Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Otoritarianisme vs Kepastian Hukum
Yang dibuat bereaksi cepat bukan lah masyarakat, tetapi kalangan politisi dan orang-orang yang berminat menjadi calon pasangan Presiden Jokowi
Editor: Hendra Gunawan
Dalam kedudukan itu, bayangan akan bersikap otoriter jauh dari realitas politik bahkan mustahil terwujud, sepanjang Presiden masih ada dan menjalankan kekuasaan itu sesuai dengan sumpah/janji jabatan dan peraturan perundang-undangan. Tugas dan wewenang wakil Presiden sangat terbatas tergantung perintah Presiden.
Dalam ketentuan Pasal 4 sampai Pasal 16 UUDN RI 1945 Jabatan wakil Presiden hanya disebutkan saat menjelaskan kedudukannya dengan frasa “dibantu oleh satu orang wakil Presiden”, syarat pencalonan, pengajuan pasangan calon, masa jabatan dan pemberhentian jabatan.
Tidak salah, jika ada pandangan yang menyatakan bahwa jabatan wakil Presiden tidak perlu diberikan batasan waktu karena kedudukan dan fungsinya hanya sebagai pembantu Presiden dalam menjalankan kewajibannya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara. Jadi jangan paranoid jabatan wakil Presiden akan bertindak laiknya Presiden seperti dimasa pemerintahan rezim Soeharto.
Kepastian Hukum
Secara pribadi, saya sejak awal menyatakan tidak setuju atas pengajuan JK sebagai pihak terkait dalam permohonan penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu dengan alasan etis. Beberapa argumen hukum dapat disampaikan sebagai berikut:
Pertama, pembentukan UU No. 7 Tahun 2017 merupakan hasil pembahasan dan kesepakatan yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah. Dalam kedudukan JK sebagai wakil Presiden merupakan bagian dari pemerintah yang telah menyetujui UU Pemilu tersebut.
Kedua, Tanpa mengajukan diri sebagai pihak terkait, majelis hakim MK menurut ketentuan Pasal 14 PMK No. 6/PMK/2005 sebagai acuan hukum acara dalam pengujian undang-undang dapat memanggil pembentuk UU (termasuk pemerintah) untuk didengar keterangannya (ad informandum), dan wakil Presiden JK dapat saja mewakili pemerintah untuk menjelaskan hal tersebut.
Ketiga, dianutnya asas audi et alteram partem atau hak untuk didengar secara seimbang baik pemohon maupun pihak terkait, apalagi sosok JK dalam posita Partai Politik diuraikan telah mengajukan pasangan calon Presiden dan wakil Presiden yakni Joko Widodo dan Jusuf Kalla sehingga kemungkinan akan dipanggil untuk ditanyakan kesediaannya atas pencalonan tersebut.
Namun demikian, kenekatan JK maju sebagai pihak terkait tentu dengan pertimbangan yang matang dan mantap. Bayangan saya akan menuai kritik bahkan sinistik dan cemoohan akhirnya benar-benar terjadi. Sebagai orang yang sangat berpengalaman dalam politik dan pemerintahan tentu hal demikian sudah dipertimbangkan.
Memang, Pasal 7 UUDN RI 1945 yang dikaitkan dengan penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu berkutat pada frasa “maupun tidak berturut-turut” menjadi hal yang disoalkan oleh para pihak dengan pelbagai alasan baik pro maupun kontra.
DPP Partai Perindo dan JK yang dapat saya tangkap dari permohonan dan alasan JK sebagai pihak terkait hanya ingin kepastian hukum dan tafsir shohih dari MK sebagai lembaga yang diberi kewenangan oleh UU guna mengakhiri tafsir-tafsir lain yang berseliweran diluar gedung MK dan demi generasi dimasa mendatang.
Pada akhirnya, kita berharap agar tafsir MK dilandaskan pada pertimbangan-pertimbangan rasional, adil, demokratis dan hak asasi manusia. Saya memercayai reputasi kenegarawanan para hakim MK dalam memutus permohonan pemohon dengan integritas dan sifat kemandirian dan independensinya demi menjaga marwah kelembagaan dan tafsir kesejatian UUDN RI 1945. (*)
*) Syamsuddin Radjab adalah Staf Pengajar HTN UIN Alauddin Makassar dan Direktur Eksekutif Jenggala Center