Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Jangan Ditanya ke Mana Prabowo Pergi

Rekapitulasi sementara KPU suara Prabowo-Sandi tertinggal 15 juta suara dari pperaingnya Jokowi-Amin

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Jangan Ditanya ke Mana Prabowo Pergi
Ist for ribunnews.com
Sumaryoto Padmodiningrat. 

Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat

TRIBUNNEWS.COM - “Jangan ditanya ke mana aku pergi”.

Lagu lawas Muchsin Alatas yang hitstahun 1970-an ini mungkin sedang dinyanyikan dalam hati oleh Prabowo Subianto, calon presiden yang berpasangan dengan Sandiaga Uno pada Pemilihan  Presiden 2019.

Namun dalam rekapitulasi sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU), perolehan suaranya tertinggal sekitar 15 juta dari capres petahana Presiden Joko Widodo yang berpasangan dengan KH Maruf Amin.

Ya, tak ada yang tahu pasti ke mana dia pergi. Dari foto yang beredar, Prabowo diduga pergi ke Brunei Darussalam, namun dibantah Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Dahnil Anzar Simanjuntak.

Di sisi lain, Prabowo telah menulis dan meninggalkan surat wasiat di kediamannya di Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Surat wasiat tersebut, kata Sandiaga Uno, ditujukan kepada rakyat Indonesia. Isinya, arahan untuk langkah-langkah ke depan.

Berita Rekomendasi

Surat wasiat Prabowo akan dibuka sebelum atau pada saat pengumuman hasil Pemilu 2019 oleh KPU, Rabu (22/5/2019).

Akankah surat wasiat itu menjadi bom waktu? Kita tidak tahu. Yang jelas, isi surat wasiat itu hingga kini masih misterius.

Namun, Prabowo telah menyatakan penolakannya atas hasil Pilpres 2019 yang ia nilai sarat kecurangan. Apakah surat wasiat itu berisi penolakan hasil pemilu?

Ataukah surat wasiat itu berisi ajakan people power (pengerahan kekuatan massa), belakangan istilah ini diubah menjadi gerakan kedaulatan rakyat, untuk mengepung KPU, seperti selama ini disuarakan para pendukung Prabowo-Sandi, seperti Habib Rizieq Syihab, Amien Rais, Kivlan Zen, dan juga Eggi Sudjana yang sudah ditetapkan polisi sebagai tersangka makar dan ditahan?

Kita tidak tahu. Yang jelas, TNI dan Polri sudah dalam posisi Siaga 1.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, menjelang penetapan hasil Pemilu 2019 oleh KPU, ada 40 ribu personel gabungan TNI-Polri yang dikerahkan untuk pengamanan.

Di sisi lain, Densus 88/Antiteror Polri selama lima bulan ini, atau sejak Januari hingga Mei 2019 membekuk 68 terduga teroris.

Paling banyak ditangkap pada bulan Mei, yakni 29 orang. Januari ditangkap 4 orang, Februari 1 orang, Maret 20 orang, dan April 14 orang.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen M Iqbal mengatakan, para teroris itu berencana melakukan serangan bom pada 22 Mei 2019, bertepatan dengan batas akhir rekapitulasi Pemilu 2019 oleh KPU.

Iqbal pun mengimbau masyarakat untuk tidak turun ke jalan mengikuti seruan people power agar tidak menjadi korban teror bom.

Sedemikian mencekamkah situasi menjelang pengumuman hasil Pemilu 2019?

Apakah kepergian Prabowo, jika memang benar mantan Komandan Jenderal Kopassus itu pergi ke luar negeri, mengindikasikan kekhawatirannya akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan di Tanah Air pada 22 Mei 2019?

Isu kepergian Prabowo ini mengingatkan kita akan kepergian mantan Panglima Kostrad itu ke Jordania pasca-kerusuhan Mei 1998, atau tepatnya pada September 1998, dan akhirnya kembali lagi ke Indonesia pada 2 Januari 2000.

Menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, kepergian Prabowo ke Jordania untuk menghindari fitnah yang begitu kencang di dalam negeri, seperti tudingan sebagai penggerak kerusuhan hingga isu kudeta.

Apakah isu kepergian Prabowo kali ini juga untuk menghindari fitnah, takut dituding sebagai penggerak people power di KPU pada 22 Mei nanti? Kita tidak tahu pasti. Waktulah yang akan menjawab.

Yang jelas, bila ada yang berpendapat peringatan Polri agar masyarakat tidak turun ke jalan karena bisa menjadi korban teror bom sebagai politik teror baru untuk menakut-nakuti rakyat, itu terlalu naif.

Polri memiliki data intelijen, sehingga apa yang disampaikan itu tentulah bukan pepesan kosong belaka.

Jangan sampai nanti kita menyesal karena ada saudara-saudara kita yang menjadi korban.

Lihat apa yang terjadi di Sri Lanka. Pihak intelijen India telah melaporkan adanya ancaman teror ke pihak keamanan Sri Lanka pada 4 April 2019. Namun karena di Sri Lanka sedang terjadi perseteruan politik antara Presiden Maithripala Sirisena dan Perdana Menteri Ranil Wickramesinghe, laporan intelijen tu pun diabaikan.

Akibatnya, bom meledak di sejumlah gereja pada saat ibadah Paskah, 21 April 2019, yang menewaskan 253 orang dan melukai 500 orang lainnya.

Jangan sampai gara-gara ada perseteruan politik antar-elite di Indonesia lalu sinyalemen Polri bahwa akan ada teror bom pada 22 Mei nanti diabaikan.

Inkonstitusional

Pernyataan para pendukung Prabowo seperti Amien Rais dan Fadli Zon bahwa pihaknya tak akan membawa perselisihan hasil Pemilu 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK), tapi akan menyerahkannya kepada rakyat, juga tak berdasar.

Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Kemudian ada aturan turunan, yakni UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 474 ayat (1) UU Pemilu menyebutkan, “Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh Komisi Pemilihan Umum kepada Mahkamah Konstitusi.”

Lalu, Pasal 475 ayat (1) UU Pemilu menyebutkan, “Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama tiga hari setelah penetapan hasil pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum.”

Jadi, hanya ada satu mekanisme yang tersedia untuk menggugat hasil pemilu secara konstitusional, yakni melalui MK. Di luar itu, termasuk people power, inkonstitusional.

Bila ada yang keberatan tapi tak mengajukan gugatan ke MK, maka mereka akan rugi sendiri. Sebab, jika tidak ada gugatan dalam rentang waktu tiga hari, maka KPU akan langsung menetapkan capres-cawapres terpilih. Legitimasi hukumnya sudah cukup kuat, meskipun mungkin legitimasi politiknya masih ada yang mempertanyakan.

Bila ada yang menyatakan tidak percaya kepada MK, itu pun tidak berdasar. MK adalah lembaga penegak konstitusi, tertinggi dan satu-satunya, serta keputusannya final dan mengikat.

Kalau tidak percaya kepada MK, lalu mau percaya kepada siapa? Ingat, Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Hukum sebagai panglima. Indonesia bukan negara kekuasaan (machstaat), di mana mereka yang berkuasa, atau katakanlah dapat menggerakkan massa, dapat melakukan apa pun semaunya.

Sesungguhnya hasil sementara rekapitulasi KPU yang menunjukkan kemenangan Jokowi-Maruf atas Prabowo-Sandi tak terlalu mengejutkan, karena hasil survei puluhan lembaga independen memang mengunggulkan Jokowi-Maruf ketimbang Prabowo-Sandi, baik menjelang atau setelah pemungutan suara digelar pada 17 April lalu.

Daerah-daerah yang menjadi kantong kemenangan capres pun nyaris sama dengan Pilpes 2014 lalu.

Pada Pilpres 2014, Jokowi yang waktu itu berpasangan dengan Jusuf Kalla mengalami kekalahan di Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat, Banten, NTB dan sebagainya. Pada Pilpres 2019 ini pun sama.

Begitu pun Prabowo yang pada Pilpres 2014 berpasangan dengan Hatta Rajasa, mengalami kekalahan telak di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTT, Papua dan sebagainya, serta mengalami kekalahan tipis di DKI Jakarta. Pada Pilpes 2019 ini pun sama.

Dukungan rakyat terhadap Jokowi dan Prabowo ternyata tak berubah jauh. Bahwa kemenangan sementara Jokowi di Pilpres 2019 ini sedikit lebih tebal daripada Pilpres 2014, itu wajar saja mengingat Jokowi seorang petahana yang didukung berbagai fasilitas negara.

Kalau bicara kecurangan, berdasarkan data empirik di lapangan, kedua kubu sama-sama melakukan kecurangan.

Langkah BPN mengadukan dugaan kecurangan Sistem Informasi Penghitungan (Situng) KPU ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan kemudian Bawaslu memutuskan KPU bersalah dan diwajibkan melakukan perbaikan, sudah tepat, meskipun Bawaslu dalam amar putusannya tidak memerintahkan KPU untuk menghentikan Situng.

Mestinya hal yang sama dilakukan BPN bila merasa dirugikan atas hasil pemilu, yakni mengajukan gugatan ke MK.

Ironisnya lagi, BPN tidak menolak hasil pemilu legislatif, hanya menolak hasil pilpres.

Padahal, penyelenggaranya sama, petugasnya sama, saksi-saksinya juga sama. Mengapa harus ada standar ganda?

Pendek kata, apa pun yang  sudah menjadi pilihan rakyat, semua pihak harus bisa menerimanya dengan legawa (ikhlas), karena suara rakyat adalah suara Tuhan, vox populi vox Dei.

Bukankah sebelum dimulai kampanye ada deklarasi pemilu damai, siap menang dan siap kalah?

Sebagai penutup, kiranya patut kita renungkan ajaran moral para leluhur kita, yakni “menang tanpa ngasorake” (menang tanpa merendahkan martabat lawan), dan “kalah tanpa wirang” (kalah tanpa kehilangan muka).

Dalam sebuah kontestasi, pasti ada pihak yang menang dan pihak yang kalah.

Bila semua pihak bersikap legawa dan bijaksana, maka tak perlu ada yang sombong di satu pihak, dan kehilangan muka di lain pihak.

“Menang ojo umuk” (menang jangan sombong), “kalah ojo ngamuk” (kalah jangan mengamuk).

Drs. H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI/ Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI) Jakarta.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas