Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kalau Bukan Tikus, Jangan Takut Kucing
Alhasil, kalau memang bukan "tikus" maka jangan takut dengan "kucing", baik kucing hitam atau pun kucing putih.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - "Tak penting kucing itu hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus,” kata Deng Xiao Ping (1904-1997).
Tak penting apakah Ahok mantan narapidana atau bukan, yang penting mantan Gubernur DKI Jakarta bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama itu bisa membersihkan BUMN-BUMN dari "tikus-tikus" nakal.
Alhasil, kalau memang bukan "tikus" maka jangan takut dengan "kucing", baik kucing hitam atau pun kucing putih.
Apakah Ahok jadi ditempatkan di Pertamina atau PLN, dan sebagai Direktur Utama atau Komisaris Utama, atau posisi lain, kita tidak tahu pasti.
Yang jelas, serikat pekerja Pertamina baik di pusat maupun daerah sudah menyatakan sikap penolakan terhadap masuknya Ahok ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu.
Baca: Ahok Calon Bos BUMN, Buya Syafii Maarif: Tunjukkan Prestasi, Kerja dengan Baik
Lalu, apa yang dilanggar bila Ahok masuk Pertamina atau PLN?
Secara yuridis, tak ada undang-undang dan aturan apa pun yang dilanggar Ahok.
Apakah karena ia pernah dipenjara lalu "haram" masuk BUMN? Bukankah ia telah menebus kesalahannya?
Apakah orang yang pernah dipidana harus memikul kesalahannya itu seumur hidup? Apalagi Ahok dipenjara bukan karena korupsi, melainkan karena dugaan penistaan agama.
Bandingkan dengan langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang hendak melarang mantan narapidana korupsi mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), namun ditentang berbagai pihak, terutama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dan pemerintah, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Pun, apa yang ditakutkan dari Ahok? Apakah karena ia temperamental? Apakah karena ia galak terhadap pegawai-pegawainya yang diduga tak becus dalam bekerja semasa memimpin Jakarta?
Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, seperti yang tertangkap di permukaan, serikat-serikat pekerja itu menolak Ahok karena ia mantan narapidana, temperamental, suka bikin gaduh, dan sebagainya.
Akan tetapi, di bawah permukaan kita menangkap adanya keengganan mereka terhadap Ahok karena sudah terlanjur dicitrakan sebagai sosok anti-korupsi, meski citra itu masih debatable terkait kasus Rumah Sakit Sumber Waras. Itu pertama.
Mengapa mereka enggan, apakah rencana masuknya Ahok ke BUMN akan mengusik kenyamanan dan kepentingan mereka?
Kalau memang Ahok dikonotasikan sebagai "kucing" yang akan menerkam "tikus", kalau memang merasa bukan "tikus", mengapa harus enggan atau bahkan takut akan kehadiran "kucing"?
Sudah bukan rahasia lagi bahwa kinerja dan karakter pegawai BUMN dikonotasikan 11-12 dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terlanjur happy dengan kenyamanan dan kemapanan, serta sedikit anti terhadap perubahan dan pembaruan.
Kedua, kita juga menangkap kesan yang menolak Ahok adalah mereka yang kurang ramah terhadap kebinekaan atau pluralisme, meski hal itu tak terungkap secara eksplisit. Mereka seolah menjadikan Ahok sebagai musuh bersama atau common enemy sepanjang hayat dikandung badan.
Di sisi lain, ada kalanya pegawai justru menjadi "beban" negara atau BUMN.
Simak saja pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahwa 70% Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) digunakan untuk belanja atau gaji pegawai. Di pusat pun gambarannya mungkin tak terlalu jauh.
Itulah kira-kira yang melatari Presiden Joko Widodo untuk melakukan pemangkasan pejabat eselon 1 dan eselon 2 yang langsung dilaksanakan Menteri BUMN Erick Thohir. Kini banyak pejabat di kementerian dan BUMN deg-degan.
Ada pula ketika BUMN merugi, para pejabat di level direksi dan manajemennya tetap mendapatkan tantiem atau bonus. Logika bisnis semacam apakah itu? Logika normalnya, kalau perusahaan merugi, pegawai tak dapat bonus.
Bila Ahok masuk BUMN, mungkin ia bisa diharapkan membenahi semua itu.
Lantas, adakah hak mereka menolak Ahok? Bukankah pemegang saham mayoritas BUMN-BUMN itu adalah pemerintah? Ketika pemerintah hendak menempatkan seseorang di sebuah BUMN, apa hak mereka untuk menolak?
Itulah pertanyaan yang harus kita renungkan. Prinsipnya, kalau memang bukan "tikus", jangan pernah rakut terhadap kehadiran "kucing". Apalagi terkadang ada tikus yang justru dapat mengalahkan kucing.
Dr Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI.