Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Suara Milenial Antikorupsi

Benih anti-korupsi itu telah disemaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Peraturan KPU (PKPU) No 20 Tahun 2018.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Suara Milenial Antikorupsi
Ist/Tribunnews.com
Dr Wisnu Sakti Dewobroto 

Oleh: Dr Wisnu Sakti Dewobroto

TRIBUNNEWS.COM - Benih anti-korupsi itu telah disemaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Peraturan KPU (PKPU) No 20 Tahun 2018.

Namun, belum sempat tumbuh, benih itu sudah dimatikan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan kemudian Mahkamah Agung (MA).

Bawaslu meloloskan belasan calon anggota legislatif (caleg) mantan narapidana korupsi ke Pemilu 2019 yang sebelumnya dicoret KPU. MA, Kamis (13/9/2018), memutus judicial review (uji materi) Pasal 4 ayat (3) PKPU No 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR RI dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota terhadap Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasal yang diujimaterikan ini mengatur soal larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi, mantan bandar narkoba dan mantan narapidana kasus kejahatan seksual pada anak untuk maju menjadi caleg.

Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg bertentangan dengan UU Pemilu. Dengan adanya putusan uji materi tersebut, maka mantan narapidana korupsi dapat mencalonkan diri sebagai caleg dengan syarat-syarat yang ditentukan UU Pemilu.

Berdasarkan UU Pemilu, setiap orang yang memiliki riwayat pidana atau pernah menjadi terpidana dibolehkan mendaftar sebagai caleg namun wajib mengumumkannya ke publik.

BERITA REKOMENDASI

Sementara PKPU No 20/2018 melarang parpol mendaftaran mantan narapidana kasus korupsi sebagai caleg.

MA menerima 13 pengajuan uji materi PKPU No 20/2018. Gugatan diajukan para mantan koruptor yang ingin menjadi wakil rakyat, di antaranya mantan Gubernur Aceh Abdullah Puteh, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M Taufik, dan mantan anggota DPR RI Wa Ode Nurhayati.

Pasal 240 ayat (1) huruf g UU No 7/2017 memang tidak melarang mantan narapidana korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual anak menjadi caleg asalkan sudah mengumumkan statusnya itu ke publik.

Sesungguhnya apa yang dilakukan KPU itu merupakan terobosan untuk menciptakan parlemen yang bersih dari korupsi, mengingat UU No 17/2017 tidak melarang mantan koruptor nyaleg. Pembuat UU adalah DPR RI bersama pemerintah. Jadi, jangan berharap DPR mau membuat aturan yang akan menyulitkan mereka sendiri.

Kini, KPU memiliki waktu 90 hari untuk melaksanakan keputusan MA itu sejak vonis diketok. Di sisi lain, KPU akan menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) pada 20 September 2018. Jadi, kalau mau, KPU bisa tetap tidak memasukkan puluhan nama mantan koruptor yang sudah diloloskan Bawaslu tersebut dalam DCT.

Maukah KPU? Kita tunggu hingga 20 September 2018. Kalau ternyata KPU tetap melarang mantan koruptor nyaleg, berarti KPU sungguh-sungguh dalam upaya menciptakan parlemen bersih. Sebaliknya bila meloloskan mereka, berarti KPU tidak sungguh-sungguh, atau menyerah pada tekanan legislatif dan eksekutif. Presiden Joko Widodo meminta semua pihak menghormati keputusan MA.

KPU dan kita semua memang patut prihatin melihat korupsi di Indonesia. Tahun 2017, skor Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tetap pada angka 37 dari 100 poin atau berada pada posisi 96 dari 180 negara, turun dari posisi sebelumnya, 90. Tingginya korupsi politik di Indonesia menjadi persoalan mendasar anjloknya peringkat Indonesia.

Dalam 10 tahun terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sedikitnya 135 anggota DPR RI terlibat korupsi. Sedangkan jumlah anggota DPRD (provinsi/kabupaten/kota) yang terlibat korupsi mencapai 3.650 orang.

Korupsi “berjamaah” terjadi di DPRD Sumatera Utara, bahkan di DPRD Kota Malang, Jawa Timur, dari 45 anggota, 41 di antaranya sudah ditetapkan KPK sebagai tersangka suap. Fenomena yang sama juga terjadi di DPRD Jambi.

Jumlah Suara Milenial

Ada banyak figur yang saat kasus korupsi terjadi ternyata tergolong usia milenial atau di bawah 40 tahun, seperti M Nazaruddin, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, dan Zumi Zola.

Itulah yang membuat Ketua KPK Agus Rahardjo juga heran, karena belakangan banyak tersangka korupsi yang usianya masih terbilang muda dan produktif. Berbeda dengan para pelaku korupsi di masa sebelumnya yang didominasi orang-orang tua, kini pelaku korupsi malah jauh lebih muda, seperti ada regenerasi.

Sebenarnya, langkah parpol-parpol mencalonkan mantan koruptor itu kontraproduktif dengan suara generasi milenial yang rata-rata gerah melihat maraknya kasus korupsi di Tanah Air.

Setelah Bawaslu dan MA meloloskan mantan narapidana korupsi menjadi caleg, keputusan final ada di tangan rakyat, apakah akan memilih mereka atau tidak. Namun yakinlah generasi milenial yang sudah melek teknologi dan politik tak akan memilih mereka, sehingga yang akan rugi adalah parpol-parpol itu sendiri.

Jangan lupa, jumlah pemilih milenial dalam Pemilu 2019 mencapai 40% dari total jumlah pemilih 187.109.973 jiwa yang sudah ditetapkan KPU dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) per 16 September 2018. Suara milenial pun menjadi penentu kemenangan parpol.

Data Kementerian Dalam Negeri, ada 5.035.887 orang pemilih pemula pada Pemilu 2019. Data ini masuk dalam Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4). Dalam DP4 terdapat pemilih pemula yang telah dan akan berusia 17 tahun pada 1 Januari 2019 sampai 17 April 2019 sebanyak 5.035.887 jiwa.

Jumlah ini didapat dari hasil pengurangan total DP4 dan data penduduk wajib KTP elektronik. DP4 berjumlah 196.545.636, sedangkan jumlah data wajib KTP sejumlah 191.509.749. Ini baru jumlah pemilih pemula, belum semua pemilih berusia milenial.

Menjelang Pemilu/Pilpres 2019, generasi milenial memang menjadi rebutan parpol dan calon presiden. Generasi milenial atau sering disebut generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir setelah generasi X, terlahir pada kisaran tahun 1980-2000-an.

Mengutip pendapat Tapscott (2009), ada tiga pembagian generasi, yakni generasi X (1965-1976), generasi Y (1977-1997), dan generasi Z (1998-sekarang). Artinya, generasi milenial berumur antara 17-37 tahun.

Soal politik, generasi milenial menurut para ahli mempunyai sejumlah karakter khas, antara lain, lebih melek teknologi tetapi cenderung apolitis terhadap politik. Mereka tidak loyal kepada parpol, sulit tunduk dan tidak patuh instruksi.

Mereka cenderung tidak mudah percaya kepada elite politik, terutama yang terjerat korupsi dan mempermainkan isu negatif di media sosial. Mereka juga cenderung berubah-ubah dalam menggunakan hak suaranya. Mereka lebih rasional, menyukai perubahan dan antikemapanan. Mereka cenderung menyalurkan hak politik kepada parpol yang menyentuh kepentingan dan aspirasi mereka sebagai generasi muda.

Mereka juga antikorupsi. Jadi, bila masih ada parpol yang mengajukan mantan koruptor sebagai caleg, jangan berharap akan menggaet suara kaum milenial.

Pertanyaan yang kini menggelayut di hati kaum milenial, kapan bangsa ini mampu bersatu padu mencegah dan memberantas korupsi, sebagaimana memerdekakan diri dari belenggu penjajahan?

Dr Wisnu Sakti Dewobroto MSc: Staf Pengajar Universitas Agung Podomoro, Jakarta. (Tulisan ini pendapat pribadi, tidak mewakili institusi). 

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas