Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Otoritarianisme vs Kepastian Hukum
Yang dibuat bereaksi cepat bukan lah masyarakat, tetapi kalangan politisi dan orang-orang yang berminat menjadi calon pasangan Presiden Jokowi
Editor: Hendra Gunawan
Oleh Syamsuddin Radjab *)
BELAKANGAN ini banyak sangkaan negatif yang mengarah ke Jusuf Kalla (JK) setelah mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam pengujian undang-undang yang dimohonkan oleh DPP Perindo pada Selasa (10/7) lalu. Partai Perindo ingin menguji penjelasan Pasal 169 huruf n UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang dianggap bertentangan dengan Pasal 7 UUDN RI 1945.
Syak wasangka itu mulai dari kekuatiran munculnya otoritarian baru, mengkhianati amanat reformasi, membendung regenerasi kepemimpinan nasional hingga tuduhan serius melanggengkan dan mengamankan konglomerasi usaha JK yang memang berasal dari kalangan pengusaha atau saudagar.
Andaikata, JK tidak mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam permohonan judicial review DPP Partai Perindo mungkin dinamika politiknya tidak semarak seperti saat ini dan sidang-sidang MK akan berlangsung biasa-biasa saja seperti uji materi UU lainnya.
JK memang menghentak perpolitikan nasional menjelang penentuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden pada 4-10 Agustus 2018 atau dua minggu kedepan. Ditengah para pimpinan parpol bermanuver bertemu satu dengan lainnya dan saling menjajaki kemungkinan kerjasama untuk mengusung pasangan calon masing-masing.
Yang dibuat bereaksi cepat bukan lah masyarakat, tetapi kalangan politisi dan orang-orang yang berminat menjadi calon pasangan Presiden Jokowi terutama partai koalisi dengan mendorong ketua umumnya sebagai calon wakil Presiden. Partai Golkar misalnya, bahkan menggalang penolakan itu melalui organ mantelnya dengan melakukan penggalangan wacana dipelbagai media.
Tidak sampai disitu, partai Golkar juga secara serial menggelar diskusi dipelbagai temapt dan merekrut “relawan Jokowi” agar mendukung kepentingannya yakni menjajakan Airlangga Hartarto yang saat ini sebagai ketua umum agar dipilih sebagai calon wakil Presiden oleh Presiden petahana Jokowi.
Sedari awal, saya sudah menyatakan bahwa sosok ketua umum Partai Golkar itu tidak memenuhi kriteria dan kualifikasi calon Wakil Presiden karena bukanlah tokoh yang memiliki pengaruh kuat dikalangan arus bawah. Di internal Golkar sendiri, juga bukan figur simpul kuat yang memiliki faksi tersendiri dengan pengaruh politik kuat.
Sikap ngotot oknum pengurus Partai Golkar itu berbanding terbalik dengan sikap parpol koalisi Jokowi yang merespons sikap JK dengan santai dan biasa-biasa saja. Parpol lainnya lebih menganggap sebagai upaya pribadi dan hak konstitusional setiap warga negara yang perlu dihargai.
Menuju Otoritarianisme ?
Bentuk pemerintahan otoritarianisme menurut Juan Linz (Richard Shorten, 2012: 256) setidaknya harus memenuhi empat kriteria, yaitu: pertama, keterbatasan akses publik dan kontrol terhadap parpol; kedua, legitimasi kekuasaan berdasarkan konsensus rezim; ketiga, mobilisasi massa dan penindasan lawan politik; dan keempat, dominasi kekuasaan eksekutif (executive heavy) dan regulasi bersifat karet dengan tafsir menurut selera rezim.
Keempat kriteria diatas saat ini sangat mustahil kembali kita alami dengan perubahan fundamental sistem ketatanegaraan setelah amandemen UUDN RI 1945 pada 1999-2002. Prinsip check and balances antar lembaga negara, penghapusan dwi fungsi ABRI sebagai alat rezim kekuasaan, dan partisipasi luas masyarakat serta perlindungan HAM menjadi indikator kuat tumbuhnya iklim demokrasi yang kian kokoh.
Enam tuntutan agenda reformasi hanya pemberantasan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang terseok-seok jalan penuntasannya karena penyelenggara negara masih dirasuki mentalitas rakus bin serakah. Revolusi mental ala Jokowi-JK sudah tepat namun dibutuhkan keseriusan dalam pengejawantahannya agar tidak hanya slogan tapi juga perbuatan.
Yang tidak disadari para pengkritik JK adalah bahwa JK dalam kedudukannya sebagai pihak terkait maupun kemungkinan jabatan (lagi) yang dinginkan hanya wakil Presiden dan bukan Presiden. Kedudukan sebagai wakil Presiden hanya membantu Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan.