Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Soros Menggugat Kapitalisme?
Kondisi ini membahayakan karena suatu sistem yang tidak menawarkan adanya harapan dan keuntungan bagi mereka yang kalah.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM - Dalam bukunya berjudul Open Society : Reforming Global Capitalism, spekulan terkenal dunia George Soros mengatakan sistem kapitalisme yang ada sekarang berada dalam kondisi krisis.
Alasannya telah menciptakan hubungan yang tidak seimbang antara 'pusat' kapitalisme (negara maju) dengan 'periferi'. Periferi menunjuk ke negara pinggiran yaitu negara miskin dan berkembang.
”Hubungan antara pusat sistem kapitalis dan periferinya sangat timpang. Negara-negara di pusat menikmati terlalu banyak keuntungan ketimbang negara-negara di periferi. Mereka yang di pusat tidak hanya lebih kaya tetapi juga lebih stabil karena dapat mengontrol masa depannya sendiri. Pemilikan modal oleh pihak asing merampas otonomi negara-negara periferi dan sering menghambat perkembangan lembaga-lembaga demokrasi,” kata Soros.
Pada bagian lain, ia mengatakan, "sistem kapitalisme global telah memproduksi sebuah bidang permainan yang tidak rata. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin melebar.
Baca: Orang Superkaya Dunia George Soros Sebut Facebook dan Google Ancaman Terbesar bagi Demokrasi
Kondisi ini membahayakan karena suatu sistem yang tidak menawarkan adanya harapan dan keuntungan bagi mereka yang kalah.
Jika kita menawarkan insentif-insentif ekonomi kepada negara-negara yang ingin memanfaatkannya, kita menciptakan suatu alat yang ampuh untuk pencegahan krisis.
Sayang sekali, arsitektur keuangan global yang kini berlaku, nyaris tidak menawarkan sesuatu apa pun untuk menunjang mereka yang kurang beruntung".
Apa yang salah dari sistem kapitalisme? Tidakkah Soros menjadi kaya karena kehadiran sistem tersebut? Bukankah dia seorang pendukung paham tersebut dan sebagai salah satu anak kandung paham kapitalisme? Mengapa Soros mengkritik paham yang membesarkannya?
Gugatan Soros terhadap paham ini dapat dibaca pada buku berjudul : “Menggugat Neoliberalisme : Sebuah Kritik George Soros”.
Buku ini terbit pada Januari 2018.
Ditulis oleh Robertus Wardi, seorang jurnalis yang sehari-hari bekerja di Harian Umum Suara Pembaruan. Buku ini telah dijual di Toko Buku Gramedia di seluruh tanah air dengan harga Rp 75.000.
Buku ini merupakan hasil penulisan tesis untuk mencapai gelar Magister Filsafat pada Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, tahun 2012.
Robert menulis bukunya dengan mengacu ke kritik spekulan George Soros terhadap neoliberalisme. Meski hasil penulisan tesis filsafat, isi buku ini tidak rumit, teoritis atau kaku sebagaimana buku-buku filsafat pada umumnya.
Buku ini ditulis dalam bahasa jurnalis yang sederhana, ringan dan praktis. Penulisan yang ringan itu juga mengacu pada pengakuan Soros bahwa ide yang ditulisnya hanya semata sebagai filsafat praktis.
Anda mungkin ingin tahu kapan Soros belajar filsafat. Bukankah ia hanya seorang spekulan? Soros pernah belajar filsafat di London School of Economics (LSE), Inggris.
Teori yang dibangunnya dipengaruhi gurunya yang juga seorang filsuf terkenal asal Austria yaitu Karl Popper.
Setelah lulus dari LSE, Soros tidak menjadi seorang filsuf seperti gurunya Popper. Dia lebih memilih sebagai spekulan dan menjadi salah satu orang terkaya di dunia saat ini.
Dengan latar belakang seperti itu, dia menyebut bukunya sebagai filsafat praktis. Artinya, apa yang ditulis hanya sebagai panduan kerja sehari-hari yang mendapat pendasaran filsafat.
Dalam semua bukunya, Soros tidak memakai istilah neoliberalisme, tetapi lebih memilih sebutan ‘fundamentalisme pasar’.
Alasannya, paham neoliberalisme atau fundamentalisme pasar menempatkan pasar sebagai dasar atau basis dalam menata kehidupan masyarakat. Pasar dianggap sebagai fundamen kehidupan manusia. Adapun kegiatan lain hanya turunan dari kegiatan pasar.
Soros menyebut paham fundamentalisme pasar yang menguasai dunia saat ini. Ideologi itu yang mengendalikan sistem kapitalisme global sekarang.
Lembaga-lembaga keuangan internasional seperti International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia dan organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization – WTO) berada di bawah pengaruhnya. Sejumlah pemimpin negara pun telah melaksanakan doktrin-doktrin dari paham tersebut.
Menurut Soros, kuatnya cengkraman paham neoliberalisme atau fundamentalisme pasar membuat sistem kapitalisme yang ada sekarang berjalan pincang.
Sistem kapitalisme yang hadir sekarang lebih menguntungkan negara maju, sementara negara berkembang dan miskin terus bertambah miskin.
Soros tidak menolak sistem kapitalisme. Karena itu bukunya diberi judul Reforming Global Capitalisme. Namun dia memperjuangkan agar dominasi paham fundamentalisme pasar terhadap sistem kapitalisme harus diakhirnya.
Itulah yang diperjuangkan Soros dengan mendirikan berbagai Yayasan Open Society di berbagai belahan dunia.
Dalam resume singkat buku yang ditulis, disebutkan neoliberalisme merupakan paham yang berkembang pada akhir abad 20, terutama pasca meredupnya dominasi ideologi totaliter.
Neoliberalisme dari kata ‘neo’ dan ‘liberalisme’. Neo berarti reaktualisasi atau revitalisasi kembali ajaran, paham dan gerakan lama. Sementara liberalisme dari kata ‘liber’ (bahasa Latin) yang berarti kebebasan.
Liberalisme adalah paham yang memperjuangkan terciptanya kebebasan tiap-tiap individu tanpa dikurangi oleh siapa pun. Pembatasan hanya terjadi sejauh ditetapkan undang-undang atau hukum.
Neoliberalisme berupaya menghidupkan kembali paham liberalisme klasik yang pernah ada pada abad 18-19. Bedanya, liberalisme klasik memperjuangkan kebebasan dalam segala bidang. Sementara neoliberalisme lebih memperjuangkan kebebasan dalam pasar. Kebebasan dalam pasar dianggap menjadi pijakan bagi kebebasan dalam bidang lain.
Neoliberalisme sangat optimistik terhadap pasar dan pesimistik dengan pemerintah. Pemerintah dianggap sebatas “penjaga malam” yang bertugas menjamin tersedianya pasar bebas dan persaingan bebas. Dalam mencapai kesejahteraan masyarakat, penganut neoliberalisme menekankan peran mekanisme pasar berupa interaksi hukum permintaan dan penawaran. Mekanisme permintaan dan penawaran ini diyakini mampu membawa masyarakat pada kesejahteraan.
Transaksi antara si kaya dengan si miskin atau antara negara maju dengan negara miskin, pada dirinya akan menuju ke kesejahteraan bersama.
Cara mencapai kondisi tersebut bukan dengan intervensi pemerintah, tetapi dituntun oleh ‘tangan tak kelihatan’ (invisible hand). Tangan tak kelihatan semacam hukum alam yang mengatur alam semesta, termasuk pasar. Dengan kata lain, upaya mencapai kesejahteraan bersama bukan karena campur tangan pemerintah tetapi terjadi secara alamiah melalui cara kerja pasaryang dituntun oleh invisible hand.
Soros menyebut neoliberalisme atau fundamentalisme pasar sebagai ideologi masyarakat tertutup (closed society). Alasannya, paham itu membuat klaim-klaim absolut dalam ajarannya.
Klaim absolut yang paling utama adalah menyerahkan semua urusan tata-menata kehidupan manusia ke mekanisme pasar. Pasar dianggap sebagai awal-mula, dasar dan fundamen bagi seluruh kegiatan manusia.
Soros ingin mengantikan paham neoliberalisme itu dengan konsep masyarakat terbuka (open society).
Masyarakat terbuka menekankan konsep refleksivitas dalam memahami realitas. Refleksivitas adalah hubungan timbal-balik atau dua arah antara pemikiran dan realitas. Hubungan itu terjadi melalui aplikasi fungsi kognitif dan manipulatif secara bersamaan yang ada pada subyek.
Seperti apa penjelasan konsep refleksivitas itu? Bagaimana cara kerja fungsi kongintif dan manipulatif. Buku ini memberi jawabannya.
Anda yang membaca buku ini pasti semakin semangat dan bergairah untuk membacanya karena Kata Pengantar atau Prolog-nya ditulis oleh Menteri Perindustrian Republik Indonesia Airlangga Hartarto.
Sementara Penutup atau Epilog ditulis oleh Wakil Ketua MPR dari PDIP Ahmad Basarah. Dua tokoh itu mengulas secara konkrit implikasi paham neoliberalisme bagi kehidupan Indonesia.
Buku ini diterbitkan oleh Asia Media – PT Warna Lintas Media dengan editor Egidius Patnistik. Sampul buku menampilkan foto George Soros yang sedang berpikir dengan posisi mengigit jari.
Metode yang digunakan dalam penulisan buku ini adalah penelitian pustaka. Sebagai pustaka utama adalah buku George Soros yang berjudul The Crisis of Global Capitalism: Open Society Endangered (1998) yang kemudian direvisi menjadi Open Society : Reforming Global Capitalism (2000).
Dua buku ini memuat secara rinci dan detail kritik Soros terhadap ideologi fundamentalisme pasar, sekaligus ideologi masyarakat terbuka yang menggantikan konsep masyarakat tertutup.
Buku ini dibagi dalam enam bab dan 151 halaman. Dari enam bab tersebut kemudian dibagi dalam empat bagian utama. Bagian pertama menampilkan apa yang dimaksud paham fundamentalisme pasar (Bab II). Bagian kedua adalah kritik Soros terhadap paham tersebut (Bab III).
Bagian ketiga berupa ide masyarakat terbuka yang ditawarkan Soros untuk menggantikan paham fundamentalisme pasar (Bab IV).
Bagian keempat adalah tanggapan penulis atas teori Soros (Bab V).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.