkan seragam militernya, lalu terjun ke politik, sehingga siapa tahu simpati publik akan berpihak kepadanya, dan ia pun menjadi penantang incumbent Presiden Joko Widodo dan akhirnya terpilih pada Pilpres 2019. Siapa tahu, namanya juga usaha!
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.