Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
'Dilema Masyarakat Adat'
Menepi sejenak dari hiruk pikuk ibukota dengan serangkaian perbincangan yang melulu politik.
Editor: Toni Bramantoro
Oleh: Patricia Leila Roose
Menepi sejenak dari hiruk pikuk ibukota dengan serangkaian perbincangan yang melulu politik. Apalagi setahun belakangan ini tiba- tiba semua orang "mendadak politik".
Tua- muda dengan berbagai macam latar belakang pengalaman pribadi dan pengalaman kebudayaannya menjadi antusias masuk di perbincangan itu.
Perlu sekiranya merenung dan berpikir jernih untuk mencoba melihat masalah yang selalu muncul dari masa ke masa. Salah satu yang layak jadi bahan perbincangan yaitu tentang masyarakat adat yang masih kental tradisinya dan arus perubahan yang selalu terjadi.
Pada jaman kolonialis barat datang ke negeri ini, sudah banyak terjadi benturan antara kaum adat dengan pikiran atau ide baru yang muncul.
Ketegangan itu akan selalu muncul termasuk ketika para kolonialis datang ke negeri ini dengan segala ragam perbedaan yang jauh lebih rumit.
Penakhlukan secara politik, ekonomi, dan militer terhadap bumi nusantara oleh Belanda tidak menyelesaikan persoalan. Urusan keyakinan dan tata nilai yang diyakini selama berabad-abad oleh penghuni wilayah nusantara ini tidak bisa serta merta dibasmi. Keyakinan adalah hal yang " esensial" bagi sebagian besar penduduk di wilayah ini.
Dalam menjalankan pemerintahan dengan gaya administrasi dan pemerintahan yang dianggap modern pada saat itu, pihak Belanda terpaksa melakukan kompromi-kompromi terhadap budaya setempat, dengan salah satu caranya adalah mendatangkan ahli- ahli di bidang ilmu kebudayaan untuk menjadi birokrat kolonial.
Memasuki fase kemerdekaan muncul ketegangan baru antara negara dengan kekuatan masyarakat adat yang masih kental dengan tradisi- tradisinya. Soal-soal yang disebut diatas memang tidak pernah selesai.
Karena antara tradisi dengan ciri kekerabatan yang kuat dalam satuan wilayah yang kecil akan selalu berhadapan dengan kuasa negara yang menguasai wilayah yang lebih luas, yang sering memaksakan keseragaman dalam cara berpikir, bertindak dan bersikap atas nama negara.
Masyarakat adat seringkali kalah tergusur dan harus tunduk pada pranata hukum baru. Kecuali:
- Kesatuan masyarakat adat yang memiliki posisi tawar kuat di dalam negara modern. Contohnya: Daerah Istimewa Yogyakarta di dalam menentukan Gubernur dan wakilnya.
Dalam amandemen UUD 1945 terdapat pasal 18b ayat 2 dan pasal 28i ayat 3. Dua poin di dalam undang- undang tersebut secara normatif menunjukkan kemajuan di dalam memperlakukan masyarakat adat dibanding masa sebelumnya.
Lahirnya UU Desa No 6 tahun 2014 dan Perubahan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah memperkuat posisi masyarakat adat.
Akan tetapi di dalam kehidupan keseharian sering kita saksikan pelaksanaan undang-undang itu belum berjalan dengan baik.
Atau pemerintah sebenarnya setengah hati di dalam menempatkan masyarakat adat secara lebih terhormat dan manusiawi sesuai kaidah konstitusi kita.
Masih sering kita saksikan kehidupan adat istiadat masyarakat tradisional dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi lewat jalan pariwisata.
Contohnya:
1. Ritual keagamaan oleh masyarakat adat yang seharusnya bersifat privat, sakral dan khusyu' malah menjadi komoditas wisata yang ramai pengunjung.
2. Sedekah bumi yang sebenarnya menyambung kembali hubungan manusia dengan alam, sebagai wujud apresiasi kepada karunia Tuhan. Tapi setelah lahirnya tradisi politik administrasi negara tentang masalah pertanahan ( berupa sertifikat), maka tanah yang awalnya dalam konsep masyarakat adat bersifat sakral malah bergeser menjadi fungsi ekonomi semata.
Jadi hubungan manusia dengan alam rusak ketika hutan, laut dan sungai diperlakukan hanya sebagai cadangan makanan atau sebagai obyek yang dieksploitasi saja.
Sementara program-program dari pemerintah yang terkait dengan masyarakat adat lebih banyak bersifat karitatif dibanding menempatkan mereka menuju masyarakat yang lebih adil dan beradab.
Dalam pendekatan kapitalistik oleh negara, masyarakat adat sering dianggap penghambat pembangunan. Dengan memaksakan masyarakat adat berinteraksi dengan negara, posisinya menjadi lemah dan kebijakan tersebut "membunuh masyarakat adat".
Jikalau pemerintah atau negara memihak kepada masyarakat adat, negara harus melindungi heterogenitas dan jangan melakukan penyeragaman.
Negara musti bertindak dengan segala aturan hukumnya untuk memberikan perlindungan terhadap adat dengan cara dilibatkan dan diberi ruang dalam perencanaan pembangunan.
Dan bukan sekedar sebagai obyek penderita. Setiap pembahasan rancangan undang-undang, kelompok adat dilibatkan agar mereka sebagai subyek bernegara menjadi lebih berperan secara setara.
Lantas bagaimana negara menguatkan dan bertanggung jawab terhadap keberadaan masyarakat adat adalah melalui langkah strategi kebudayaan yang tidak menindas dan mengintimidasi kelompok-kelompok minoritas, tapi harus dikomposisikan sama.
Jadi kurang lebihnya maksud dari strategi kebudayaan tersebut adalah:
1. Menempatkan manusia atau orang-orang yang tinggal pada satu hamparan negeri tanpa diskriminasi dan intimidasi pada kelompok-kelompok lemah itu.
2. Semua orang dan semua warga yang tinggal di hamparan negeri ini harus diperlakukan sama dan masing-masing sebagai subyek kebudayaan dan subyek bernegara.
3. Tindakan-tindakan oleh yang kuat untuk menyamakan arah dan pandangan harus dihindari karena masing-masing kelompok pasti tumbuh dengan problem-problem yang dihadapi secara berbeda.
Maka setiap kelompok pasti melahirkan peradaban yang berbeda pula. Sehingga semboyan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekedar slogan dan bunga-bunga pidato para elit.
Tapi harus mengejawantah di dalam pandangan, tindakan dan program pemerintah. Serta harus berkaki di dalam setiap undang-undang dan peraturan dalam segala tingkatannya yang ada di negeri ini.
* Patricia Leila Roose.SH, MH, Alumni Magister Hukum Universitas Bung Karno, praktisi hukum dan pengamat Hukum Tata Negara. Dalam kunjungan Reflektif Masyarakat adat Tengger Di Gn. Bromo.
*Disampaikan pada diskusi kamisan 7 November 2019 diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Magister Hukum UBK