Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
PSSI dan Perannya Dalam Mempersatukan Bangsa Indonesia
Di Indonesia, olahraga juga telah terbukti menyatukan pihak-pihak yang berbeda pandangan dalam politik.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Oleh: Diaz Hendropriyono
Ketua Umum PKPI
Pendiri gerakan #dengaryangmuda
Mundurnya Edy Rahmayadi dari kursi Ketua Umum PSSI memberi angin segar bagi adanya regenerasi kepemimpinan organisasi olahraga paling populer di Indonesia, sepakbola.
Ketua Umum PSSI nantinya harus memiliki dua kualitas penting. Pertama, kemampuan manajemen organisasi yang mumpuni, terkait besarnya potensi sepakbola nasional.
Olahraga secara umum memiliki kontribusi yang luar biasa besar bagi ekonomi. Sebuah studi yang melihat kontribusi olahraga di Amerika Serikat mendapati bahwa olahraga berkontribusi sekira 60 miliar dolar AS pada tahun 2014 dan diprediksi mencapai 73.5 miliar dolar AS pada tahun 2019 (Data dari Forbes)
Di Inggris, sepakbola sendiri berkontribusi 3.4 miliar Poundsterling dan mempekerjakan lebih dari 100 ribu orang.
Walaupun saat ini belum terdapat penghitungan yang komprehensif mengenai sumbangan sepakbola terhadap PDB nasional Indonesia, tapi kita bisa melihat dari besarnya jumlah animo masyarakat dengan besarnya jumlah penonton, relatif berjalannya turnamen-turnamen dan pertandingan baik di Liga nasional maupun di level daerah-daerah, maka sepakbola diyakini memiliki efek besar bagi perekonomian nasional.
Selain itu, kemampuan manajemen organisasi akan meliputi kemampuan meraba, membaca dan merangkul faktor-faktor eksternal yang memiliki efek besar bagi PSSI, seperti lansekap politik, regulasi yang mempengaruhi sepakbola, maupun perubahan trend dunia.
Kualitas kedua yang harus dimiliki oleh Ketua Umum PSSI ke depan, dan mungkin merupakan kualifikasi terpenting yang dibutuhkan saat ini, adalah kemampuan menjadikan sepakbola sebagai alat pemersatu bangsa.
Olahraga merupakan kekuatan penting bagi suatu bangsa. Olahraga dapat secara positif berkontribusi pada pembentukan identitas nasional dan juga meningkatkan rasa kesatuan dan persatuan nasional.
Ketika Afrika Selatan menjadi tuan rumah dan memenangkan Piala Dunia Rugby pada tahun 1995, Mandela menunjukkan kenegarawannnya dengan memakai jaket rugby dan menyerahkan trophy kemenangan kepada kapten tim “Springboks,” mengambil hati kaum kulit putih dan membantu mempercepat perdamaian Afrika Selatan.
Tentara-tentara Inggris dan Jerman berdamai sejenak dari kejamnya Perang Dunia I dengan bermain sepakbola di gencatan senjata tidak resmi pada hari Natal 1914 di zona No Man’s Land Front Barat.
Di Pantai Gading, perang saudara yang sedang berlangsung sempat berhenti karena rakyat Pantai Gading ingin menonton Didier Drogba bertanding di Piala Dunia sepakbola 2006 di Jerman.
Secara internasional, “diplomasi ping pong” menjadi titik awal pembukaan hubungan diplomatik antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Tahun 1971, Glenn Cowan, pemain tenis meja Amerika, menjadi akrab dengan Zhuang Zedong, pemain dari China di Kejuaraan Dunia Tenis Meja di Nagoya.
Keakraban mereka yang diliput media membuat Mao Zedong tertarik untuk mengundang tim tenis meja Amerika. Setelah kunjungan tersebut, Nixon mengadakan kunjungan ke Tiongkok dan mengakhiri kebekuan hubungan Tiongkok-Amerika.
Di Indonesia, olahraga juga telah terbukti menyatukan pihak-pihak yang berbeda pandangan dalam politik. Ketika Zohri menjadi juara lomba lari 100 meter di Finlandia, Presiden Jokowi dan Fahri Hamzah sama-sama memuji pencapaian pelari tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa pertandingan olahraga memiliki potensi besar untuk meredam konflik, di negara manapun. Bahkan pada awalnya, Olimpiade diselenggarakan oleh Raja Iphitos dari Elis sebagai salah satu cara untuk memutuskan siklus konflik di negara-negara Yunani Kuno.
Besarnya pengaruh sepakbola dalam hidup masyarakat dunia, termasuk di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari peranan Jules Rimet, Presiden FIFA terlama dan paling legendaris dalam sejarah
. Jules Rimet, yang tidak pernah bermain bola selama hidupnya, percaya bahwa sepakbola dapat menjadi pemersatu dunia, jika cabang olahraga ini dapat dilakukan dengan cara yang menarik perhatian masyarakat luas dan dengan cara yang profesional.
Ketika banyak negara-negara Eropa menentang ide diadakannya Piala Dunia, Jules Rimet tetap menjalankan ide pelaksanaan Piala Dunia I pada tahun 1930 di Uruguay, yang dinilai sukses baik dari sisi olahraga maupun komersial.
Perlu diingat juga bahwa Piala Dunia sendiri telah berubah menjadi sebuah institusi yang bertahan setelah Perang Dunia II; bandingkan dengan organisasi Liga Bangsa-Bangsa yang tidak mampu bertahan setelah Perang Dunia II.
Dalam masa kepemimpinannya selama 33 tahun, Jules Rimet berhasil meningkatkan kepesertaan FIFA dari 0 negara menjadi 85 negara, membuka jalan bagi sepakbola yang inklusif, demokratis dan populer di seluruh dunia.
Saat ini, beranda media maupun media sosial masyarakat Indonesia dipenuhi dengan keriuhan berita politik menjelang pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif 2019. Keriuhan ini menjadi kekhawatiran terhadap keutuhan dan kesatuan bangsa dengan banyaknya hoax, berita negatif dan fitnah yang semakin mempolarisasi dan membelah pendukung masing-masing.
Kondisi ini membuat pemilihan Ketua Umum PSSI menjadi sebuah hal yang sangat signifikan di tahun politik. Ketum PSSI nantinya adalah sosok yang mampu melakukan reformasi struktural yang terus memperbaiki prestasi sepakbola nasional, mengerti dan mampu memperbaiki model bisnis dan kompetisi industri sepakbola sehingga meningkatkan kesejahteraan pemain dan semakin meningkatkan kontribusi sepakbola terhadap perekonomian nasional.
Kemampuan melakukan hal ini akan meningkatkan kebanggaan publik terhadap sepakbola nasional. Namun, pada akhirnya, hal terpenting yang perlu dimiliki oleh Ketua Umum PSSI adalah sosok yang bisa menyatukan bangsa yang semakin terpolarisasi ini.
Mengambil pelajaran, semangat dan visi dari Jules Rimet, kita harus menjadikan waktu pemilihan presiden dan legislatif 2019 ini sebagai momentum untuk menyatukan berbagai elemen bangsa yang mengalami polarisasi saat ini melalui sepakbola dengan memilih Ketua Umum PSSI yang merefleksikan semangat tersebut.
Saya bermimpi bahwa suatu hari nanti, seperti yang dikatakan oleh Jules Rimet bahwa "manusia akan mampu saling bertemu dengan penuh kepercayaan diri tanpa dipenuhi kebencian di dalam hatinya dan penghinaan yang keluar dari bibirnya.” Semuanya dapat dicapai melalui sepakbola.