Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pancacita Jokowi: Das Sollen, Das Sein?
Katanya, penegakan hukum dan HAM sudah tercakup di dalam pembangunan sumber daya manusia dan reformasi birokrasi.
Editor: Hasanudin Aco
Adapun soal pemberantasan korupsi, menurut pihak Istana, selain sudah tercakup dalam reformasi birokrasi, juga tercakup dalam penggunaan APBN secara fokus dan tepat sasaran, di mana menurut Presiden Jokowi setiap rupiah APBN harus bisa dipertanggungjawabkan.
Tapi baiklah, kita tidak bermaksud masuk terlalu jauh terhadap polemik itu. Lebih penting adalah membandingkan antara “das sollen” (apa yang seharusnya), sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato perdananya, dengan “das sein” (apa yang sesungguhnya terjadi). Ada asap pasti ada api, tapi jangan sampai jauh panggang dari api.
Sebagai orang-orang yang berlatar belakang hukum, penulis hanya akan menyoroti dua hal, yakni penegakan hukum dan HAM, dan pemberantasan korupsi.
Dalam penegakan hukum dan HAM, bila salah satu contohnya adalah pemberian amnesti kepada Baiq Nuril, kita sependapat. Tapi pemberian grasi kepada mantan guru Jakarta International School (JIS), Neil Bantleman, warga Kanada yang menjadi terpidana kasus pelecehan seksual terhadap anak, yang diklaim atas dasar kemanusiaan, kita tidak sependapat.
Das sein tak selaras dengandas sollen.
Bukti Presiden Jokowi pro-pemberantasan korupsi selama ini memang sudah ia tunjukkan, antara lain dengan tidak melakukan intervensi ketika KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap kader-kader parpol pendukungnya.
Dalam penegakan hukum dan HAM, Presiden Jokowi perlu menuntaskan proses hukum beberapa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang oleh Komnas HAM laporannya sempat diserahkan ke Kejaksaan Agung, namun dikembalikan lagi pada awal 2019 karena dinyatakan kurang bukti materiil.
Dikutip dari sebuah media, sedikitnya ada sembilan berkas kasus pelanggaran HAM berat yang diajukan Komnas HAM yang kemudian dikembalikan dengan dalih kurang bukti materiil.
Padahal, kasus-kasus yang dilaporkan itu menelan banyak korban jiwa, di antaranya peristiwa kerusuhan dan pembantaian pada 1965-1966, peristiwa Talangsari 1989, peristiwa penembakan misterius (petrus) 1982-1985, peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan Semanggi II, serta peristiwa kerusuhan 11, 12 dan 13 Mei 1998.
Selain itu, ada pula peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, juga peristiwa Wasior dan Wamena di Papua.
Tiga berkas pelanggaran HAM berat di Aceh juga turut dikembalikan, yaitu peristiwa Simpang KAA 3 Mei 1999, tragedi Jambo Keupok, dan peristiwa Rumah Geudong.
Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi semasa pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama juga perlu dituntaskan, antara lain kasus pelanggaran HAM di Paniai, Papua, di mana konflik antara warga dan aparat keamanan menyebabkan lima orang warga tewas akibat berondongan peluru.
Pun, kerusuhan 21-22 Mei 2019 di sekitar kantor Badan Pengawas Pemilu yang menewaskan 9 korban.
Pendek kata, jangan sampai terjadi kesenjangan antara “das sollen” dan “das sein”, karena bila terjadi kesenjangan, apalagi bila terlalu lebar, akan menimbulkan masalah.