Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Yenny Wahid, Cagub Jatim atau Cawapres?

Panggung politik menjelang pilkada selalu bergerak dinamis pada menit-menit terakhir.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Yenny Wahid, Cagub Jatim atau Cawapres?
Ist for ribunnews.com
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto diketahui melakukan pertemuan tertutup dengan Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid, Selasa (26/12/2017) sore, di kediaman Prabowo di Jakarta. 

Oleh: Faisal Haq
Alumni Filsafat UGM, Wartawan Anggota PWI

TRIBUNNEWS.COM - Panggung politik menjelang pilkada selalu bergerak dinamis pada menit-menit terakhir. Itu pula yang terjadi saat ini, ketika jadwal pendaftaran pasangan calon (cagub-cawagub, cabup-cawabup, cawali-cawawali) sudah di depan pintu.

Sesuai jadwal KPU, pendaftaran para calon kepala daerah peserta pilkada serentak gelombang ketiga itu akan dilakukan pada 4 sampai 8 Januari 2018. Dus, hanya tinggal hitungan jam.

Tulisan ini akan fokus membahas dinamika ’last minute’ yang terjadi di Jawa Timur menjelang hajatan pilgub, Juni nanti. Kita tahu, sejauh ini ada dua bakal cagub-cawagub yang sudah dipastikan akan tampil dalam palagan di provinsi pemilik suara terbanyak kedua di Tanah Air – setelah Jawa Barat.

Mereka adalah pasangan Saifullah Yusuf alias Gus Ipul (Wakil Gubernur Jatim)-Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi) yang didukung PDI Perjuangan dan PKB dengan total kepemilikan 39 kursi; serta duet Khofifah Indar Parawansa (Menteri Sosial)-Emil Elestianto Dardak (Bupati Trenggalek) yang diusung Partai Golkar, Partai Demokrat, Nasdem, Hanura dan PPP dengan total kepemilikan 38 kursi.

Baca: Gerindra Sebut Yenny Wahid Bisa Jadi Calon Alternatif di Pilgub Jatim

Masih ada tiga parpol yang belum resmi mengumumkan dukungan: Partai Gerindra, PAN, dan PKS. Ada dugaan, ketiga parpol akan kembali berkoalisi – seperti mereka lakukan di lima provinsi lain – dengan memunculkan petarung tangguh. Khusus di Jatim, ketiga parpol bahkan digadang mampu menciptakan poros baru dengan mengusung cagub yang sekaliber Gus Ipul dan Khofifah. Siapa dia?

Berita Rekomendasi

Satu nama yang santer disebut, tak lain, Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid alias Yenny Wahid. Putri presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu memantik perhatian dan langsung menyemarakkan ”lantai bursa” usai melakukan pertemuan tertutup dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto di kediamannya, 26 Desember lalu.

Bukan spekulasi politik biasa, tentunya. Wakil Ketua Umum Gerindra Sufmi Dasco Ahmad telah mengkonfirmasi soal itu. Ia membenarkan, partainya memang sedang mempertimbangkan Yenny sebagai salah satu bakal calon gubernur untuk Pilgub Jatim. Ia menjadi calon alternatif dari beberapa nama yang sudah lebih dulu masuk radar partainya.

Selain Yenny, menurut Dasco, Gerindra juga menimbang nama lain, termasuk Gus Ipul dan Khofifah di samping Bupati Bojonegoro Suyoto dan anggota DPR RI Moreno Soeprapto.

Selambat-lambatnya besok (3 Januari 2018) partai berlambang kepala garuda itu dijadwalkan akan mematangkan pembahasan dengan PAN dan PKS, sebelum mengumumkan jagonya ke publik.

Semua hal masih bisa terjadi. Termasuk, apakah betul poros baru akan lahir di Jatim, atau ketiga parpol tadi melebur mendukung dua pasangan yang sudah ada. Indikasi ke arah itu antara lain terlihat dari sikap PKS yang belum solid untuk membangun poros baru.

PKS akan menentukan sikap setelah tahu persis siapa yang akan diusung sebagai cagub oleh Gerindra dan PAN. Yang pasti, jika poros baru jadi terbangun, mereka akan memiliki 26 kursi. Rinciannya, Gerindra 13 kursi, PAN 7 kursi, dan PKS 6 kursi.

Kalkulasi Jika Yenny Maju di Pilgub Jatim

Jika Yenny Wahid benar-benar ikut meramaikan Pilgub Jatim, peta politik di provinsi itu diprediksi akan berubah total. Munculnya nama Direktur Wahid Foundation itu sendiri terbilang mengejutkan.

Maklum, selama ini sama sekali tidak ada pertanda Yenny akan maju berlaga. Sampai Desember 2017 tak satu pun parpol memunculkan namanya. Yenny malah sempat disebut sebagai calon Mensos menggantikan Khofifah.

Saat berlangsung peringatan sewindu wafatnya (haul) Gus Dur di Ciganjur, Jumat (22/12), yang dihadiri Gus Ipul dan Khofifah, Yenny bahkan mengajak hadirin untuk berdoa agar siapa pun yang terpilih sebagai gubernur Jatim dapat memberi kebaikan bagi masyarakat. Yenny terlihat mencoba menjelaskan kepada publik bahwa sikap keluarga Gus Dur netral dalam Pilgub Jatim.

Namun, dinamika politik memang susah diprediksi. Belum berselang sepekan, Yenny bertemu dengan Prabowo, lalu muncullah beragam spekulasi.

Lebih dari sekadar ”pertemuan dua sahabat lama”, banyak kalangan meyakini, pertemuan keduanya pasti membicarakan juga politik domestik yang berpusat pada (terutama) hajatan Pilgub Jatim dan Pilpres 2019.

Kendati sudah tidak aktif lagi dalam kepengurusan parpol pasca PKB diambil alih Muhaimin Iskandar, ketokohan Yenny tak perlu diragukan. Sebagai putri Gus Dur, apalagi nasabnya langsung ke pendiri NU Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, membuatnya menjadi tokoh spesial dengan darah NU ”super biru” – putri keturunan langsung ulama dan tokoh besar.

Nama Yenny juga bertaji dalam survei. Seperti dirilis lembaga Surabaya Survey Center (SSC) 13 Desember lalu, keinginan masyarakat Jatim terhadap munculnya pasangan cagub-cawagub selain Gus Ipul-Azwar Annas dan Khofifah-Emil Dardak ternyata sangat tinggi.

Sebanyak 43,9 persen responden sangat setuju apabila ada cagub-cawagub alternatif dari poros baru. Hanya 17,7 persen responden yang tak setuju keberadaan poros baru. Sementara, 38,4 persen sisanya memilih tidak menjawab atau menjawab tidak tahu.

Tingginya keinginan terhadap hadirnya cagub alternatif, antara lain dipicu oleh faktor kejenuhan terhadap calon-calon yang ada. Bukan rahasia, Gus Ipul dan Khofifah sudah bertarung dalam dua Pilgub Jatim terakhir, sehingga Pilgub 2018 adalah pertarungan ketiga bagi keduanya.

Masih mengutip hasil survei SSC, nama Yenny Wahid dan Mahfud MD – yang sebelumnya tak pernah dikaitkan dengan poros baru – justru dianggap publik layak menjadi cagub dari poros tersebut. Mahfud menempati posisi pertama dengan 18,3 persen.

Disusul Ketua Kadin Jatim La Nyalla Mattalitti, yang sebelumnya santer disebut dekat dengan poros baru, menempati posisi kedua dengan 15,4 persen. Sedangkan Yenny berada di posisi ketiga dengan 11,9 persen.

Yenny diyakini berpeluang besar memenangi Pilgub Jatim karena, orang percaya, ia akan memperoleh dukungan masif dari jaringan Gusdurian dan sebagian besar warga nahdliyin yang menyukai dan taklid pada pemikiran-pemikiran Gus Dur. Pertanyaannya: jika Yenny serius didorong untuk bertarung dalam Pilgub Jatim, tidakkah hal itu justru akan memecah belah nahdliyin dengan risiko memicu gesekan di akar rumput?

*Peluang Yenny Didorong ke Pentas Nasional*

Kalau Yenny ikut Pilgub Jatim, sejatinya keluarga besar NU yang merugi. Sebab, tiga cagub yang akan bertarung adalah putra-putri terbaik yang lahir dari rahim sama: Nahdlatul Ulama. Dalam situasi seperti sekarang, jauh lebih baik jika Yenny bersikap rendah hati dengan meneguhkan keberpihakan pada kepentingan yang lebih luas, seperti dulu dilakukan Gus Dur.

Caranya? Menjaga momentum elektoral ini untuk mendewasakan tradisi demokrasi dalam keluarga besar NU. Bukan malah mempertajam politik perkubuan. Jika Yenny maju pilgub, maka misi di atas terancam gagal total. Bahkan akan semakin mempertajam politik perkubuan di tubuh keluarga besar NU.

Dengan kata lain, jauh lebih bijak apabila Yenny memosisikan diri untuk bersikap netral (seperti ia katakan di acara haul Gus Dur), menjaga jarak yang sama kepada semua kontestan Pilgub Jatim.

Inilah peran, sekaligus warisan sejarah yang tak terucap oleh orangtua dan pendahulunya, tetapi memiliki nilai moral sangat tinggi: jangan mengejar jabatan, apalagi jika hal itu membuat umat tercerai berai.

Apabila Yenny mampu menghindar dari tawaran untuk bertarung di daerah, bukan mustahil namanya justru semakin melambung di tingkat nasional. Termasuk, laik ditimbang untuk dipromosikan sebagai bakal cawapres dalam Pilpres 2019.

Ada beberapa alasan yang mendukung kalkulasi tersebut. Salah satunya, jika dibandingkan duet Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014, Prabowo-Yenny lebih bisa ”dijual”. Selain posisi sebagai anak biologis sekaligus anak ideologis Gus Dur, Yenny juga merepresentasikan tokoh muda sekaligus aktivitis perempuan berlatarbelakang NU dengan basis konstituen yang riil.

Sudah pasti, Prabowo akan dihadapkan pada nama lain sebagai cawapres yang mungkin diusulkan mitra koalisi, semisal Ketua PAN Zulkifli Hasan. Namun, berdasarkan pengalaman pilpres lalu, banyak yang skeptis kader PAN akan mampu memberikan kontribusi suara yang signifikan bagi Capres Prabowo.

Dari PKS? Sejauh ini juga belum ada nama yang ”layak jual”. Bahkan, dibandingkan dengan Muhaimin Iskandar – yang saat ini tengah gencar mengiklankan diri lewat baliho di sejumlah kota – nama Yenny tetap lebih mudah dijual.

Belum lagi jika menyebut keunggulan lain Yenny terkait dimilikinya jaringan yang luas di level global seiring dengan aktivitasnya mengkampanyekan isu-isu perdamaian, radikalisme dan intoleransi, yang membuatnya segaris sehaluan dengan Gus Dur.

Jadi? Bola berada di kaki Yenny sendiri, untuk bertindak elegan menyikapi tawaran yang bersipongang di hadapannya. Namun, arah bola juga ditentukan oleh tendangan kaki Prabowo bersama mitra koalisinya. Terutama dalam memutuskan, apakah Yenny akan diturunkan ke lapangan sekarang, atau tahun depan.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas