Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Sikap Teguh KPU Larang Mantan Napi Koruptor Jadi Caleg Harus Diapresiasi
Keteguhan sikap KPU untuk tetap mengatur larangan bagi mantan napi koruptor untuk menjadi caleg patut diapresiasi.
Editor: Hasanudin Aco
![Sikap Teguh KPU Larang Mantan Napi Koruptor Jadi Caleg Harus Diapresiasi](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/peneliti-forum-masyarakat-peduli-parlemen-indonesia-lucius-karsus_20180325_164906.jpg)
Oleh: Lucius Karus
Peneliti Senior Formappi
TRIBUNNEWS.COM - Keteguhan sikap KPU untuk tetap mengatur larangan bagi mantan napi koruptor untuk menjadi caleg patut diapresiasi.
Sikap KPU ini sekaligus menjadi koreksi serius atas pembentukan legislasi yang dimotori oleh DPR bersama dengan pemerintah yang cenderung permisif pada isu yang sangat mendasar seperti soal larangan menjadi caleg bagi napi koruptor.
Pembuatan legislasi terkait isu politik selama ini memang sangat elitis. DPR dan pemerintah rela bekerja ngebut untuk membahas RUU Politik.
Sangat berbeda jika RUU lain yang tak ada kaitan langsung dengan kepentingan politik. DPR dan pemerintah akan cenderung lamban, seperti RUU Anti terorisme.
Proses pembahasan RUU Paket politik juga cenderung tidak partisipatif. Sumbangsih saran dan pikiran melalui RDPU cenderung hanya formalitas belaka.
Hasilnya paling kentara pada ketentuan mengenai syarat jadi caleg. UU Pemilu masih nampak permisif terhadap pelaku korupsi yang sudah terbukti bersalah bahkan telah mendapatkan sanksi pidana.
Sikap politik DPR dan Pemerintah dalam RUU Pemilu tersebut bisa dianggap sebagai bentuk pengingkaran kedua lembaga tersebut pada komitmen pemberantasan korupsi.
Keduanya patut dianggap sebagai penanggungjawab atas sistemiknya korupsi di negara ini.
Sikap permisif tersebut kemudian dibela oleh DPR, Pemerintah, dan Bawaslu dengan seolah-olah menampilkan diri sebagai pihak yang taat hukum/aturan.
Berlindung dibalik slogan taat hukum, mereka lalu terus melawan kengototan KPU yang tetap menginginkan adanya peraturan yang tegas untuk melarang napi koruptor dicalonkan menjadi caleg.
Kengototan KPU nampaknya mewakili sikap publik kebanyakan yang menginginkan adanya sikap tegas dan tanpa basa-basi terhadap napi koruptor.
Publik yang sudah gerah dengan perilaku elit yang tanpa kenal jera terlibat dalam aksi korup tentu akan menjadi penyokong misi KPU membuat peraturan tersebut.
Dukungan terhadap KPU ini sekaligus tamparan bagi DPR, Pemerintah dan Parpol yang bukannya jujur dalam menyerap suara publik dalam menyusun aturan. Mereka malah cenderung mempolitisasi aspirasi publik dengan kamuflase aturan menggunakan batasan waktu, bukan substansi persoalan korupsi.
Dengan demikian KPU justru sekaligus mengoreksi cara DPR dan pemerintah dalam membuat peraturan yang selama ini cenderung elitis.
Mereka hanya membaca kemauan elit yang ingin agar kesempatannya meraih kekuasaan tidak dihalang-halangi sekalipun sebelumnya sudah terbukti melakukan kejahatan luar biasa dalam kasus korupsi.
Logika elitis ini tentu sangat merusak etika berpolitik, apalagi jika itu dilindungi secara sistemik melalui regulasi yang elitis tersebut.
Seolah-olah lamanya hukuman membedakan kejahatan korupsi. Padahal lamanya hukuman sesungguhnya hanya masalah sedikit-banyaknya jumlah kerugian.
Tetap saja antara korupsi dengan jumlah sedikit dan banyak sama-sama didorong oleh niat jahat melakukan penyimpangan keuangan negara.
Jadi mestinya tak pantas DPR, Parpol dan Pemerintah membela aturan yang sesungguhnya hanya memberikan jalan bagi makin masifnya korupsi mencengkeram urat nadi bangsa.
![Baca WhatsApp Tribunnews](https://asset-1.tstatic.net/img/wa_channel.png)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.