Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Gus Baha', Aset NU yang Patut Dibanggakan

Selain keturunan raja dan ulama Jawa, Gus Baha adalah seorang alim yang menguasai fiqh, tafsir dan hadis.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Gus Baha', Aset NU yang Patut Dibanggakan
Youtube Progresif TV
Gus Baha ceramah di PWNU Jawa Timur. 

Gus Baha', Aset NU yang Patut Dibanggakan

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*

TRIBUNNEWS.COM - Warga Nahdiyyin Indonesia sudah tidak asing dengan Gus Baha’, yang bernama lengkap KH. Ahmad Bahauddin Nursalim, putra KH. Nur Salim, pengasuh pondok pesantren al-Quran, Kragan, Narukan, Rembang. Kiai Nur Salim sendiri adalah teman akrab Gus Miek atau KH. Hamim Jazuli, Kediri. Mereka berdua pendiri Jantiko-Mantab atau Dzikrul Ghafilin.

Kedekatan Kiai Nur Salim dan Gus Miek karena nasab ayahanda Gus Baha' itu memang jalur ulama besar tanah Jawa. Dari garis ibunya, Gus Baha' adalah bagian dari keluarga besar ulama’ Lasem, Bani Mbah Abdurrahman Basyaiban atau Mbah Sambu. Sedangkan menurut penuturan Kiai Said Aqiel Siradj (Ketum PBNU), garis nasab Gus Baha' bersambung pada raja tanah Jawa, Brawijaya V Raja terakhir Majapahit.

Selain keturunan raja dan ulama Jawa, Gus Baha’ juga terkenal sangat alim di bidang fikih, hadits, dan tafsir al-Quran. Pria kelahiran 1970 ini sejak kecil sudah menghafal al-Quran di bawah bimbingan langsung ayahandanya, yang memiliki sanad kepada Kiai Arwani Kudus dan Kiai Abdullah Salam Pati. Kefasihan dan makhorijul huruf membaca al-Quran menjadi titik tekan jalan sanad ini. Baru setelah menginjak remaja, Kiai Nur Salim menitipkan Gus Baha' kepada Kiai Maimun Zubair, pengasuh pondok pesantren al-Anwar, Sarang Rembang.

Tahun 2003 atau ketika usia mencapai 33 tahun, Gus Baha' mengembara ke Yogyakarta. Beberapa musollah di Bantul memiliki jamaah yang setia menyelenggarakan pengajian. Kota pelajar itu mengagumi Gus Baha' karena keluasan ilmunya yang dibawa dari pondok al-Anwar.

Kealiman Gus Baha’ di bidang al-Quran mendapatkan apresiasi dari ulama-ulama besar di bidang al-Quran seperti profesor Quraish Shihab, profesor Zaini Dahlan, dan profesor Shohib. Bahkan, profesor Quraish Shihab menyebutkan, “di Tim Dewan Tafsir Nasional, Gus Baha’ tidak saja dikenal sebagai mufassir tetapi juga mufassir-faqih, yang paham detail aspek hukum dalam setiap ayat al-Quran”.

Berita Rekomendasi

Pujian tidak saja datang dari ilmuan senior melainkan juga dari ustad-ustad muda milenial. Ustad Abdul Somad (UAS), misalnya, mengatakan bahwa Gus Baha’ sebagai Hafizul Quran, ahli tafsir, dan diberikan ilham oleh Allah, banyak gagasan-gagasan baru dari beliau. Selain UAS, Ustad Adi Hidayat juga mengapresiasi kedalaman ilmu Gus Baha’ dengan menyebutnya sebagai “manusia al-Quran”.

Penulis sendiri lebih cenderung melihat Gus Baha’ sebagai aset Nahdlatul Ulama (NU) di masa depan. Beliau adalah penjaga turats Islam. Terminologi turats mengacu kepada seluruh khazanah intelektual Islam sejak awal abad Hijriyah hingga perkembangan mutakhir yang sudah berusia 14 abad lebih ini. Tidak banyak ulama muda NU yang berjuang di wilayah turats klasik ini.

Wacana kembali pada turats sempat dikumandangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Thayeb, Universitas al-Azhar, Mesir, sebagai kekuatan tunggal umat muslim. Karena mayoritas umat muslim sudah mengabaikan urgensi menjaga turats Islam ini, menurut Grand Syeikh Al-Azhar itu, banyak negara Islam dan kampus-kampus Islam di seluruh dunia tertinggal di belakang dibanding Barat. Selalu membebek buta dan terbelalak kagum pada segala pencapaian Barat.

Di Indonesia, Gus Baha’ tampil sebagaimana diharapkan oleh Dr. Ahmad Thayeb. Bisa dibilang, Gus Baha’ adalah representasi ulama Nusantara yang patut diandalkan.

Belakangan, satu video ceramah Gus Baha’ mengajak para santri untuk memberanikan diri menjelaskan kepakaran diri mereka, sebagaimana banyak para pekerja profesional, misal dokter gigi, bidan, dan lainnya terang-terangan menjelaskan profesi dan keahlian mereka. Sementara santri, menurut Gus Baha’, tidak ada yang berani membuat pengakuan tegas ahli fikih, ahli kitab Fathul Wahhab, dan lainnya.

Candaan Gus Baha’ semacam itu adalah ide brilian yang serius, karena menyangkut soal mentalitas kaum santri yang harus percaya diri, bangkit, menyaingi kepercayaan diri kaum akademisi lulusan perguruan tinggi. Gagasan Gus Baha’ perlu direspon serius karena tidak saja menyangkut persaingan kepakaran dalam bidang ilmu, tetapi juga potensial untuk menyelamatkan publik dari belajar kepada ustad yang tidak memiliki keahlian dalam bidang agama.

Agama yang jatuh pada tangan orang yang tidak ahli bukan saja berdampak buruk secara personal melainkan meluas pada urusan sosial dan politik. Sering kali atas nama agama, publik jatuh pada fanatisme, dan ujung-ujungnya proyek politik kekuasaan. Agama selalu dijual setiap 5 tahun sekali, lebih-lebih mendekati pesta demokrasi seperti Pileg dan Pilpres.

Hanya saja, segala pemikiran dan prestasi Gus Baha’ tersebut tidak serta merta dapat dinikmati publik yang lintas batas. Hal ini bisa di lihat dari daftar 15 ustad-ustad/ Gus-gus yang populer di generasi milenial; suatu generasi baru yang akrab dengan dunia digital, dan memiliki karakter yang jauh lebih sederhana, tidak mau rumit, dan mencari rujukan-rujukan agama yang jauh lebih menghibur. Salah satu buktinya, followers, subscribers, dan viewers Gus Baha' kalah jauh dari ustad-ustad seperti Khalid Basalamah, Syafiq Riza Basalamah, Firanda Andirja, bahkan di bawah Gus Muwafiq, Gus Miftah, dan Ustad Yusuf Mansur sebagai representasi NU.

pandangan penulis, setidaknya ada tiga persoalan utama: Pertama, Selain kedalaman berpikir dan keluasan pengetahuan, dominasi bahasa Jawa menjadi karakter khasnya, Bahasa lokal Jawa seakan menjadi “kerangkeng” dan sekaligus bahan material mendefinisikan komunitas atau jamaah Gus Baha’. Audiens yang mendengarkan via media sosial terbatas pada mereka yang berkultur Jawa, setidaknya paham bahasa Jawa, sehingga mau tidak mau terbentuk identitas yang Jawa Sentris. ini membuat kapasitas intelektual Gus Baha' tidak bisa dinikmati komunitas/audiens lintas batas di Indonesia.

Kedua, tema-tema khazanah Klasik yang berat bagi sebagian orang awam, tentu hanya cocok untuk kalangan santri yang sudah mengenyam pendidikan pesantren. Hal ini tidak perlu dipermasalahkan, karena selain jadi kekurangan tapi juga keunggulan. Perlu ada penjaga gawang wacana-wacana turats klasik sekali pun itu susah dicerna publik luas yang jauh dari tradisi pesantren.

Ketiga, manajemen media sosial yang lemah. Dari berbagai channel yang mendokumentasikan ceramah-ceramah Gus Baha', jumlah subscribers, followers, dan viewersnya kalah bila dibanding beberapa ustad yang disebut di atas. Hal ini adalah persoalan manajemen media, dan tidak terkait sama sekali dengan profil dan konten ceramah Gus Baha'.

Masalah Dominasi Bahasa Jawa dan manajemen media sosial ini perlu segera dipecahkan. Sebagai langkah strategis untuk melebarkan sayap dakwah NU pada umumnya dan untuk meluaskan jangkauan ceramah Gus Baha' pada khususnya. Wallahu a'lam bis shawab.

*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
Berita Populer
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas