Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
KH Imam Jazuli Wacanakan Kementerian Pesantren Dalam Kabinet Jokowi-Ma’ruf
Radikalisme dan fundamentalisme Islam semacam ini hanya bisa dihadapi oleh kaum santri dan tradisi pesantren.
Editor: Husein Sanusi
Kementerian Pesantren dalam Kabinet Jokowi-Ma’ruf Pilihan Tepat
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., MA.*
Negara kita sedang menghadapi darurat radikalisme. Sebagian umat muslim, da’i-da’i selebritis, ustad-ustad naik daun, gencar meneriaki Pancasila sebagai ideologi thaghut, NKRI sebagai konsep negara kafir, dan ujung-ujungnya mereka terpapar ideologi khilafah.
Paham Islam radikal-fundamental diimpor terus-menerus dari luar. Budaya-budaya lokal yang sesuai dengan karakteristik bangsa dituduh bid’ah, kurafat, dan musyrik. Perjuangan para wali dan kiai yang bersusah payah mengislamkan masyarakat dengan jalan damai, diabaikan.
Radikalisme dan fundamentalisme Islam semacam ini hanya bisa dihadapi oleh kaum santri dan tradisi pesantren.
28.984 pondok pesantren dan 4.290.626 santri (data EMIS 2015/2016) bagaikan mutiara yang terpendam di dasar laut; bernilai tinggi tapi tidak bermanfaat.
Direktorat pondok pesantren seakan tidak mengerti bagaimana mengelolahnya sebagai potensi besar penangkal radikalisme.
Tahun 2014, Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis), Nur Syam, mengatakan Kementerian Agama (Kemenag) memiliki anggaran Rp. 450 miliar untuk pesantren.
Dana pondok pesantren yang tidak besar itu sudah barang tentu tidak mampu menggerakkan komunitas pesantren di seluruh tanah air untuk bergerak melawan gelombang radikalisme yang mengancam keutuhan.
Mengapa? Sebab, dana radikalisme yang digelontorkan oleh negara asing, yang jor-joran disalurkan ke Indonesia dengan beragam alasan dan nama, jauh lebih besar dan berkali lipat nominalnya.
Prof. Dr. Mahfud MD, prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, dan lainnya mengatakan bahwa dana radikalisme Islam di Indonesia sangat besar, dibawa dari negara luar.
Hal ini bukan omong kosong, tetapi begitulah kenyataannya. Pondok pesantren tidak berdaya di hadapan dana asing yang sengaja diperuntukkan mendukung dan mengkembangbiakkan radikalisme di Indonesia. Ibarat berperang, alutsista kita kalah telak.
Pembentukan Kementerian Pesantren adalah jalan satu-satunya, terlebih untuk menangkal radikalisme dan fundamentalisme di Indonesia.
Pembentukan kementerian tersendiri untuk pesantren adalah penghargaan negara terhadap kaum santri, yang telah berjasa membentuk identitas kebangsaan, baik di era kerajaan, era kolonialisme, hingga paska kemerdekaan.
Pembentukan Kementerian Pesantren adalah simbol revitalisasi peran santri yang selama ini terpinggirkan sekali pun telah banyak berkontribusi pada negara.
Selain itu, ia juga bertugas mengembalikan jati diri dan identitas kebangsaan yang “dikorupsi” oleh radikalisme dan fundamentalisme ini.
Bangsa ini adalah bangsa yang adiluhung, adem ayem, tentrem toto raharjo. Islam di bumi Nusantara betul-betul berwajah rahmatan lil alamin.
Namun, identitas ini perlahan-lahan disamarkan, diselewengkan dan dihapus. Sehingga putra bangsa kita menjadi buta dan kalap.
Mereka limbung dan pada akhirnya jatuh ke dalam jebakan jaringan radikal yang pendanaannya melebihi anggaran pemerintah sendiri.
Putra-putri bangsa yang mulai kalap itu, mereka terbakar semangat seruan khilafah, menuduh NKRI sebagai negara kafir, Pancasila sebaga ideologi thaghut, dan UUD ’45 sebagai undang-undang Dajjal yang dinilai tidak mencerminkan syariat agama.
Di mata putra-putribangsa yang kalap macam itu, habis sudah jejak sejarah perjuangan orang-orang hebat di jaman lampau, foundingfathers bangsa ini.
Mengembalikan kesadaran putra-putri bangsa ini, yang terlanjur terpapar paham radikalisme, adalah tugas negara. Satu-satunya komunitas yang mengerti cara mengobati penyakit radakalisme dan fundamentalisme ini adalah komuntias pesantren, yakni kaum santri.
Namun, pengelolan pondok pesantren tidak bisa dipasrahkan hanya kepada setingkat direktorat saja, melainkan wewenangnya harus diberikan kepada lembaga setingkat kementerian.
Pembentukan Kementerian Pesantren akan berguna sekali dalam menyelamatkan putra-putri bangsa dari paham radikal.
Terlebih mengingat Kementerian Agama selama ini belum mampu memaksimalkan peran direktorat pendidikan pondok pesantren.
Hal itu terbukti, pondok pesantren tidak berdaya melawan arus pertumbuhan radikalisme yang memiliki suplai dana besar-besaran dari luar negeri.
Pemerintah dapat segera memisahkan direktorat pondok pesantren ini dari Kementerian Agama, dan memberinya “daya yang lebih besar”, sehingga ia menjelma menjadi Kementerian Pesantren.
Ketika negara telah memiliki kementerian tersendiri yang khusus menangani pesantren, maka pondok pesantren akan bertenaga dalam menghadapi bahaya radikalisme.
Sebesar apapun negara asing mensuplai dana dan seberapa tangguh mereka berusaha mengekspor paham radikal, tentu dan pasti negara akan selalu memiliki jalan keluarnya. Masyarakat pesantren akan turun serentak, mengorbankan jiwa dan raga demi NKRI dan Pancasila
Pada level pragmatis, hadirnya Kementerian Pesantren bisa menjadi perpanjangan tangan Undang-undang Pesantren yang baru diresmikan.
Namun, penerjemahan pasal demi pasal dalam UU tersebut tidak boleh didominasi oleh interes pragmatis, yang hanya menaruh perhatian pada aspek-aspek “struktur” pondok pesantren. Aspek-aspek “supra struktur” pondok pesantren, berupa nilai-nilai idealisme pesantren, harus jadi target utama.
Terkait nilai-nilai idealisme pesantren yang lebih luas inilah, Kementerian Pesantren dapat menjadi representasi pemerintah yang paling otoritatif dalam menerjemahkan pasa demi pasal dalam undang-undang pesantren tersebut.
Sehingga, di sisi lain, melalui Kementerian Pesantren ini pula, publik luas menemukan pelabuhan mereka untuk menurunkan jangkar kepentingannya.
*penulis adalah alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.