Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Yenny Wahid, Cagub Jatim atau Cawapres?
Panggung politik menjelang pilkada selalu bergerak dinamis pada menit-menit terakhir.
Editor: Hasanudin Aco
Jika Yenny Wahid benar-benar ikut meramaikan Pilgub Jatim, peta politik di provinsi itu diprediksi akan berubah total. Munculnya nama Direktur Wahid Foundation itu sendiri terbilang mengejutkan.
Maklum, selama ini sama sekali tidak ada pertanda Yenny akan maju berlaga. Sampai Desember 2017 tak satu pun parpol memunculkan namanya. Yenny malah sempat disebut sebagai calon Mensos menggantikan Khofifah.
Saat berlangsung peringatan sewindu wafatnya (haul) Gus Dur di Ciganjur, Jumat (22/12), yang dihadiri Gus Ipul dan Khofifah, Yenny bahkan mengajak hadirin untuk berdoa agar siapa pun yang terpilih sebagai gubernur Jatim dapat memberi kebaikan bagi masyarakat. Yenny terlihat mencoba menjelaskan kepada publik bahwa sikap keluarga Gus Dur netral dalam Pilgub Jatim.
Namun, dinamika politik memang susah diprediksi. Belum berselang sepekan, Yenny bertemu dengan Prabowo, lalu muncullah beragam spekulasi.
Lebih dari sekadar ”pertemuan dua sahabat lama”, banyak kalangan meyakini, pertemuan keduanya pasti membicarakan juga politik domestik yang berpusat pada (terutama) hajatan Pilgub Jatim dan Pilpres 2019.
Kendati sudah tidak aktif lagi dalam kepengurusan parpol pasca PKB diambil alih Muhaimin Iskandar, ketokohan Yenny tak perlu diragukan. Sebagai putri Gus Dur, apalagi nasabnya langsung ke pendiri NU Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, membuatnya menjadi tokoh spesial dengan darah NU ”super biru” – putri keturunan langsung ulama dan tokoh besar.
Nama Yenny juga bertaji dalam survei. Seperti dirilis lembaga Surabaya Survey Center (SSC) 13 Desember lalu, keinginan masyarakat Jatim terhadap munculnya pasangan cagub-cawagub selain Gus Ipul-Azwar Annas dan Khofifah-Emil Dardak ternyata sangat tinggi.
Sebanyak 43,9 persen responden sangat setuju apabila ada cagub-cawagub alternatif dari poros baru. Hanya 17,7 persen responden yang tak setuju keberadaan poros baru. Sementara, 38,4 persen sisanya memilih tidak menjawab atau menjawab tidak tahu.
Tingginya keinginan terhadap hadirnya cagub alternatif, antara lain dipicu oleh faktor kejenuhan terhadap calon-calon yang ada. Bukan rahasia, Gus Ipul dan Khofifah sudah bertarung dalam dua Pilgub Jatim terakhir, sehingga Pilgub 2018 adalah pertarungan ketiga bagi keduanya.
Masih mengutip hasil survei SSC, nama Yenny Wahid dan Mahfud MD – yang sebelumnya tak pernah dikaitkan dengan poros baru – justru dianggap publik layak menjadi cagub dari poros tersebut. Mahfud menempati posisi pertama dengan 18,3 persen.
Disusul Ketua Kadin Jatim La Nyalla Mattalitti, yang sebelumnya santer disebut dekat dengan poros baru, menempati posisi kedua dengan 15,4 persen. Sedangkan Yenny berada di posisi ketiga dengan 11,9 persen.
Yenny diyakini berpeluang besar memenangi Pilgub Jatim karena, orang percaya, ia akan memperoleh dukungan masif dari jaringan Gusdurian dan sebagian besar warga nahdliyin yang menyukai dan taklid pada pemikiran-pemikiran Gus Dur. Pertanyaannya: jika Yenny serius didorong untuk bertarung dalam Pilgub Jatim, tidakkah hal itu justru akan memecah belah nahdliyin dengan risiko memicu gesekan di akar rumput?
*Peluang Yenny Didorong ke Pentas Nasional*
Kalau Yenny ikut Pilgub Jatim, sejatinya keluarga besar NU yang merugi. Sebab, tiga cagub yang akan bertarung adalah putra-putri terbaik yang lahir dari rahim sama: Nahdlatul Ulama. Dalam situasi seperti sekarang, jauh lebih baik jika Yenny bersikap rendah hati dengan meneguhkan keberpihakan pada kepentingan yang lebih luas, seperti dulu dilakukan Gus Dur.