Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Banjir Awal Tahun, Anies Vs Undang-undang
Ketika banjir besar merendam Ibukota Jakarta dan sekitarnya awal tahun 2020, seketika rasa panik menyerang.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Drs Sumarno
Staf Ahli Pusat Keamanan Nasional (Puskamnas), Universitas Bhayangkara Jakarta
TRIBUNNEWS.COM - Ketika banjir besar merendam Ibukota Jakarta dan sekitarnya awal tahun 2020, seketika rasa panik menyerang.
Yang terserang kepanikan tidak saja para korban, tetapi juga para pemangku kepentingan.
Ekspresi kepanikan pun penuh warna.
Rasa duka mendalam, terpancar dari para korban. Sementara, sejumlah pejabat langsung berkeliling ke tempat-tempat pengungsian guna menyalurkan bantuan.
Data BNPB per 5 Januari 2020, banjir mengakibatkan 14 daerah, 103 kecamatan, dan 308 kelurahan terendam.
Ke-14 daerah tadi adalah Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Karawang, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Kabupaten Lebak, Kota Bogor, dan Kota Depok.
Bencana juga mengakibatkan, 39.102 KK atau 92.261 jiwa mengungsi. Para pengungsi tersebar di 189 titik. Korban meninggal tercatat 60 orang, dan korban hilang sebanyak 2 orang.
Ironis, meski banjir sudah surut, tetapi masih meninggalkan persoalan. Selain soal lumpur dan sampah yang melimpah, ada soal yang tak kalah serius.
Soal itu adalah, sikap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menolak menetapkan status bencana.
Kepada pers Anies seperti hendak mengatakan bahwa Jakarta “baik-baik saja”, karena tidak ada jembatan putus, tidak ada jalan rusak, seperti terjadi di luar wilayah Jakarta.
Bahkan ia mengatakan, tidak ada mall yang tutup.
Sayang, statemen Anies lalu disanggah Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Budihardjo Iduansjah.
Seperti dilansir detikfinance.com (10/01/2020), Budihardjo mengatakan banjir besar awal tahun mengakibatkan sejumlah mall kebanjiran dan tutup, di antarnaya Mal Cipinang Indah, Mal Taman Anggrek, serta beberapa mal di Daan Mogot.
Menjadi ironis, ketika Gubernur Anies menolak menetapkan status bencana. Sebab, itu artinya ia langsung-tak-langsung menabrak Undang-undang.
Tulisan ini jelas tidak dimaksudkan untuk memperkeruh keadaan. Sebaliknya, masyarakat –dan juga pejabat—harus disadarkan. Kepentingannya, bisa jadi bukan untuk hari ini, tetapi untuk hari-hari mendatang. Bukankah bencana bisa datang kapan saja?
Bahkan, sekalipun penolakan penerapan status bencana datang dari Anies Baswedan, tetapi perspektif yang hendak disajikan dalam tulisan ini, bukan semata-mata ditujukan kepada Gubernur Anies.
Semua pihak, tanpa kecuali, harus melihat bencana dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Di UU 24/2007 itu termaktub prinsip-prinsip dan tata cara penyelenggaraan penanggulangan bencana. Termasuk penentuan status bencana, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari urutan kegiatan yang harus diselenggarakan pemerintah (termasuk pemerintah daerah), saat terjadi bencana.
Penentuan status bencana itu, lebih lanjut, akan memudahkan akses bagi BNPB/BPBD maupun bagi semua stakeholders yang dikoordinir oleh BNPB / BPBD dalam bertindak. Pasal demi pasal dalam UU 24/2007 telah mengatur dengan jelas.
Dalam konteks sistem administrasi negara, penetapan status bencana merupakan bagian dari sistem administrasi negara. Kepala Daerah maupun semua stakeholders yang terlibat dalam sistem administrasi negara, memerlukan penetapan status bencana tersebut.
Bagi pengusaha UKM misalnya, status bencana bisa digunakan untuk rescheduling kreditnya.
