Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Belajar dari Kekalahan di Final Lawan Vietnam
Berbagai pelanggaran oleh pemain Vietnam yang harusnya diberikan kartu merah malah tidak diberikan kartu kuning sekalipun.
Editor: Dewi Agustina
Oleh:
Wina Armada Sukardi
Kolomnis Sepak Bola
Di TENGAH tiupan optimisme sebelum final Sea Games antara tim sepak bola Indonesia Indonesia lawan Vietnam dimulai, kepada banyak rekan dan penggemar sepak bola, saya sudah lebih dahulu menegaskan, kalau kesebelasan Indonesia “tidak mengubah total cara bermainnya” dan masih bermain seperti pertandingan pertama lawan tim Vietnam di babak penyisihan group, Indonesia bakal keok sedikitnya dengan selisih dua gol.
Tentu saja, dalam suasana penuh optimistis saat itu, pendapat saya seperti lagu sumbang yang menyakitkan telinga pendengarnya.
Tapi karena saya berangkat dari data, fakta dan analisis kuat, saya tak mengubah pendapat saya itu.
Rupanya “prediksi” saya terbukti benar. Indonesia dihajar dan dipermalukan habis Vietbam dengan kekalahan telak 3 - 0!
Segala impian indah lenyap sudah.
Walaupun dalam hati sebelum pertandingan saya tetap menginginkan Indonesia menang, dan mengharapkan data dan analisis saya lah yang salah, namun kekalahan yang menimpa kesebelasan Indonesia dari Vietnam di final, bagi saya juga tidak mengejutkan.
Ini bukan perkara tidak nasionalisme. Juga bukan lantaran wasit yang memimpin pertandingan sangat buruk, walaupun wasitnya memang rada bebal.
Berbagai pelanggaran oleh pemain Vietnam yang harusnya diberikan kartu merah malah tidak diberikan kartu kuning sekalipun.
Demikian pula bukan karena Evan Dimas dikasari sampai cedera dan perlu diganti sehingga mengubah ritme permainan kita, sementara pelakunya dibiarkan tanpa sanksi apapun. Bukan, bukan itu.
Hal itu pasti ada pengaruhnya, tetapi tetap bukan penyebab utama kekalahan kita.
Kekalahan kesebelasan Indonesia semata-mata dan terutama memang karena cara bermain tim Indonesia yang salah dan tidak berubah ditambah dengan strategi pelatih Indra Safri di final yang keliru.
Vietnam Menanti dengan Senang
Dua kali Indonesia lawan Vietnam, dua kali pula Indra Safri menerapkan cara bermain dan strategi yang tidak tepat.
Pada pertandingan pertama, Indonesia menerapkan strategi yang sama dengan kala mengalahkan Thailand dan Singapura.
Padahal sudah jelas dua hal: Vietnam pasti telah mengantisipasi cara dan strategi bermain para pemain Indonesia, dan mereka sudah menyiapkan obatnya.
Dalam hal ini Indra Safri lupa, resep sukses melawan sebuah atau beberapa kesebelasan belum tentu cocok menghadapi semu lawan, terutama lawan yang sudah “membaca” kita.
Vietnam sudah “membaca” Indonesia akan menerapkan strategi defensif, bertahan, lalu melakukan umpan terobosan dan dengan kecepatan para pemain depan kita menyelusup dari celah pertahanan lawan.
Vietnam dengan senang hati “sudah menunggu” hal itu. Mereka sudah mengantisipasi cara dan strategi itu. Mereka sudah punya kartu itu.
Untuk menghadapi strategi permainan seperti itu, Vietnam sudah mempunyai obatnya.
Begitu serangan mereka gagal, para pemain mereka harus secepatnya turun lagi ke bawah.
Kunci berikutnya mereka bertahan secara berlapis sehingga sulit kecolongan dengan kecepatan para pemain Indonesia.
Vietnam pun sudah katam membaca cara pemain Indonesia memainkan bola di area pertahanan sendiri.
Sebenarnya memainkan bola dengan tenang di belakang untuk memancing pemain Vietnam nafsu ke depan. Tapi upaya itu kandas karena Vietnam sudah menyiapkan obatnya.
Mereka menerapkan prinsip: penyerangan terbaik adalah pertahanan terbaik. Ketika para pemain Vietnam maju ke depan mereka sekaligus melakukan pertahanan.
Bukan satu lawan satu, tetapi satu pemain belakang Indonesia dikepung dua tiga lawan sekaligus.
Akibatnya, justru para pemain bertahan Indonesia yang kewalahan sendiri. Mekanisme pertahanan Indonesia jadi bumerang yang mengancam pertahanan sendiri.
Kesalahan Lebih Fatal
Kesalahan kedua yang sudah “dipelajari” Vietnam, pemain Indonesia membiarkan para pemain lawan, dalam hal ini Vietnam, bukan hanya bebas berkeliaran di pertahanan Indonesia, tapi juga bebas membawa dan menendang bola ke arah pertahanan dan gawang Indonesia.
Hal ini terutama terjadi pada babak kedua baik pada pertandingan pertama maupun di pertandingan final.
Padahal statistik sudah membuktikan, biasanya Vietnan lebih banyak membobol gawang lawan antara menit 60 sampai menit 80.
Indonesia tidak mengantisipasi itu.
Tak pelak lagi hasilnya pada pertandingan pertama Indonesia keok 2-1, setelah lebih dulu unggul 1-0.
Pada pertemuan kedua di final kesalahannya lebih fatal.
Ketika pemain Indonesia menguasai bola, para pemain tidak diinstruksikan untuk dekat dengan pemain yang menguasai bola dan pemain lain mencari posisi agar dapat dioper.
Tetapi jika ada pemain Indonesia yang menguasai bola, para pemain Indoensia lainnya hanya berjalan atau bahkan berdiam diri, sehingga sulit bagi pemain yang menguasai bola untuk mengoper kepada siapa.
Demikian juga “kutak-katik” operan bola di lini belakang tidak dirancang untuk membuka ruang kesebelasan lawan.
Operan-operan yang pada pertandingan lawan non Vietnam berhasil, pada pertandingan lawan Vietnam sudah diantisipasi benar oleh Vietnam.
Begitu pemain Indonesia menguasai bola, mereka langsung dipresing beberapa orang, atau operannya “dipotong” sehingga sama sekali tidak mampu menembus pertahanan Vietnam.
Ada satu dua peluang emas, sebenarnya, tapi penyelesaian akhir pemain kita malan itu buruk.
Vietnam dapat dengan mujarab memakai obat yang dipakaikan dengan tidak terlalu sulit lantaran cara pemain Indonesia mengoper bola sudah mudah ditebak.
Bola mau dialirkan kemana oleh pemain Indonesia sangat terbaca. Pemain Indonesia pun akhirnya seperti kehilangan akal.
Cenderung di Belakang Peman Lawan
Pemain belakang Indonesia juga tidak mengawal dengan mendahului pemain lawan, tetapi cenderung berada di belakang pemain depan Vietnam, terutama di area pinalti.
Akibatnya, pemain Vietnam leluasa mengobrak-abrik pertahanan Indonesia.
Pemain lawan leluasa menerima umpan dari temannya dan punya ruang besar menjebloskan si kulit bundar ke gawang Indonesia.
Kesalahan inilah yang harus dibayar Indonesia dengan tiga gol.
Gol pertama dari tendangam bebas dan lagi-lagi pemain lawan dibiarkan bebas mejebloskan bola ke gawang Indonesia.
Gol kedua, lahir lantaran kegegabahan pemain Indonesia.
Kendati sudah tertinggal satu gol dan masih terus ditekan, pemain belakang kita masih berani mengoper dan bermain “satu dua” di daerah pertahanan sendiri, padahal disana banyak lawan.
Tak pelak lagi, tatkala salah operan, pemain Vietnam sudah siap menjaga segala kemungkinan di arena gawang Indonesia.
Tak heran setelah kiper Indonesia menepis bola, penyerang lawan lebih siap dari pemain belakang kita: gol.
Penjagaan Berlapis!
Di depan penyerang Indonesia kurang suplai bola. Cara menyerang Indonesia sudah dipelajari dengan baik oleh Vietnam.
Kecepatan pemain Indonesia diredam melalui cara penjagaan berlapis sehingga tususkan lewat sayap yang sebelumnya begitu berbahaya, menjadi hilang kekuatannya.
Juga rada mengherankan manakala Indonesia telah ketinggalan, kesebelasan Indonesia tidak mempercepat tempo permainan untuk mengejar waktu.
Seakan ketinggalan bukalah perkara luar biasa.
Padahal seharusnya setelah tertinggal, Indonesia harus meningkatkan tempo permainan setinggi-tingginya untuk mengejar ketinggalan.
Dalam pertandingan final yang bersifat hidup mati, seharusnya tak ada pilihan lain buat Indonesia: menyerang dan menciptakan gol sebanyak mungkin.
Soalnya, di final, kalah 1-0 sama saja dengan kalah silisih berapa pun. Jadi, tak ada alternatif lain: serang dan bobol gawang lawan.
Kita sudah sampai final, kita harus memilih menang atau mati. Kita harus menjebak Vietnam dengan agresifitas.
Kita tidak boleh bermain bertahan sebagaimana telah mereka bayangkan, tetapi bermain menyerang, keras dengan variasi operan pendek-panjang.
Dengan begitu Vietnam akan “bingung” lantaran antisipasi yang sudah mereka siapkan tak bekerja.
Tapi rupanya malam itu kita yang mengikuti pola Vietnam sehingga kita di belakang rent dan di depan tumpul.
Prinsip yang harus diterapkan di pertandingan final, gawang kita kebobolan banyak, tak masalah, asal kan kita lebih banyak membobol gawang lawan.
Semangat seperti itu tak terlihat pada tim Indonesia di final.
Sistem yang diterapkan tidak mengubah pemain Indonesia untuk “habis-habisan adu banyak gol.”
Harus Berani Belajar dari Kesalahan
Kita bukan menafikan prestasi Indonesia sampai berhasil masuk final. Kita hormati itu.
Kita apresiasi terhadap perjuangan para pemain kita di lapangan.
Kita juga respek atas pemikiran pelatih Indra Safri mengapai hasil itu. Kita juga bukan tidak nasionalis.
Kita tetap dukung dan menjunjung tinggi Indonesia. Kita tetap mencintai Indonesia.
Namun kesemua itu tidaklah membuat kita harus menyembunyikan fakta tentang kekurangan tim Indonesia.
Kesebelasan kita di masa depan hanya bakal maju, jika kita semua mau belajar dari kesalahan yang ada yang telah kita lakukan di final lawan Vietnam.
Pelajaran bagaikan obat: pahit tapi menyembuhkan.
Para pemain Indonesia masih muda dan berbakat. Mereka masih dapat meroket dan menorehkan prestasi, asal semua pihak mau belajar dari kekalahan.