Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ilusi Daya-Saing Ekonomi-Negara
Sejak Adam Smith merilis hasil observasinya di zona Eropa Daratan abad 18 M dalam An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of the Nations
Editor: Toni Bramantoro
Oleh: Komarudin Watubun
Sejak Adam Smith merilis hasil observasinya di zona Eropa Daratan abad 18 M dalam An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of the Nations (1776) hingga Alfred Sloan dalam bukunya My Years with General Motors(1963), minim riset dan kajian tentang ‘daya-saing’ ekonomi negara atau ekonomi perusahan.
Karl Marx dalam Das Kapital, Kritik de Politichcen Ekonomie (1867) terutama fokus pada kritik terhadap kapitalisme di Eropa awal abad 19 M.
Begitu pula sosiolog asal Jerman, Max Weber, dalam Economy and Society (1922), V. Zombart dalam Bourguouis (1924), dan Joseph Aloys Schumpeter (Capitalism, Socialism and Democracy, 1942), minim membahas ‘daya-saing ekonomi negara’.
Akhir 1970-an, di tengah arus ledakan peran perusahan multinasional di berbagai negara, keran aliran investasi asing masuk ke zona-zona ekonomi negara-kebangsaan, termasuk aliran investasi asing pertama masuk ke zona Negara RI melalui Freeport di Papua awal 1970-an, mulai berkembang diskusi tentang ‘daya-saing’ ekonomi negara.
Diskusi ‘daya-saing ekonomi negara’ di pasar global masih lapat-lapat akhir 1950-an dan awal1960-an. Peter Ferdinand Drucker (The Age of Discontinuity, 1969) merilis konsep manajemen sebagai kunci daya-saing perusahan.
Robert Merton Solos (Tehnical Change and Aggregate Production Function , 1957) merilis kajian bahwa pendidikan, inovasi teknologi, dan IPTEK adalah penentu daya-saing Amerika Serikat di forum dunia.
Konsep dan strategi ‘daya-saing’ (competitiveness) meraih perhatian global sejak Michael Porter dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, merilis buku Competitive Strategy (1980).
Isinya, antara lain, fungsi intelijen pelanggan, teknologi, lingkungan bisnis, dan pemasok, menentukan keungggulan strategis suatu perusahan. Begitu pula riset dan kajian Gilad (1989), Grabowski (1987).
Tahun 1992, Lester Thurow merilis Head to Head (1992). Bahwa kinerja negara akhirnya diuji dari persaingan ‘win-lose’ atau kalah-menang di pasar dunia. Buku ini menjadi best-seller dan sering dikutip oleh Presiden AS, Bill Clinton (1993-2001). B
uku Putih (White Paper) Komisi Eropa (European Commission) juga merilis pandangan serupa dalam Growth,Competitiveness, Employment (1993).
Kondisi global jelang akhir abad 20 memang memperlihatkan kian perkasa peran pasar. Karena dipandang sebagai obat panacea birokrasi yang mudah tergoda praktek korupsi.
Ideologi dan resep neolib pun kian banyak diadopsi oleh berbagai negara di Amerika Selatan, Afrika, dan Asia. Peran, tanggungjawab dan tugas sosial-ekonomi-lingkungan dari negara kian ciut dan kerdil, dan peran pasar makin masif.
Akibatnya, daya-saing negara pun diredusir sebagai ‘daya-saing perusahan-perusahan swasta’. Ini yang saya sebut ilusi! Karena pasar tidak steril dari korupsi.
Pasar tidak pernah dapat mengadopsi keadilan sosial. Pasar bukan obat ketimpangan sosial-ekonomi sejak Revolusi Industri di Eropa Barat abad 19 M. Obat jitu terhadap setiap ketimpangan sosial-ekonomi selama lebih dari 100 tahun terakhir hanya koperasi.
Pasal 33 ayat (1,2,3) UUD 1945 tidak diamandemen oleh MPR RI hasil Pemilu 1999. Maka Penjelasan UUD 1945 tentang pasal ini masih berlaku. Isinya, bahwa usaha bersama berazas kekeluargaan ialah koperasi!
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh Negara. Amanat Pasal 33 UUD 1945 ini memerintahkan Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus bertugas untuk melayani sektor sosial-ekonomi-lingkungan bagi Rakyat Negara RI.
Hingga hari ini, tak satu pun negara dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mampu mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim. Tandanya di langit telanjang bagi kita: lapisan ozon, yang ditemukan pertama kali oleh ahli fisika Charles Fabry asal Perancis (1913), kian terkoyak. Jika lapisan ini musnah di atmosfir, kehidupan di planet bumi berisiko musnah. Ini pula yang saya sebut : ‘Ilusi daya-saing ekonomi negara’.
Padahal, tugas Pemerintah Negara RI menurut alinea IV Pembukaan UUD 1945 ialah ‘melindungi segenap Bangsa dan seluruh tumpah darah’, maka indikatornya bukan ‘win-lose’ di pasar global, tetapi berfungsi atau tidak berfungsinya pemerintahan negara melaksanakan tanggungjawab sosial-ekonomi-lingkungannya sesuai amanat Pembukaan UUD 1945.
* Komarudin Watubun, Ketua Dewan Kehormatan DPP PDI Perjuangan