Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Omnibus Law Tak Dikenal dalam Sistem Perundang-undangan di Indonesia

Hierarki perundang-undangan sebagaimana disebut dalam UU No 15/2019 tak ada yang namanya omnibus law.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Omnibus Law Tak Dikenal dalam Sistem Perundang-undangan di Indonesia
Ist for tribunnews.com
Dr Tengku Murhpi Nusmir SH MH. 

Oleh: Dr Tengku Murphi Nusmir SH MH

TRIBUNNEWS.COM - Penerapan omnibus law atau sebuah undang-undang yang mencakup beberapa undang-undang, atau sering disebut undang-undang sapu jagad, berpotensi menambah masalah baru dalam sistem hukum di Indonesia.

Sebab, omnibus law tidak dikenal dalam sistem hukum dan perundang-undangan di Indonesia.

Salah satu Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law sudah diajukan Presiden Joko Widodo ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, yakni RUU Cipta Lapangan Kerja atau Cilaka.

Menyusul kemudian RUU tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM); RUU tentang Perpajakan; dan RUU tentang Perpindahan Ibu Kota Negara.

Omnibus law-omnibus law tersebut akan merevisi atau "menyapu" sekitar 70 UU.

Padahal, omnibus law-omnibus law tersebut tak punya pijakan atau tak dikenal dalam sistem hukum dan perundang-undangan di Indonesia, sehingga berpotensi menambah masalah dalam sistem hukum Indonesia.

Berita Rekomendasi

Revisi 70 UU melalui omnibus law ini tidak sesuai dengan sistem hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia.

Misalnya, UU No 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU No 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

UU ini tidak mengatur tentang mekanisme omnibus law.

Dalam hierarki perundang-undangan sebagaimana disebut dalam UU No 15/2019 ini, tak ada yang namanya omnibus law.

Bahkan, omnibus law tidak lazim diterapkan di Indonesia karena menggunakan sistem hukum civil law.

Tidak itu saja, omnibus law juga mendegradasi kewenangan DPR RI sebagaimana tertuang dalam Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang berbunyi, "Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan."

Untuk itu, Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) membuka kemungkinan untuk mengajukan juducial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas omnibus law tersebut bila kelak disetujui dan disahkan DPR RI.

Kita berharap MK akan menganulir omnibus law yang diinisiasi pemerintah itu dan kelak mungkin akan disahkan DPR RI, karena mengangkangi UUD 1945 dan UU No 15 Tahun 2019.

Dalam waktu dekat, PPHI juga akan berkirim surat kepada Presiden Jokowi dan Ketua DPR RI Puan Maharani agar menghentikan pembahasan omnibus law itu karena mengangkangi konstitusi dan UU No 15/2019.

Namun melihat gelagatnya dan juga peta politik di DPR RI, tampaknya nyaris mustahil eksekutif dan legislatif membatalkan pembahasan omnibus law tersebut.

Sebab itu, judicial review ke MK tampaknya merupakan langkah yang paling tepat.

Tekanan Publik

Bila kemudian ada tekanan publik untuk menolak omnibus law RUU Cilaka, itu wajar-wajar saja. Pemerintah dan DPR RI tak perlu galau.

Seperti kita tahu, puluhan ribu buruh akan turun ke jalan di Senayan, Jakarta.

Mereka menolak RUU Cilaka yang secara substansial akan banyak merugikan kaum buruh.

Apalagi, penyusunan RUU Cilaka ini tidak taat pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

Omnibus law RUU Cilaka juga berpotensi melanggar hak warga negara, khususnya buruh dan keluarganya yang dijamin konstitusi, yakni Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. 

Dalam RUU Cilaka, sejumlah pasal yang berkaitan dengan kesejahteraan buruh, yang selama ini dijamin UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, akan dikurangi atau dihapus, di antaranya upah minimum, fleksibilitas hubungan kerja, dan pesangon.

* Dr Tengku Murphi Nusmir SH MH: Praktisi Hukum, Tinggal di Jakarta.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas