Tribunners / Citizen Journalism
Skizofrenia dan Urgensi Kepekaan Publik
Bagi para penikmat film, pastilah tahu kehadiran film berjudul Joker yang sedang marak ditayangkan di berbagai bioskop tanah air.
Menurut WHO, diperkirakan lebih dari 21 juta orang di seluruh dunia menderita skizofrenia. Penderitanya juga berisiko 2-3 kali lebih tinggi mengalami kematian di usia muda.
Penyalahgunaan NAPZA, depresi, dan gangguan kecemasan, juga acap melekat pada diri penderita szikofrenia.
Begitu rawan dan riskannya gangguan mental ini, jika tidak ada penanganan komprehensif, maka akibatnya bisa fatal seperti deskripsi film Joker.
Terkait film, hemat penulis, terlepas dari perdebatan di dalamnya, sebaiknya berfokus bukan pada kekerasan yang berpotensi menginspirasi penderita gangguan mental lainnya untuk melakukan hal yang sama.
Namun, bahwa dampak skizofrenia dapat berakibat sefatal sebagaimana yang ada di film. Bahkan, dalam kehidupan nyata sangat mungkin ada penderita yang karena tidak tertangani secara baik, berefek lebih liar dan lebih kejam dari Joker.
Penanganan Skizofrenia
Diakui atau tidak, sebagian masyarakat kita boleh dibilang “tidak ramah” terhadap penderita skizofrenia. Bahkan di kampung-kampung, masih banyak yang meyakini cara terbaik menanganinya adalah dengan dipasung, dikurung dalam ruangan, atau dikucilkan.
Berbagai perlakuan demikian tentu melanggar HAM. Namun, sisi lain, agak susah menyalahkan masyarakat ketika alasannya dihadapkan pada penderita yang liar, merusak, bahkan berpotensi mengancam jiwa orang lain.
Belum tentu kita sendiri ketika bertemu penderita demikian tidak merasa panik; daripada berisiko lebih fatal, lebih baik “mengamankan” penderitanya.
Karena itu, faktor pendidikan, kesadaran, kepekaan masyarakat, dan akses kesehatan jiwa terhadap penderita menjadi kunci utama menangani secara baik dan benar.