Sedangkan, bagi perusahaan asuransi maupun bagi masyarakat atau pengusaha yang berurusan dengan legal aspect kegiatan publik, penetapan status bencana juga penting. Sebab, bisa jadi bencana tadi mengakibatkan terganggunya pekerjaan kontraktor yang mengakibatkan keterlambatan.
Sedangkan, keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, bisa mengakibatkan banyak konsekuensi, mulai dari administrasi sampai ke aspek hukum.
Dengan tidak adanya status bencana, maka ganti rugi atas kerugian yang –mungkin-- terjadi , bisa saja tidak diberlakukan oleh instansi terkait.
Pada akhirnya akan merugikan banyak pihak. Nah, persoalan ini yang barangkali belum atau tidak diketahui oleh banyak pihak, termasuk –bisa jadi—Gubernur Anies Baswedan.
Jadi intinya , penetapan status bencana adalah bagian dari kelancaran sistem administrasi negara di semua level dan di semua sektor yang membutuhkan. Untuk itu, para kepala daerah perlu diberikan pemahaman tentang hal ini, karena banyak yang belum paham.
Penetapan status bencana, tidak hanya melulu bicara tentang Biaya Tak Terduga (BTT), tetapi sungguh banyak aspek lain yang terkait.
Berkaca di negara-negara maju, saat bencana terjadi maka kepala daerah (apa pun sebutannya) langsung berbicara kepada media, mengumumkan kondis state of emergency.
Penetapan status bencana memiliki persyaratan yang sangat gamblang. Yang penting, kejadian (bencana) tadi sudah sampai tahap mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Pasal 1 UU itu menyebutkan, definisi bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Sedangkan, penyelenggaraan penangulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden RI sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Sedangkan, Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati/Walikota, atau perangkat daerah sebagi unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah daerah, menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan bencana, seperti diatur Pasal 5.
Sedangkan tentang apa yang dapat mereka lakukan, diatur dalam Pasal 32. Bahwa pemerintah dapat menetapkan daerah rawan bencana menjadi menjadi daerah terlarang untuk permukiman; dan/atau mencabut atau mengurangi sebagian atau seluruh hak kepemilikan setiap orang atas suatu benda sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Lebih rinci, Pasal 48 mengatur, penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat sebagimana dimaksud pasal 33 huruf b meliputi enam hal.
Pertama pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber daya; kedua, penentuan status keadaan darurat bencana; ketiga, penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; keempat, pemenuhan kebutuhan dasar; kelima, perlindungan terhadap kelompok rentan; dan keenam, pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Lalu pasal 50, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam kondisi darurat bencana sudah ditetapkan, mempunyai kemudahan akses atas sembilam point.
Pengerahan SDM; pengerahan peralatan; pengerahan logistik; imigrasi, cukai, dan karantina; perizinan; pengadaan barang/jasa; pengelolaan dan pertanggungjawaban uang dan/atau barang; penyelamatan; dan komando untuk memerintahkan sektor/lembaga.
Pasal 51 UU No. 24/2007 juga menegaskan di ayat (1) bahwa penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh Pemerintah sesuai dengan skala bencana. Penetapan sebagaimana dimaksud ayat (1) skala nasional dilakukan oleh Presiden, skala Provinsi dilakukan oleh Gubernur, dan skala Kabupaten/Kota dilakukan oleh Bupati/Walikota.
Persoalannya, jelas bukan semata-mata pada tidak adanya jembatan putus, jalan yang rusak, atau mall yang buka (atau tutup). Melainkan, pada hakikat “kejadian (bencana) tadi sudah sampai tahap mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat”.
Jika kondisi itu yang Gubernur Anies saksikan selama bersafari pasca bencana –sambil memunguti sampah, mengapa keukeuh menolak menetapkan status bencana? Sedangkan, kedudukannya tidak lebih tinggi dari Undang-undang.