Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Revisi UU KPK, Melihat Perundang-undangan dari Hukum Primer
Sebagai negara bekas jajahan Belanda, sebagaimana negara-negara Eropa kontinental, Indonesia penganut "Civil Law System".
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Dr Tengku Murphi Nusmir
TRIBUNNEWS.COM - Sebagai negara bekas jajahan Belanda, sebagaimana negara-negara Eropa kontinental, Indonesia penganut "Civil Law System".
Ini tidak seperti Inggris dan Amerika Serikat yang menganut "Civil Law".
Menyimak gema revisi Undang-undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tampaknya telah terkontaminasi oleh ritme politik kepentingan.
Dalam revisi UU KPK dan KUHP, yang kini menjadi isu sentral di Tanah Air, seperti ada saja penumpang gelap yang mendompleng.
Ya, semangat beropini bak pejuang keadilan membuat banyak pihak berkecendrungan memdompleng gema revisi UU KPK dan KUHP.
Berlagak ahli hukum, mereka tak mau berbicara apa sebenarnya perundang-undangan itu.
Kecenderungan saling menyalahkan membuat mereka lupa akan apa sebenarnya peraturan perundang-undangan itu, karena ada politik kepentingan atau cari muka.
Mereka lebih cenderung menyalahkan lembaga negara dan pejabat berwenang, terutama Presiden Joko Widodo.
Padahal, proses dibuatnya UU itu telah melalui prosedur berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU No 12 Tahun 2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
Mereka adalah kelompok sempalan kaum borjuis, yang hanya bisa menciptakan opini, tapi tidak satu pun nemberi pandangan dan solusi, serta pelajaran sejarah seperti lahirnya "Code Civil" dan Revolusi Perancis, di mana Portalis sebagai perancang "Code Civil" mengalami perbedaan pandangan yang mendasar, seperti Ribespierre, komponen dari Revolusi Perancis yang berpendapat bahwa apa yang dikehendaki oleh UU merupakan kehendak rakyat".
Sebaliknya, Portalis berpendapat tidak demikian. Mungkin pembuat UU tahu segala hal, atau "Scince pour les legislator & scince du magistrad".
Secara umum dikatakan, "il comsidere les hommes enmase, jamais commne partucuoirs", yang artinya UU hanya untuk memberikan pengaturan secara umum.
Dalam pendapat lain disebutkan bahwa pembentukan UU untuk menetapkan "principles" atau kemaslahatan umum. Maka dapat kita konklusikan bahwa UU itu lahir, pertama, rakyat memiliki keterwakilan di legislatif, dengan tujuan di antaranya menetapkan sebuah UU semata-mata untuk kemasalahatan orang banyak, karena
UU adalah peraturan tertulis yang membuat norma hukum semata mata untuk kepentingan umum (hakikatnya).
CF Modern Political menyebutkan manusia itu selalu dinamis. Oleh sebab itu UU sebagai norma terus berkembang mengikuti kemajuan masyarakat.
Kedua, UU itu sebagai peraturan atau "ordonance" atau "reglemen" disebut dalam bahasa Perancis, atau "regling" dalam bahasa Belanda, yang mana sebagai norma atau "law as tool of social engineering" menurut Roscoe Pound.
Karena hukum mengikuti perkembangan masyarakat, maka produk UU merupakan suatu penyesuaian dengan perkembangan zaman. Oleh sebab itu, revisi UU KPK dan KUHP merupakan suatu penyesuaian dengan perkembangan zaman.
Sementara itu, UU sebagai "ordonance" menjadi hak konstitusional Presiden bersama legislatif.
Perubahan UU KPK yang telah disahkan DPR seharusnya mengikat,sehingga siapa pun wajib menaatinya.
Jika terdapat pertentangan dengan kostitusi, seharusnya pasal yang dianggap bertentangan dengan konstitusi itu bukan direvisi, melainkan diajukan judical review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dengan itu, maka tak perlu muncul kegaduhan yang menguntungkan para penumpang gelap. Jadi, masalahnya sederhana bukan?
Dr Tengku Murphi Nusmir SH MH: Ketua Umum Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI).