Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pemerintah Harus Waspada, eks-ISIS Masih Berpotensi Membahayakan
Pemerintah juga harus mempertimbangkan aspek-aspek lain yang menurut saya jauh lebih fundamental, yaitu terkait persoalan ideologi.
Editor: Malvyandie Haryadi
Oleh: Andik Kuswanto (Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
TRIBUNNERS - Pro-kontra pemulangan WNI eks-ISIS mendapat pendapat beragam dari sejumlah kalangan. Namun, sinyal penolakan terasa lebih kencang selepas Presiden Jokowi ikut memberi sinyal menolak kehadiran eks-ISIS.
Saya angkat topi jika keputusan pemerintah nantinya menolak memulangkan eks-ISIS tersebut. Sebaliknya, jika pemerintah memilih opsi untuk memulangkan eks-ISIS, ini jelas menunjukkan langkah itu diambil semata pertimbangan kemanusiaan. Artinya, persepektif humanis yang menjadi pertimbangan pemerintah.
Saya kira opsi memulangkan eks-ISIS dengan mendasarkan atas pertimbangan kemanusiaan tidak salah, namun perlu diingat, pemerintah juga harus mempertimbangkan aspek-aspek lain yang menurut saya jauh lebih fundamental, yaitu terkait persoalan ideologi.
Baca: Kecurigaan Mahfud MD soal Rencana Pemulangan WNI Eks ISIS hingga Pengamat Bahas Opsi Ketiga
Dalam konteks ideologi, persoalan WNI eks-ISIS ini tidak bisa dibandingkan dengan persoalan virus corona yang baru-baru ini juga menggegerkan. Seseorang bisa dideteksi sembuh dari corona dengan indikator fisik.
Misalnya tidak batuk, tidak panas, dan sebagainya. Tapi dalam konteks ideologi kita tidak bisa menggunakan parameter itu karena Indonesia belum punya prosedur deteksi ideologi.
Baca: Wacana Pemulangan WNI eks ISIS, Jokowi Sebut Ada Rapat, Menteri Agama Tegaskan Penolakan
Yang saya maksud prosedur deteksi ideologi adalah kita tidak bisa melihat secara objektif seseorang ini sudah sembuh secara ideologi atau belum.
Soal ideologi, orang tidak bisa hanya menulis misalnya surat pernyataan diatas kertas saya sudah pro NKRI, saya pro Pancasila, kemudian tanda tangan. Siapa yang menjamin jika mereka tidak berbohong. Disinilah bahayanya.
Karena sangat mungkin mereka berbohong ketika menangis misalnya minta dipulangkan, kemudian tanda tangan, tetapi siapa yang tahu hati nuraninya. Apalagi ISIS itu punya doktrin yang disebut berpura-pura. Jadi bagi mereka boleh berbohong di depan musuh.
Kalau Indonesia dianggap oleh ratusan WNI eks-ISIS itu sebagai negara musuh dan negara zalim. Oleh karena itu mereka boleh berbohong di depan otoritas Indonesia sebagai strategi mereka.
Tiga Gelombang Jihadis
Paling tidak ada tiga gelombang Jihadis yang pemerintah perlu perhatikan.
I. Jihadi Non-Salafi
Kelompok Jihadis ini adalah DI/NII. Ideologinya hakimiyyatullah. Tapi mereka bukan kelompok salafi. S.M Kartosoewirjo adalah penganut Islam tradisional, pengamal tarekat.
II. Salafi-Jihadi
Yang termasuk kelompok ini adalah Jamaat Islamiah (JI). Ideologinya hakimiyyatullah plus salafi. Pendirinya Sungkar dan Ba'asyir: dua orang Wahabi tulen. Afiliasinya ke Al Qaeda.
Ideologi jihadinya terbentuk setelah berinteraksi dengan tokoh-tokoh militan eks-Ikhwanul Muslimin Mesir yang berjihad di Afghanistan. Sungkar dan Ba'asyir berhasil mengirim ratusan kadernya sekolah militer di sejumlah kamp militer di Pakistan dan Afghanistan.
Dididik lumayan lama, sekitar 2-3 tahun, alumni- alumninya punya skill militer dan pengetahuan agama yang lumayan. Bentuk amaliahnya terencana. Hasilnya spektakuler spt Bom Bali I dan II. Dalam amaliah, mereka haram melibatkan perempuan dan anak-anak.
III. Jihadis Spartan
Jihadis ini adalah Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Dibentuk oleh Aman Abdurrahman, pengagum Abdurrahman al-Maqdisi. Ideologinya hakimiyyatullah. Afiliasinya ke ISIS. Kader-kadernya produk pelatihan pendek, semacam sanlat di Gunung Jantho, Aceh Besar dan Gunung Pandeman, Batu, Malang.
Skill militer dan pemahaman agamanya terbatas. Karena itu, jihadis gelombang kedua menyebut mereka sebagai orang-orang yang jahil agama. Tapi jumlah mereka banyak sekali. Ada yg bilang sampai 1800 orang.
Amaliahnya cenderung amatiran seperti bom panci atau penusukan Pak Wiranto. Bai'at kadang dilakukan secara online. Dalam melakukan amaliah, mereka mengajak serta isteri dan anak-anak. Itu pula yang mereka lakukan ketika pergi ke Suriah dan berjihad di sana. Ternyata ISIS kalah dan hancur lebur. Mereka ingin pulang.
Dulu jihadis gelombang II pulang dari Afghanistan ke Indonesia akhir 1990an. Jumlah mereka sekitar 200an. Mereka langsung menyebarkan penyakit. Indonesia digoncang oleh bom-bom teror.
Kalau sekarang pemerintah menimbang untuk memulangkan jihadis gelombang ketiga, kasihan anak cucu. Mereka meriskir masa depannya dengan bom waktu. Panen raya gelombang keempat mungkin terjadi dalam 1-2 dekade.
Indonesia tidak akan pernah bisa menjadi negara maju. Warganya tersandera terus oleh mimpi tentang Negara Tuhan. Kata ahli neuroscince, otak yang terpapar ideologi jihadis sulit sembuh. Seperti pecandu narkoba, mereka kambuhan, bisa muncul lagi, tergantung situasi dan kondisi.