Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Antara Hukum Pidana dan Moral/Hukum Berbanding Lurus dengan Moralitas

Beberapa waktu lalu kita dihebokan dengan adanya kasus prostitusi online yang melibatkan artis sekaligus model Vanessa Angel dan avriellashaqqila

Editor: Toni Bramantoro
zoom-in Antara Hukum Pidana dan Moral/Hukum Berbanding Lurus dengan Moralitas
Surya.co.id
Vanessa Angel usai diperiksa kepolisian Polda Jatim setelah terlibat prostitusi online. 

Oleh: Reza Aditya, S.H

Beberapa waktu lalu kita dihebokan dengan adanya kasus prostitusi online yang melibatkan artis sekaligus model Vanessa Angel dan Avriella Shaqqila, pemakai jasa prostitusi seorang pengusaha pertambangan pasir di Lumajang  Jawa Timur bernama Rian dan mucikarinya.

Namun dengan berjalannya waktu melalui proses penyelidikan tenyata hanya mucikarinya sajalah yaitu Endang 25 tahun dan Tantri N 28 tahun yang dapat dikenakan sanksi pidana yaitu pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE dan/atau pasal 296 jo Pasal 506 KUHP serta kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Penetapan tersangka hanya kepada kedua mucikari tersebut bukan karena tanpa alasan, yaitu kepada pemakai jasa prostitusi belum ada Undang-Undang yang mengatur dan untuk perempuan yang dilacurkan dianggap sebagai korban dari tindak pidana sehingga ancaman pidana hanya dapat di kenakan kepada mucikari dalam kasus tersebut.

Dalam hal ini penulis ingin memberikan suatu masukan terhadap kasus ini tentang pentingnya hokum dan moralitas.

Menurut Prof. Idriyantosenoadji dalam bukunya hukum pidana  (KUHP dan KUHAP) perkembangan dan permasalahannya mengatakan: apabila dalam suatu masyarakat, hubungan antara hokum dan moral adalah kuat (strong relationship) maka dekriminalisasi adalah tidak adequate dan tidak demikian relevan, demikian dengan Prof Oemar Seno Adji, S.H, dalam bukunya “hokum pidana tidak tertulis” khususnya dalam delik-delik susila.

Sebaliknya apabila hubungan antara hokum dan standar moral itu “loose”, renggang dan dengan demikian mereka menghendaki adanya pengurangan dan pembatasan dalam suatu peraturan pidana mengenai kesusilaan tersebut yang tentunya masalah ini dapat mengarah pada dekriminalisasi ataupun depenalisasi, yaitu penghapusan sesuatu yang sebelumnya merupakan tindak pidana.

BERITA TERKAIT

Juga berarti bahwa bila suatu perbuatan yang dirasakan melanggar norma kesusilaan seperti prostitusi (pelacuran),  perzinaan dan lain lain serta kemudian tidak ada hokum pidana yang mengatur itu samahalnya dengan lemahnya hubungan antara hokum dan moralitas, jadi hokum berbanding lurus dengan moralitas. Semakin hokum mengatur perilaku masyarakat berbanding lurus dengan tingginya moralitas dimasyarakat tersebut.

Dengan menyadari hokum sebagai sarana teknik social spesifik dalam masyarakat dari suatu tatanan yang bersifat memaksa kita dapat mengkontraskannya secara tajam dengan tatanan sosial lain yang sebagian mengejar tujuan yang sama dengan hukum, tetapi dengan cara yang berbeda. Hukum adalah sarana spesifik, bukan suatu tujuan. Hukum, moralitas, dan Agama, ketiganya melarang pembunuhan, perzinaan dan berbohong sebagai contoh.

Namun demikian hokum melarang ketiganya ini dengan jalan menetapkannya dalam undang undang bahwa jika seseorang melakukan pembunuhan/perzinaan maka orang lain yang yang ditunjuk oleh peraturan hokum akan menerapkan terhadap si pembunuh tersebut suatu tindakan paksa tertentu yang ditetapkan oleh peraturan hukum.

Moralitas membatasi dirinya pada keharusan: Anda jangan membunuh, jangan berzina, jangan berbohong dll. Ketika seorang pembunuh diasingkan secara moral oleh sesamanya dan banyak individu menhindari melakukan pembunuhan bukan karena ingin menghindari dari hukuman dari peraturan hokum seperti menghindari dari celaan moral dari sesamanya, meskipun begitu masih banyak perbedaan besar bahwa reaksi dari peraturan hukum dilakukan dengan suatu tindakan paksa yang diundangkan oleh peraturan tersebut dan diorganisasikan oleh masyarkat.

Sementara reaksi moral terhadap perbuatan immoral tidak ditetapkan oleh peraturan moral, tidak juga bila ditetapkan, diselenggarakan oleh masyarakat. Dalam hal ini norma hokum lebih dekat kepada norma keagamaan daripada dengan norma moral.

Sebab norma keagamaan mengancam si pembunuh/pezina dengan hukuman oleh otoritas Tuhan namun sanksi yang ditetapkan oleh norma keagamaan memiliki karakter transedental; sanksi tersebut tidak diselenggarakan oleh masyarakat meskipun ditetapkan oleh peraturan agama. Sanksi agama mungkin lebih efektif dari pada sanksi hukum. Namun efektifitasnya mensyaratkan keyakinan terhadap eksistensi dan kekuasaan dari otoritas Tuhan.

Namun demikian yang menjadi persoalan disini bukan efektifitasnya sanksi, melainkan hanya apa dan bagaimana sanksi tersebut ditetapkan oleh peraturan sosial. Sanksi yang diselenggarakan oleh masyarakat adalah berupa tindakan paksa yang ditujukan oleh seorang individu yang ditetapkan menurut peraturan sosial, menurut suatu cara yang ditentukan oleh peraturan sosial, terhadap individu yang bertanggung jawab atas tindakan yang bertentangan dengan peraturan tersebut.

Halaman
12
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
berita POPULER
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas