Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pentingnya Meneladani Metode Dakwah Nabi Bagi Penceramah Masa Kini
Nabi Muhammad telah memberikan contoh yang sangat baik dalam berdakwah, beliau sangat santun.
Editor: Husein Sanusi
Oleh KH Imam Jazuli, Lc. MA
Sulit dipungkiri bahwa situasi sosial-keagamaan kita akhir-akhir ini mulai terusik. Salah satu penyebabnya adalah pernyataan Ustad Abdul Shomad (UAS) yang menganggap pada kayu salib bersemayam jin kafir lantaran terdapat patung bersamanya. Bahkan, lambang ambulance-pun ia anggap tak lebih dari salib.
Respon publik setelah itu beredar dan viral pula khotbah seorang pendeta di geraja yang kurang lebih sama. Ia menganggap pada Hajar Aswad juga dipenuhi jin, dan tuduhan-tuduhan yang tak berdasar dan "menyakitkan" lainnya.
Kondisi makin sedikit karut, saat sebagian besar kelompok Muslim berharap agar "ustad kondang" itu segera memohon maaf pada umat Kristiani, namun pada acara jumpa pers di gedung Majelis Ulama Indonesia (MUI), alih-alih ia memohon maaf, UAS malah terkesan membela diri dengan mengutip ayat, “Sungguh telah kafir orang-orang yang berkata: Allah adalah salah satu dari yang tiga. Dan tidak ada tuhan selain Tuhan Yang Esa.” (Qs. Al-Maidah: 108). Lalu dia menambahkan, "Kira-kira ayat ini menyinggung mereka tidak? Tidak mungkin saya membuang atau menghilangkan ayat ini?"
Kalau kita telusuri akar persoalannya, salah satu yang mendasar di sini adalah bagaimana memahami ayat dengan konteks. Ini memang masalah klasik. Supaya seseorang dapat memahami kandungan ayat dengan konteks-nya yang utuh, metode yang lazim digunakan adalah tafsir-tahlily (analisis). Metode ini mengurai kandungan ayat dari berbagai segi, kecenderungan yang terkandung di dalamnya, dan keadaan sosio-kultural saat turunnya (sabab an-nuzul). Tentu saja dengan tetap mengkaitkan hubungan ayat atau muhasabah dengan ayat lainnya, sehingga bisa ditarik pesan global (ijmali) suatu hukum tertentu.
Dalam menerapkan tafsir tahlily, terkadang tidak boleh dibiarkan satu ayat dipahami secara sepihak dan berdiri sendiri, tetapi juga harus dipadukan dengan ayat lain sebagai muqarin (perbandingan). Salah satu contohnya adalah ayat yang disampaikan UAS di atas. Selain ayat itu, ada ayat lain yang sama tegasnya untuk menghargai dan mengapresasi umat lain demi terwujudunya perdamain sosial.
Satu di antaranya adalah: “Dan janganlah kamu memaki-maki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan cara melampaui batas dan tanpa ilmu pengetahuan. Demikianlah Kami menjadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka, kelak kepada Tuhan tempat mereka kembali, dan Tuhan akan memberi tahu apa yang telah mereka lakukan,” (Qs. Al-An’am: 108). Selain itu, ada ayat lain yang jauh lebih tegas lagi. "Janganlah kamu lemah dan menyeruhlah kepada perdamaian (salam) kerena kedudukanmu (yang menyeru damai) itu lebih tinggi. Allah beserta kamu. Dan, Allah tidak menghilangkan amalanmu." (Qs. Muhammad: 35).
Malik Bin Nabi, seorang pakar bahasa, berpendapat bahwa sebenarnya seorang mufasir boleh menguraikan ayat per-ayat secara mandiri dan tuntas, lalu menarik hukumnya, tetapi tentang pengambilan petunjuk al-Quran secara universal harus melalui perbandingan ayat-ayat lain. Jadi seorang penafsir tahlily dipersilahkan membahas dengan muatan lokalitas, tetapi tidak boleh mengabaikan pesan universalitas, karena kandungan rahmatan lil alamin justru ada dalam perpaduan yang apik di sana. Apalagi pada ayat yang disampaikan UAS di atas, sama sekali tidak "menyinggung" baik tersirat maupun tersurat, adanya jin kafir dalam kayu salib atau ambulance.
Persoalan berikutnya adalah dilema ruang privat dan publik. UAS mengatakan: “Saya hanya menjawab pertanyaan, bukan inti kajian, di dalam komunitas muslim, di dalam masjid, di ruang tertutup, dalam sebuah kajian Sabtu subuh; bukan di ruang terbuka, bukan di lapangan sepak bola, bukan di waktu ramai, dan hanya menjelaskan akidah iman muslim.”
Pertanyaannya adalah sejak kapan publik figur bermain-main dengan ruang? Bolehkah ustad kondang menciptakan ruang privat, teruntuk komunitas terbatas, dan di sana sesuka hati mengajarkan ujaran kebencian dan penghinaan?
Pertanyaan selanjutnya, jika saja masjid atau gereja itu diyakini sebagai ruang privat, sudah tak elok mengajarkan kebencian, bagaimana pula jika disebar di media sosial? Apa yang dikatakan Henri Lefebvre (1974), sosiolog neo-Marxist dari Prancis saya kira tidak bisa disangkal. Kata dia, untuk seorang publik figur tak ada lagi ruang privat, sekalipun ia berbicara empat mata di dalam gua. Karena posisinya itu sudah menjadi produksi ruang (production of space).
Karena itu, untuk seorang dai yang kondang sudah seharusnya bersikap lebih bijak (hakim), bukan semata pintar (alim). Hendaknya ketika menyampaikan dalih-dalih kitab suci harus obyektif- komprehensif, tidak parsial-subyektif.
Madzhab Washaty-Azhari
Al-Azhar sebagai almamater UAS telah jauh hari sudah mendaklarasikan konsep Washati (moderatisme) dalam ijtihadnya. Sikap moderat ini, berkali-kali misalnya ditampilkan oleh Grand Syaikh Al-Azhar Ahmad Tayyib, yang tidak saja menyerukan agar kaum muslimin hendaknya saling toleransi dan menghargai antar kelompok, juga antar umat beragama. Sebagaimana sering terpampang potret dirinya duduk bersama dengan seorang pastur, dan pemuka agama lain.
Menurutnya, "Jika umat Islam mampu saling menghormati dan saling menghargai di antara sesama mereka, saya yakin akan mudah memperluas horizon toleransi bagi umat agama-agama lain, keyakinan, bahkan bagi mereka yang tidak beragama sekalipun."
Dalam kunjungan Grand Syaikh yang belum lama ini, beliau juga berpesan, "Salah satu cara membangun toleransi adalah menghindari pengkafiran (takfiry). Tidak ada alasan bagi siapapun untuk mengafirkan Muslim yang menghadap kiblat. Tidak dibenarkan bagi kaum Sunni untuk mengafirkan kaum Syiah. Juga, sebaliknya. Bahkan sesama umat beragama mestinya saling menghormati dan saling menghargai, hidup berdampingan secara damai, dan tidak melakukan kekerasan di antaranya."
Tentu saja sikap toleransi seperti yang diserukan Grand Syaikh ini juga meneladani akhlak Nabi, bahkan beliau sendiri yang menamakan risalah yang beliau emban sebagai dinul islam, al-hanafiyah samhah (agama islam, yang lurus dan toleran). Karena itu sikap toleran Nabi banyak ditampilkan dalam pergaulan sosialnya bersama orang Yahudi dan Nasrani, bahkan terkadang dengan kaum kafir-musyrik Mekkah sekalipun, sebagaimana yang terdapat dan tertuang dalam butir-butir Perjanjian Hudaibiyah. Demi perdamaian, Nabi tidak keberatan namanya Muhammad Rasulullah diganti menjadi Muhamad putra Abdullah, dan kalimat pembuka Bismillahirahmanirrahim diganti menjadi Bismika Allahumma.
Metode dakwah Rasulullah Saw seperti itu diabadikan dalam Al-Quran. “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu,” (Qs. Ali Imron: 159).
Karena itu tak berlebihan jika kita perlu merenungkan apa yang disampaikan oleh Azhari lain, Jamal Al-Bana misalnya. Beliau berpesan, "Jihad terbesar di zaman modern ini adalah bukan untuk berebut benar, lalu perang dan mati, tapi jihad untuk hidup, menerima segala perbedaan dan damai." Wallahu'alam bishawab.
Cirebon, 2 September 2019
*Alumni Universitas Al-Azhar Mesir, Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon dan Wakil Ketua Rabithah Ma’hid Islamiyah-Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia PBNU, Periode 2010-2015.