Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Solidaritas Bencana di Tahun Politik
Kita prihatin dan berduka untuk warga Palu yang tengah dirundung pilu, dan masyarakat Donggala yang sedang dilanda bala.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - Belum kering air mata duka untuk ratusan korban gempa bumi 7,0 Skala Richter (SR) yang mengguncang Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Minggu (5/8/2018), kini air mata kembali tertumpah untuk ribuan korban gempa bumi dan tsunami di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018).
Kita prihatin dan berduka untuk warga Palu yang tengah dirundung pilu, dan masyarakat Donggala yang sedang dilanda bala.
Apakah bencana demi bencana yang menimpa sejumlah wilayah Indonesia ini sebagai fenomena alam, azab atau ujian? Silakan masing-masing punya interpretasi. Tapi satu hal pasti: di balik setiap bencana selalu ada hikmah!
Hikmah apakah itu? Secara ilmiah (aqli/akal), berdasarkan analisis Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), gempa berkekuatan 7,4 SR yang mengguncang Donggala dan memicu tsunami di Palu disebabkan oleh Sesar Palu Koro yang memanjang di wilayah Sulteng dan sepertiganya menjorok ke lautan.
Indonesia, menurut BMKG, merupakan daerah pertemuan tiga lempeng tektonik yang besar di dunia, yakni Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik.
Di titik pertemuan Lempeng Indo-Australia, akumulasi energi tabrakan terjadi dan lapisan bumi bergeser, itulah awal mula dikenalnya Sesar, dan itulah sebabnya mengapa Indonesia masuk kategori negara yang harus waspada dengan gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami.
Secara naqli atau dalil berdasarkan Al Qur’an, Allah SWT berfirman, “Dan kamu lihat gunung-gunung itu kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal gunung-gunung itu bergerak sebagaimana awan bergerak. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh segala sesuatu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (An-Naml: 88).
Jadi, bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami adalah fenomena alam semata, sesuai hukum Allah atau sunnatullah, termasuk tsunami yang terjadi di Aceh, Mentawai, Sumatera Barat, Pangandaran, Jawa Barat, dan gempa bumi di Yogyakarta beberapa tahun lalu yang kesemuanya itu merenggut korban ribuan nyawa manusia.
Hikmahnya, sebagai penduduk yang tinggal di bumi Indonesia, kita harus senantiasa waspada mengantisipasi bencana.
Secara spiritual, menurut naqli, ketika terjadi bencana alam, paling tidak ada dua analisis. Pertama, azab dari Allah karena banyak dosa yang dilakukan manusia. Allah SWT berfirman, “Jika Kami menghendaki menghancurkan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah (berkedudukan untuk taat kepada Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri tersebut, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Al-Isra': 16).
Kedua, ujian dari Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan: ‘kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-Ankabut: 2).
Blessing in Disguise
Apa pun penyebab bencana, apakah fenomena alam semata, azab atau ujian, satu hal pasti: instrospeksi dan solidaritas!
Introspeksi, apakah kita telah merusak alam atau banyak dosa sehingga alam dan Tuhan pun murka kepada kita?
Introspeksi, apakah iman kita kepada Allah sudah cukup mendalam sehingga sudah siap menghadapi ujian dan cobaan-Nya? Allah berjanji untuk tidak memberikan cobaan melebihi kemampuan hamba-Nya.
Di sisi lain, bencana menuntut adanya solidaritas dari semua pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat pada umumnya untuk bersatu padu, bergotong-royong, dan bahu-membahu mengatasi dampak bencana. Apalagi, tsunami di Palu-Donggala merenggut korban ribuan orang.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berapologia, sejumlah faktor menjadi penyebab banyaknya korban. Faktor-faktor itu mencakup kemampuan mitigasi tsunami baik dari sisi manusia maupun tata ruang.
Buoy, alat pendeteksi tsunami, di seluruh Indonesia mengalami kerusakan sejak 2012 dan hingga kini belum diperbaiki. BMKG pun sempat mencabut peringatan tsunami. Ironis, bukan?
Kalau memang buoy-buoy itu rusak, mengapa tidak segera diperbaiki atau bahkan dibelikan yang baru, yang anggarannya tentu saja jauh lebih kecil daripada kerusakan infrastruktur, atau bahkan korban jiwa yang tak ternilai harganya akibat tsunami? Ini pelajaran yang sangat berharga bagi pemerintah, khususnya BMKG dan BNPB.
Presiden Joko Widodo telah terjun langsung ke lapangan dan menginstruksikan seluruh stakeholders, termasuk TNI dan Polri, untuk melakukan aksi tanggap darurat di Palu-Donggala.
Langkah pertama adalah melakukan evakuasi korban, baik yang meninggal maupun yang masih hidup, dan memberikan makanan, pakaian dan obat-obatan kepada para pengungsi. Jokowi menargetkan dalam sepekan Palu-Donggala kembali normal.
Parpol-parpol peserta Pemilu 2019 pun tak mau ketinggalan. Mereka mengirimkan bantuan dan tenaga medis maupun sukarelawan ke Palu-Donggala. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, calon presiden penantang Jokowi di Pilpres 2019, juga akan datang ke lokasi bencana, sebagaimana saat gempa Lombok.
Lembaga-lembaga penyiaran publik seperti televisi dan radio, serta media massa, bahkan sekolah-sekolah berlomba menghimpun donasi untuk korban tsunami Palu-Donggala, dan dalam sekejap berhasil mengumpulkan sumbangan puluhan miliar rupiah.
Ungkapan simpati dan ucapan duka cita mengalir dari segala penjuru dunia, seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, Afrika Selatan, Australia, India, Singapura, Filipina, Malaysia hingga Sekjen PBB Antonio Guterres. Australia dan Singapura bahkan siap memberikan bantuan langsung kepada Indonesia. Uni Eropa siap mengucurkan bantuan Rp 25,9 miliar dan Korea Selatan Rp 15 miliar.
Terbukti bencana telah mempersatukan umat manusia, terlepas dari sekat-sekat politik dan wilayah. Itulah blessing in disguise (berkah di balik musibah) yang bisa kita petik di balik bencana Palu-Donggala, Lombok, dan sebagainya. Para politisi pun dapat memetik blessing in disguise serupa untuk kepentingan politiknya di tahun politik ini, termasuk Jokowi dan Prabowo, meskipun itu bukan tujuan utama.
Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menunjukkan, kunjungan Jokowi ke Lombok telah meningkatkan dukungan terhadap petahana ini.
Peneliti LSI, Ardian Sopa, Kamis (27/9/2018), menyatakan 67,9% responden mengaku pernah mendengar dan mengetahui Jokowi mengunjungi korban gempa di Lombok. Sebanyak 94,5% masyarakat suka terhadap kunjungan Jokowi ke korban gempa Lombok, dan hanya 3,0% yang menyatakan tidak suka, sementara 2,5% tidak menjawab.
Kunjungan Jokowi ke wilayah terdampak gempa di Lombok juga membuat 48,40% responden menyatakan semakin yakin untuk mendukung Jokowi, 39% menyatakan biasa saja, dan 1,60% menyatakan tidak mendukung Jokowi.
Saat Prabowo mengunjungi Lombok, Rabu (5/9/2018), banyak korban gempa yang mengelu-elukan mantan Danjen Kopassus itu untuk menjadi Presiden 2019.
Usai Jokowi berkunjung ke Palu-Donggala, Minggu (30/9/2018), bila dilakukan survei, kita yakin elektabilitasnya akan naik lagi. Bagaimana dengan Prabowo? Bila tak mau ketinggalan, segeralah bergegas ke Palu-Donggala!
Namun, jangan sampai kunjungan ke korban bencana dijadikan arena untuk mencari muka demi kepentingan elektoral semata. Sebab itu, kita mengapresiasi imbauan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono agar kampanye pemilu dihentikan sementara di Sulteng demi fokusnya penanganan korban bencana.
Di sisi lain, tidak etis pula bila isu kemanusiaan seperti bencana justru dijadikan ajang untuk menuding atau menyalahkan lawan politik. Bahwa para politisi itu mendapatkan blessing in disguise dari kunjungan mereka ke korban bencana, anggap saja itu sebagai dampak ikutan. Dampak utamanya adalah tertolongnya nasib korban. Insya Allah!
Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan anggota DPR RI / Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.