Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners

Tribunners / Citizen Journalism

Terrorism Is Not New, But Recurrent

Negara-negara seakan-akan rapuh mencegah dan mengatasi aksi teror. Riset empirik David C.

Editor: Toni Bramantoro

Oleh: Komarudin watubun

Negara-negara seakan-akan rapuh mencegah dan mengatasi aksi teror. Riset empirik
David C.

Rapoport (2004: 47) tentang evolusi terorisme selama 130 tahun terakhir sejak abad
19 di Eropa menemukan bahwa ada 4 (empat) gelombang terorisme modern sejak 1870-an di Rusia, Balkan dan Asia hingga serangan teror ke WTC dan Pentagon di AS (Amerika Serikat)
tahun 2001. Rata-rata inovasi pola teror berevolusi sekitar 40 tahun.




Gelombang I (Anarchist wave) berawal dari lambannya proses demokratisasi Rusia.
Gelombang ke-2 (Anticolonial wave) bermula tahun 1920-an, ketika faksi garis keras gerakan
nasionalis melibatkan taktik teror dalam perjuangannya atau aspirasi nasionalis dengan taktik teror; gelombang ke-3 (New left wave) yang masih tersisa di Nepal, Spanyol. Peru dan
Kolumbia.

Sedangkan gelombang ke-4 (Religious wave) bermula sejak akhir 1970-an. Anarkhis Rusia meletakan dasar konsep, doktrin, dan taktik teror modern seperti Sergei Nechaev (1971), Nicholas Mozorov (1880), Peter Kroporkin dan Serge Stepniak (1927) bertujuan merapuhkan tata-pemerintahan melalui serial aksi teror terhadap pertemuan-pertemuan masyarakat dan pembunuhan figur-figur pemerintah (Nechaev, 1971).

Instrumennya kadang pamflet dan leaflet untuk memicu polarisasi masyarakat dan revolusi atau dinamit sebagai senjata yang menciptakan kekerasan, perang dan sanksi (The New
York Times, 4 April 1878).

Teror adalah taktik sesuai targetnya yakni anarkhi menuju revolusi dan konteks politik dalam negeri. Presiden AS Theodore Roosevelt merilis upaya awal global guna meredam terorisme : “Anarchy is a crime against the whole human race, and all mankind should band together against the Anarchist.” (Richard B. Jensen, 2001: 19).

BERITA TERKAIT

Sikap Presiden Roosevelt tersebut direspons oleh pendukung Anarkhis dengan melahirkan gelombang ke-2 terorisme modern skala global di Irlandia, Cyprus, Israel atau Palestina, dan Aljazair (Menachem Begin, 1997). Targetnya antara lain polisi sebagai mata dan
telinga pemerintah.

Sebab pembunuhan tokoh politik dianggap kontra-produktif seperti pembunuhan Alexander I asal Serbia di Merseilles tahun 1934. Perampokan bank berkurang sebab adanya pasokan dana sporadis.

Gelombang ke-3 lahir yang memadukan sentimen nasionalisme dan gerakan radikal
seperti American Weather Underground, West Germany Red Army Faction, Italian Reg
Brigade, Japanese Red Army, dan French Action Dicrete. Pasca 1975, PLO mengganti posisi
Viet Cong sebagai model gerakan yang didukung oleh Uni Soviet melalui pelatihan dan senjata.

Maka lahir gerakan radikal dari Basque, Armenia, Kurdi, Korsika, dan lain-lain.
Sekitar 700 aksi sandera penerbangan selama tiga dekade gelombang ke-3 (Anderson
and Stephen Sloan, 1995:136).

Penculikan tokoh politik terjadi pada 73 negara, seperti penculikan Perdana Menteri Aldo Moro oleh Red Brigade di Italia tahun 1979. Tahun 1968-1982, terjadi 409 penculikan dan sekitar 951 penyanderaan di dunia (J Adams, 1986:192) Gelombang ke-3 terorisme modern mulai redup akhir 1980-an karena kerjasama negara-negara, seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris, melakukan pemboman Libya tahun 1986 karena diduga mensponsor terorisme.

Upaya kerjasama kontra-teror mulai dirajut oleh berbagai negara. Embargo ekonomi diterapkan guna menekan negara sponsor terorisme (David C. Rapoport, 2004: 61). PBB merilis dokumen awal tentang terorisme International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing tahun 1997.

Kemudian serangan teror ke WTC dan Pentagon tahun 2001 menandai lahirnya fase
ke-4 terorisme modern. Pada era ini, jaringan al-Qaeda mula-mula dijadikan model. Setelah
130 tahun, jaringan al-Qaeda yang tersebar di sekitar 70 negara melahirkan generasi ke-4
taktik teror awal abad 21 (Rapoport 2004: 66).

Aksi teror belum berakhir pasca Osama bin Laden. Alasannya, struktur organisasinya
ketat dan berbasis rekrut SDM lokal (Cronin 2006: 39–46), sekitar 50% aliran dananya melalui
offshore bank (Tkachuk 2002: 2), al-Qaeda juga terlibat dalam jaringan narkotika (Cronin 2006: 45–46), khususnya di Afghanistan (United Nations Office on Drugs and Crime, 2007).

Maka Jean E. Rosenfeld (2010:2) menyimpulkan : “In short, terrorism is not new, but recurrent.”

*Komarudin watubun, anggota komisi II DPR-RI DAN KETUA DEWAN KEHORMATAN DPP PDI- PERJUANGAN

Komarudin watubun
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas