Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

'Jer Tanlegawa Mawa Bea'

Untuk pilpres, setiap pasangan calon diperkirakan memerlukan anggaran hingga Rp 10 triliun.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in 'Jer Tanlegawa Mawa Bea'
Ist/Tribunnews.com
Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM 

Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat

TRIBUNNEWS.COM - Jer basuki mawa bea, keberhasilan memerlukan biaya.

Untuk berlaga pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 01, petahana Presiden Joko Wdodo-KH Maruf Amin harus mengeluarkan anggaran kampanye sedikitnya Rp 601 miliar dari Rp 606 miliar yang berhasil dikumpulkan.

Pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno mengeluarkan anggaran kampanye sedikitnya Rp 211,5 miliar dari Rp 211,5 miliar yang berhasil dikumpulkan.

Pada Pilpres 2014, Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla mengeluarkan dana kampanye sedikitnya Rp 294 miliar dari Rp 312,4 miliar yang berhasil dikumpulkan, dan Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Hatta Rajasa mengeluarkan dana kampanye sedikitnya Rp 166,5 miliar atau 100% dari dana yang berhasil dikumpulkan.

Itu semua belum termasuk dana kampaye dan sosialisasi yang tidak tercatat, termasuk dugaan money politics (politik uang), yang diyakini jauh lebih besar lagi.

Untuk pilpres, setiap pasangan calon diperkirakan memerlukan anggaran hingga Rp 10 triliun.

Berita Rekomendasi

Sementara itu, anggaran yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyelenggarakan Pilpres 2019 dan Pemilu Legislatif (Pileg) 2019 yang digelar serentak pada 17 April 2019 tak kurang dari Rp 25 triliun.

Itulah biaya yang harus dikeluarkan untuk memilih presiden-wakil presiden. Lantas, bagaimana hasilnya?

Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (27/6/2019) malam membacakan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan Prabowo-Sandi selaku pemohon kepada KPU selaku termohon dan Jokowi-Maruf selaku pihak terkait.

Dalam amat putusan yang dibacakan Ketua MK yang juga Ketua Majelis Hakim MK, Anwar Usman, MK menolak seluruh permohonan pemohon. Dengan putusan ini, pasangan Jokowi-Maruf tetap sebagai pemenang Pilpres 2019, sebagaimana keputusan KPU.

Hasil rekapitulasi KPU yang ditetapkan pada Selasa (21/5/2019), suara Jokowi-Maruf memang unggul atas Prabowo-Sandi. Jumlah perolehan suara Jokowi-Maruf mencapai 85.607.362 atau 55,50% suara, sedangkan perolehan suara Prabowo-Sandi sebanyak 68.650.239 atau 44,50% suara.

Sesungguhnya putusan MK tersebut sudah bisa ditebak sejak berlangsungnya proses persidangan, di mana pihak penggugat tak mampu menyajikan buksi-bukti dan saksi-saksi yang meyakinkan, apalagi mematahkan bukti-bukti dari KPU maupun bukti-bukti dan saksi-saksi dari pihak terkait.

Sebab itu, kita patut apresiasi Majelis Hakim MK yang sudah mengambil putusan sesuai fakta-fakta di persidangan. Soal adil, itu relatif. Bagi yang kalah, putusan itu tentu tak adil, dan sebaliknya bagi yang menang, putusan itu tentu adil.

Namun, kita juga mengapresiasi sikap Prabowo-Sandi yang mau menerima putusan MK kendati mereka masih mencari jalan konstitusional lainnya, serta langkah Prabowo-Sandi yang membawa sengketa PHPU ke MK.

Artinya, perjuangan mereka ditempuh melalui jalur konstitusional, tidak melanjutkan perjuangan melalui aksi-aksi demonstrasi atau parlemen jalanan yang sempat mereka lakukan yang bisa jadi merupakan jalur inkonstitusional.

Soal Prabowo-Sandi tidak mengucapkan selamat atas kemenangan Jokowi-Maruf, itu hanya soal waktu belaka. Kekecewaan memang selalu memerlukan ruang dan waktu untuk menyublim, atau saluran untuk pelampiasan.

Rekonsiliasi

Bila mencermati proses persidangan yang berakhir dengan putusan MK, sejatinya ada sedikit penyesalan, yakni mengapa tidak sedari awal Prabowo-Sandi mengakui kemenangan Jokowi-Maruf usai hasil rekapitulasi suara KPU diumumkan. Akibatnya, ada harga yang harus dibayar atas ketidakikhlasan atau “jer tanlegawa mawa bea” Prabowo-Sandi.

Harga itu berupa melayangnya sembilan nyawa yang menjadi korban sia-sia aksi demonstrasi yang berbuntut kerusuhan pada 21-22 Mei 2019 di Jakarta. Aksi demonstrasi pendukung Prabowo-Sandi itu ternyata ditunggangi pihak-pihak tak bertanggung jawab.

Sebab itu, kita mendesak agar proses hukum atas kasus aksi demonstrasi yang berujung rusuh ini dituntaskan hingga ke akar-akarnya, termasuk menemukan siapa yang menjadi penyebab tewasnya sembilan korban itu. Siapa dalang aksi yang berujung rusuh ini juga harus dapat ditemukan.

Adapun harga yang harus dibayar Prabowo-Sandi adalah, ibarat mata uang, mereka mengalami inflasi dan depresiasi nilai tukar. Jiwa dan sikap kenegarawanan mereka dipertanyakan. Bahkan ada sementara pihak yang menuntut mereka harus bertanggung jawab atas aksi demonstrasi yang berujung kerusuhan.  

Kini, tugas mendesak Jokowi-Maruf sebagai presiden-wakil presiden terpilih adalah melakukan upaya rujuk, islah atau rekonsiliasi, baik rekonsiliasi politik maupun rekonsiliasi sosial.

Rekonsiliasi politik dilakukan di tingkat elite dengan cara Jokowi-Maruf merangkul lawan-lawan politiknya, terutama Prabowo-Sandi dan partai-partai pendukungnya, untuk mendukung pemerintahannya.

Dukungan partai-partai dilakukan melalui parlemen. Dukungan Prabowo-Sandi bisa dilakukan melalui partisipasi mereka di dalam pemerintahan. Prabowo bisa menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, sedangkan Sandi bisa menjadi menteri.

Namun bila Prabowo-Sandi dan partai-partai pendukungnya menolak, mereka bisa menjadi oposisi yang kritis namun konstruktif.

Justru dengan menjadi oposisi maka akan ada penyeimbang, sehingga akan terjadi check and balance yang pada gilirannya pemerintahan Jokowi-Maruf akan berjalan di atas jalur yang benar atau on the right track, tidak akan terjadi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan.

Menjadi oposisi tidak kalah terhormat dengan menjadi pendukung pemerintah. Bahkan bila partai-partai oposisi sanggup berpuasa kekuasaan selama lima tahun lagi, bukan tidak mungkin mereka akan menjadi pemenang Pemilu 2024, sebagaimana telah dibuktikan PDI Perjuangan yang selama 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009 dan 2009-2014) menjadi oposisi dan berpuasa kekuasaan.

Rekonsiliasi sosial dilakukan di tingkat grass roots (akar rumput) dengan menyatukan kembali seluruh elemen masyarakat yang selama ini sempat terkotak-kotak ke dalam dua kubu, antara pendukung Jokowi-Maruf, yang disebut dengan istilah, maaf, “kecebong”, dan pendukung Prabowo-Sandi yang disebut dengan istilah, sekali lagi maaf, “kampret”.

Sekat-sekat antara “kecebong” dan “kampret” ini harus dapat dihilangkan melalui kegiatan-kegiatan bersama yang difasilitasi program pemerintah.

Ingat, dalam pidato kemenangannya yang disampaikan di Bandar Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, seusai MK membacakan putusannya, Jokowi menegaskan kembali bahwa dirinya dan KH Maruf Amin akan menjadi presiden bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali.

Kini tak ada lagi pendukung 01 dan 02, yang ada ialah Persatuan Indonesia. “Kecebong” dan “kampret” pun tak lagi ada. Semoga!

Drs. H. Sumaryoto Padmodiningrat, M.M.: Mantan anggota DPR RI / Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas