Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Saling Bantah Antarpejabat di Ruang Publik, Pertanda Rendahnya Etika Penyelenggara Negara
Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius justru menegaskan bahwa aktivitas radikalisme di rumah ibadah itu berlangsung sejak tahun 2012 hingga sekarang.
Editor: Dewi Agustina
Penulis:
Petrus Selestinus
Ketua Tim Task Force Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP)
FORUM ADVOKAT PENGAWAL PANCASILA (FAPP) sangat menyayangkan sikap Wakapolri Komjen Pol Syafruddin Kambo yang juga sebagai Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, karena telah membantah di hadapan media, soal kebenaran pernyataan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno dan Jenderal Pol Budi Gunawan selaku Kepala BIN sekaligus Wakil Majelis Pakar Pengurus DMI tentang adanya 40 (empat puluh) Masjid di DKI Jakarta yang terpapar radikalisme.
Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius justru menegaskan bahwa aktivitas radikalisme di rumah ibadah itu berlangsung sejak tahun 2012 hingga sekarang.
Mengapa disayangkan FAPP, karena pernyataan Wagub DKI Jakarta Sandiaga Uno dan Jend Pol (Purn) Budi Gunawan, Kepala BIN tentang 40 (empat puluh) masjid di DKI Jakarta terpapar Radikalisme itu disangkal oleh koleganya sendiri dalam satu institusi dilakukan di ruang publik.
Seharusnya pernyataan itu diterima sebagai informasi berharga untuk ditindaklanjuti, apalagi informasi itu didasarkan pada data yang sudah dimiliki oleh Pemda DKI Jakarta, oleh BIN dan BNPT yang bersumber dari informasi masyarakat dan sudah disampaikan kepada Presiden Jokowi.
Baca: Karyawan Swasta Curiga Buruh Pabrik Sering Gonta-ganti Motor, Ternyata Hasil Curian
Karenanya, informasi itu sebenarnya hanya memerlukan tindak lanjut berupa penyelidikan, pengawasan dan pembinaan sebagai bagian dari upaya bersama untuk menindak radikalisme demi menjaga NKRI, tanpa perlu dipolemikkan di media.
Sikap saling membantah di ruang publik tentang terpaparnya radikalisme di 40 (empat puluh) Masjid di DKI Jakarta, sebagaimana telah diungkap oleh Sandiaga Uno dan dibenarkan oleh Jenderal Pol Budi Gunawan, Kepala BIN dan selaku Wakil Majelis Pakar Pengurus DMI di Senayan, seharusnya diterima sebagai masukan berharga untuk dicermati bukan untuk dipolemikkan di ruang publik.
Sikap Sandiaga Uno dan Budi Gunawan yang menyatakan tidak akan menyebutkan masjid mana saja yang terpapar radikalisme, patut kita apresiasi karena secara etika tetap berupaya menjaga kesucian, kehormatan dan nama baik masjid dan hendak membersihkan tempat ibadah dari kegiatan yang anarkis.
Seandainya Gubernur Anies Baswedan dan Komjen Pol Syafruddin Kambo tidak mempercayai kebenaran informasi yang telah disampaikan oleh Sandiaga Uno, Jend Pol (Purn) Budi Gunawan dan BNPT, maka Anies Baswedan dan Komjen Pol Syafruddin Kambo seharusnya menahan diri atau menugaskan timnya untuk melakukan penyelidikan.
Anies bahkan meminta siapa yang ngomong suruh tunjukin datanya, padahal data itu sudah ada di Biro Dikmental dan Bazis Pemda DKI yang kemudian menjadi dasar bagi Sandiaga Uno dan Ka BIN Jend Pol (Purn) Budi Gunawan berbicara di hadapan media dan dengan tetap menjaga etika yaitu tidak menyebut masjid mana yang terpapar.
Ini merupakan fenomena yang aneh bagi masyarakat kita, karena para pejabat itu tanpa beban mau berbeda pendapat dan saling menegaskan pernyataan pejabat yang satu terhadap yang lain, meskipun dalam posisi satu level atau sebagai atasan dan bawahan, dalam satu institusi tanpa menjaga etika.
Anies Baswedan dan Sandiaga Uno adalah sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, sedangkan Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan dan Komjen Pol Syafruddin Kambo, adalah sama-sama pengurus DMI (meski dengan jabatan berbeda).
Namun ketika berbicara tentang radikalisme, mereka bisa saling bantah bahkan saling meniadakan kebenaran pernyataan yang satu terhadap yang lain di ruang publik, dengan mengabaikan etika sebagai sama-sama pejabat negara.
Publik tidak saja dibuat bingung dengan polemik seperti ini, tetapi publik juga boleh menduga bahwa sikap sementara oknum pejabat tertentu di suprastruktur bisa menggambarkan adanya perbedaan kepentingan.
Bahkan bisa disalahgunakan oleh kelompok radikal seakan-akan mendapat perlindungan atas aktivitas yang menggunakan rumah ibadah suci untuk kegiatan yang anarkis bahkan radikal.
Dengan demikian timbul pertanyaan apakah di kalangan suprastruktur ada oknum yang memiliki loyalitas ganda dan hendak mengacaukan upaya pemberantasan radikalisme, kalau ada mengapa dibiarkan menduduki jabatan strategis negara.
Sikap Wakapolri Komjen Pol Syafruddin Kambo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bisa berimplikasi memberikan angin segar bahkan dimanfaatkan kelompok radikal yang selama ini disebut-sebut menggunakan rumah ibadah yang suci untuk kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI.
Inilah buah dari munculnya sikap berbeda pendapat dan saling menyalahkan di ruang publik, tanpa mempertimbangkan dampaknya yaitu menguntungkan kepentingan radikalisme.
Presiden, BIN, Polri dan Pemda DKI Jakarta harus bersikap tegas terhadap Radikalisme dan oknum-oknum pejabat yang diduga melindunginya.