Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ketika Puisi Mulai Menggeliat ke Tengah Gelanggang
Denny JA membawa masuk entrepreneurship, marketing, dan leadership dalam komunitas puisi yang sebelumnya sepi berita.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNERS - Pada Tahun 2017, Puisi pun kembali menggeliat ke tengah gelanggang.
Hal itu ditulis Narudin Pituin dalam catatan awal tahun 2018 soal sastra.
Tahun 2017, tulis Narudin, bukan saja ditandai oleh pembaruan dunia bisnis dengan datangnya peradaban online. Di dunia sastra, khususnya puisi, juga terjadi pembaharuan itu.
Baca: HNW Percaya Keasilan Pakta Integritas Yang Ia Unggah
Sosok Denny JA dengan aneka kontroversinya, bukan saja membawa penulisan puisi baru yang disebut puisi esai. Denny JA membawa masuk entrepreneurship, marketing, dan leadership dalam komunitas puisi yang sebelumnya sepi berita.
Narudin memasukkan Denny JA dalam jajaran sosok pembaharu sastra sejak zaman Pujangga Baru.
Di samping pembaharuan yang dibawa oleh Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri dan Sapardi Djoko Damono, Denny JA membawa pembaruan yang belum dilakukan generasi sebelumnya.
Dalam puisi esai, Denny JA mengawinkan fakta dan fiksi, puisi dan esai. Catatan kaki yang sentral dalam puisi esai, tak hanya hadir sebagai renda-renda. Ia bagian utama yang menghadirkan fakta sosial ke dalam puisi.
Melalui puisi esai pula, aneka topik kontroversial yang selama ini tak pernah muncul dalam puisi, dimunculkan. Mulai dengan isu diskriminasi sampai isu kontrovesial LGBT, saham, dan media sosial, menjadi tema puisi esai.
Sebagian menyatakan, melalui puisi esai, Denny JA mengorbankan estetika. Saya berbeda pandangan, ujar Narudin. Estetika puisi esai, menurut Narudin, ada di tahap yang beda. Keindahan puisi esai ada pada gagasan dan substansi puisi yang merupakan sebuah drama atau fiksi dari isu sosial.
Fiksionalisasi isu sosial itu bisa dinikmati dalam bahasa yang mudah. Estetika dalam puisi esai memang harus dilihat dari kerangka berpikir (school of tought) yang berbeda.
Inilah yang membuat puisi esai berharga menjadi bahan catatan sastra awal tahun, tulis Narudin***